Contents
Meniti Sehelai Jembatan Surga
MSJS 5
MSJS 5. Teralihkan
“Adi, siapa tahu kalau kamu jadi orang baik, kerja yang baik, orang tua Immy akan setuju dengan hubungan kamu dengan Immy. Maka dari itu, sudah tidak perlu pikir-pikir lagi, kamu terima tawaranku untuk kerja di sini!”
“Em ... saya pikir-pikir dulu, Ustaz.”
“Ya terserah kamu. Aku hanya bisa berdoa supaya kamu mendapatkan jalan hidup yang baik dan jodoh yang baik, Adi.”
“Aamiin, terima kasih, Pak Ustaz.”
“Ayo makan, tambah lagi, jangan malu-malu!”
✨❤️✨
Di dapur, Aizacelestia sedang membungkus beberapa makanan ke kantong-kantong plastik bening dan kotak-kotak plastik tipis. Ada lauk-pauk, sayur-mayur, nasi, kerupuk, dan kue. Setelah itu, ia memasukkan semuanya ke dalam kantong plastik hitam dengan kotak-kotak plastik tipis yang masuk terlebih dahulu. Kemudian, ia membawa semua itu ke meja makan.
✨❤️✨
“Bagaimana, Adi, suka masakannya?” tanya Aizacelestia datang-datang ke ruang makan.
“Enak, Bu Ustazah Tia.”
“Tambah lagi gih, makan yang banyak, jangan malu-malu!”
“Ini sudah tambah tiga kali.”
“Alhamdulillah. Em ... ini.” Tia meletakkan kantong plastik hitam di meja di dekat Adi. “Ini buat kamu makan nanti di rumah.” Adi berbinar dan rasanya ingin cepat-cepat pulang untuk menghabiskan makanan yang dibungkus itu. Ragil pun berbinar dengan tindakan istrinya yang baginya itu sangatlah tepat.
“Terima kasih, Bu Ustazah, Pak Ustaz. Maaf, sudah merepotkan.”
“Tidak repot, Adi. Oh, iya, kalau nanti malam kamu tidak ada acara datanglah ke rumah! Insya Allah, nanti malam, seperti biasa ada beberapa murid yang datang mengaji. Mungkin kamu juga berminat belajar mengaji. Gratis kok.”
Adi teringat jika nanti malam ada acara merampok. “Em ... maaf, Ustaz, kalau nanti malam, nanti malam saya ada perlu, ada acara.”
“Oh, gitu. Iya, tidak apa-apa. Em ... kalau tiba-tiba acaranya kamu batal, pintu rumahku terbuka untuk kamu.” Adi tersenyum tipis dan mengangguk. “Masih ada juga malam-malam yang lain. Kamu bisa ikut mungkin di malam yang lain.”
“Oke, Ustaz, malam yang lain akan saya usahakan kosong jadwal saya. Saya akan datang untuk mengaji sama Pak Ustaz.”
“Jangan bohong, saya tunggu kehadiran kamu!”
“Iya, Ustaz. Terima kasih, Ustaz.”
✨❤️✨
Hari masih sore ketika Adi telah sampai di rumahnya setelah dari kediaman Ragil Dahdy Baasimbahran. Ia meletakkan kantong plastik di meja. Ia membukanya dan kembali makan. Ia makan dengan sangat rakus seolah masih kelaparan. Padahal di rumah Ragil sudah makan tiga piring. Sembari makan, ia memikirkan tawaran Ragil untuk mengaji dan juga bekerja.
Allahuakbar Allahuakbar!
Hari telah memasuki magrib, tidak berselang setelah Adi sampai di rumahnya. Masih tersisa kue saat ia menghentikan makan. Setelah kekenyangan, di magrib itu, ia berbaring di atas dipan. Ia kembali memikirkan tawaran Ragil. Kemudian, ia membandingkan tawaran mengaji dan tawaran kerja dengan ajakan Dian untuk merampok nanti malam.
“Buat apa mengaji? Dapat apa kalau mengaji? Tidak dapat uang, buat apa? Mendingan merampok saja ikut Dian. Ini kesempatanku untuk dapatkan uang. Kalau aku merampok sepertinya tidak perlu menerima tawaran Ustaz Ragil untuk kerja. Lagian aku ini perampok, nanti kalau anak-anaknya kenapa-napa bagaimana?”
Langit merah segera menjadi hitam. Adi masih merebahkan tubuhnya bermalas-malasan di rumahnya yang hanya diterangi lilin-lilin karena listriknya dipadamkan PLN lantaran tidak ada yang membayar listriknya. Matanya sedikit-sedikit mengerjap. Hampir-hampir ia tertidur. Ingin sekali ia tidur. Akan tetapi, meskipun waktu masih lama untuk berkumpul di markas, ia tidak berani tidur. Ia tidak memiliki alarm untuk membangunkannya. Ia pun tidak punya jam yang bisa ia lihat karena yang ada baterainya telah habis. Ponsel pintarnya yang pernah ia punya, entah ke mana saat ia ditangkap polisi. Ia menghitung waktu dengan mendengarkan adzan magrib dan isya dari masjid.
Allahuakbar Allahuakbar!
Saat adzan Isya terdengar, dengan segera ia bangkit. Isya menandakan artinya kurang lebih dua, tiga jam lagi ia harus pergi. Ia khawatir benar-benar tertidur. Jika tertidur, ia bisa saja melampaui dua, tiga jam.
“Ah, aku berangkat sekarang saja! Kalau di rumah, bisa-bisa aku ketiduran, apalagi aku sedang kenyang. Kenyang bikin ngantuk berat.”
Adi Luhung bergegas pergi. Ia hanya membawa tas punggungnya yang berukuran kecil. Ia jalan santai menuju ke markas karena mengingat masih nanti saatnya berkumpul sedang ia sudah pergi lebih awal. Beberapa saat melangkah, terdengar suara orang belajar mengaji. Ia ingat, tidak jauh, jalan itu melintasi rumah Ragil Dahdy Baasimbahran. Ia pun tertarik untuk melangkah ke rumah Ragil.
“Em ... tidak ada salahnya aku mendengarkan orang mengaji sembari menunggu waktu tepat pergi ke markas,” batinnya. Dari kejauhan, ia memperhatikan rumah Ragil dan mendengarkan orang-orang belajar mengaji yang diperdengarkan ke khalayak menggunakan alat elektronik.
Sembilan lewat, belajar mengaji di rumah Ragil telah usai. Murid Ragil satu persatu ke luar dari dalam rumah Ragil. Satu di antaranya yang perempuan, membuat mata Adi berbinar. Ia ingat jelas baru tadi pagi bertemu dengan gadis itu dengan cara bertabrakan dua kali. Gadis yang sungguh memukaunya. Gadis itu, tidak langsung pulang. Tampak gadis itu berbincang pamit sekilas-sekilas dengan rekan-rekannya mengaji sesama perempuan. Gaya gerak laku gadis itu sungguh mengesankannya. Tersirat mengartikan gadis itu berbudi luhur. Membuatnya yang memperhatikan senyum-senyum sendiri terus-menerus. Ia memperhatikan gadis itu hingga gadis itu berlalu pergi dari rumah Ragil menaiki sebuah mobil putih berbodi militer.
“Selera mobilnya tidak girly. Itu harusnya mobilku bukan mobil cewek secantik dia. Ya boleh saja sih secantik dia pakai mobil seperti itu,” lirih Adi senyum-senyum yang menatap mobil itu sampai hilang dari jangkauan netranya.
Setelah gadis itu pulang, ia pun pulang ke rumah. Melihat gadis itu ketiga kalinya, membuatnya lupa akan tujuannya. Ia benar-benar melupakan rencananya merampok apalagi Dian. Ia pun berjalan kaki sampai beberapa kali tersandung karena melamunkan Nyneve Amayakamaria Lilith.
Saat ke sekian kalinya tersandung, setelahnya ia menatap ke langit yang gelap. Ia membandingkan dirinya, hidupnya yang kelam. Ia sadar diri apalah dirinya. Sudah bukan siapa-siapa, seorang penjahat lagi. Ia menghela menghempaskan napas kasar.
“Tapi hidupku gelap seperti langit,” ujarnya sembari masih menatap langit. Alhasil, ia tersandung lebih parah hingga ia benar-benar terjerembap berkalang tanah. Ia lekas bangkit dan mengebas-ngebas dirinya. Saat itu, orang gila penyair jalanan melintas dengan syair-syairnya seperti biasa di kampung itu.
“Langit gelap sekarang, esok akan kembali terang. Insya Allah. Janganlah tolak jalan ke surga, pastilah terang benderang. Insya Allah,” ujar pujangga gila itu yang bernama Arif Afrianto. Ia gila lantaran cintanya yang ia kejar-kejar setengah mati telah pergi dengan pria lain.
Adi Luhung merasakan seakan syair itu untuk dirinya. Ia menjadi meresapinya sangat dalam. Ia kembali menimang memikirkan tawaran Ustaz Ragil Dahdy Baasimbahran. Ia lagi-lagi menghela menghempaskan napas kasar. Kemudian, ia mengusap kasar wajahnya. Berikutnya, ia sadari ternyata tangannya kotor akibat jatuh tadi.
“Ya Allah!”
✨❤️✨
Belum pukul sepuluh Adi telah berada di rumahnya yang gubuk dan kuno karena telah berdiri puluhan tahun. Ia masuk ke dalam gubuknya dengan terbayang terus wajah Nyneve. Sering kali bikin senyum-senyum sendiri mengingat sosok cantik rupa dan budi itu. Ia meletakkan tasnya lalu berbaring.
“Siapa dia yang cantik itu?” Adi terus melamunkannya. Kemudian, ia bangkit mengambil kue dari Ragil. Ia makan kue-kue itu sembari terus senyum-senyum. Ia ingat saat tabrakan. Ia ingat setiap gerak-gerik Nyneve saat di halaman rumah Ragil. Sampai akhirnya, ia kembali merasakan kekenyangan lalu merebahkan diri hingga akhirnya ia terlelap. Ia masuk ke mimpi, memimpikan gadis itu.
✨❤️✨
Jam dinding telah menunjukkan pukul nol nol lebih. Sudah saatnya Dian dan kawan-kawan beraksi. Namun, Dian sungguh gusar Adi tidak kunjung datang-datang.
“Sudah terlalu lama kita menunggu!” protes salah satu pria komplotan itu.
“Menurut kalian, Adi berbohong?”
“Bisa jadi, bisa juga masih takut merampok lagi, bisa juga ada urusan lain,” pendapat salah satu dari mereka yang lain lagi.
“Bikin aku tidak mood beraksi!” kesal Dian.
“Apa pun alasannya, apa pun masalah kamu Dian, rencana kita sudah matang dan kita sudah datang berkumpul! Ayo berangkat!” seru salah satunya yang satu lagi. Mereka ada tujuh orang. Kalau saja Adi datang mereka berdelapan. Para perampok lekas berangkat. Dian yang masih di dalam markas membanting dan menendang apa pun yang ada di dalam markas. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu menghempas kasar, mengeluarkan rasa kesal lantaran kecewa.
“Apa yang bisa mengalihkan Adi dariku?” teriaknya penuh amarah. Kemudian, ia bergegas menyusul rekan-rekannya.
✨❤️✨
Fade in, hari kembali terang. Adi Luhung terbangun dari tidurnya dengan tersenyum senang. Mimpinya begitu indah karena ada dia, si gadis cantik nan berbudi elok.
Adi bangkit dengan semangat penuh. Kemudian, saat telah terduduk, ia dengan sangat serius berujar, “Aku akan terima tawaran Ustaz Ragil!”
Bersambung
Terima kasih
✨❤️❤️❤️✨
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)