Contents
Meniti Sehelai Jembatan Surga
MSJS 4
MSJS 4. Lapar
“Aku pasti ikut!”
“Nah, begitu dong! Ini baru Adi Luhung kekasih Dian!”
“Sampai ketemu nanti jam sepuluh.” Adi pergi dari markas. Dian masuk ke dalam markas
Saat baru masuk, Dian berkata, “Adi akan ikut!”
“Sudah bebas dia? Kok tidak kasih kabar?” kata salah satu perampok.
“Aku juga baru tahu saat pagi tadi,” terang Dian.
✨❤️✨
Ustaz Ragil sedang mengunjungi sebuah toko kue ketika hari menginjak sore. Toko itu terletak di tepi jalan raya di dekat kampungnya sehingga ia hanya menempuh dengan berjalan kaki. Ia datang dengan semangat. Ia hendak memenuhi janjinya kepada anak-anaknya.
“Silakan!” seru karyawati toko dengan antusias dan tersenyum ramah.
“Assalamualaikum, Immy! Bagaimana kue-kuenya, laris?”
“Waalaikumsalam! Eh, Pak Ustaz. Alhamdulillah lumayan. Saya dengar tadi pagi-pagi, Pak Ustaz, tolongin Bang Adi?”
“Iya.”
“Jadi, Bang Adi sudah ke luar?”
“Alhamdulillah sudah.”
“Mau beli cake, Pak Ustaz?”
“Aku mau rasa cokelat, Immy.”
“Empat puluh lima ribu.”
Ustaz mengeluarkan sejumlah uang sesuai harga. “Pas ya, Immy?”
“Iya, terima kasih, Ustaz.” Karyawati itu mengenalinya karena ia juga tinggal di kampung yang sama. Setelah karyawati itu memberikan kantong plastik bermerek berisi sekotak kue yang dipesan, ustaz mengucapkan salam dan pergi. Ustaz pulang dengan jalan kaki.
Sembari melangkah, ustaz teringat hubungan karyawati toko kue itu dengan Adi. Ia pun membatin, “Kalau tidak salah dia itu suka sama Adi, tapi keluarganya tidak setuju karena Adi orang tidak bener. Dia bertanya soal Adi. Itu artinya, dia masih ada rasa sama Adi. Coba saja Adi jadi orang bener, siapa tahu keluarga Immy bisa terima Adi. Adi sudah mendapatkan hukuman, semoga saja dia sudah jera dan berubah menjadi orang bener.”
Kemudian, Ustaz melihat kantong kue yang ada di tangannya lalu kembali membatin, “Hm ... pesanan anak-anak sudah aku belikan. Mereka pasti senang. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Sudah mengurus bisnis, masih harus mengurus mengaji. Kasihan mereka kalau harus pulang pergi sekolah sendirian terus-menerus. Istriku juga kasihan kalau harus mengantarkan. Mengerjakan pekerjaan rumah sendirian juga sudah meletihkan pastinya. Apalagi rumah dan halaman cukup luas. Aku perlu cari orang untuk antar jemput anakku. Istriku juga perlu dicarikan pembantu. Em ... sepertinya bisa satu orang untuk antar jemput sekaligus membantu istriku.”
✨❤️✨
Di sore itu juga, anak-anak kampung sedang bermain. Sembari bermain, salah seorang anak tampak sedang memakan kue berbungkus plastik bermerek. Di saat itu, Adi yang baru pulang dari markas, melintasi mereka. Adi menelan ludahnya ketika melihat anak itu mencomot jajanan warung itu. Adi yang sedang lapar dan dalam perasaan terhina akhirnya menghampiri anak yang sedang makan kue itu.
“Dek, minta kuenya dong!” pinta Adi dengan baik-baik, tetapi nadanya sedikit kasar.
“Enak saja, beli sendiri!” jawab anak itu dengan menyalak lalu mencomot kuenya sembari menunjukkan kepada Adi dengan mimik mengejek.
“Aku tidak punya uang.”
“Derita lo!” ujar anak itu tidak menyalak, tetapi sok. Kemudian, anak itu menyadari siapa yang mengajaknya berbicara. “Lo kan perampok, kalau tidak punya uang ya merampok saja!" ujar anak itu yang bermaksud memberikan solusi. Akan tetapi, lain tanggapan Adi. Solusi merampok dari anak kecil itu baginya adalah hinaan. Adi yang sudah merasa terhina semakin terhina saja. Adi kesal sehingga merebut kue anak laki-laki itu.
“Kembalikan kueku! Kembalikan!” Anak laki-laki itu berusaha merebut kembali haknya. Akan tetapi, Adi malah mendorong bahu anak itu. Anak itu tidak berhenti untuk berusaha meraih kuenya. Adi semakin kasar mendorong anak itu hingga akhirnya anak itu jatuh.
“Rampok! Huuuuu!” celetuk anak itu yang lantas menangis. Ia bangkit sembari mengebasi badannya dan terus menangis.
“Rampok ... rampok!” seru anak-anak yang lainnya yang sedang bermain dengan anak itu.
Semua warga yang melihat akhirnya ikut berseru, “Rampok ... rampok!”
Semua warga yang terdekat dengan kejadian mendengar teriakan warga. Mereka lekas ke luar dari rumah masing-masing. Salah satu menunjukkan telunjuknya ke Adi. Semua menjadi menghampiri Adi. Adi terbelalak. Mereka segera menghajar Adi.
Bukkk bukkk bukkk!
Bukkk bukkk bukkk!
Beberapa pukulan telah Adi terima. Di saat itu, Ragil melintas. Ragil melihat dengan terbelalak.
“Stop stop! Stop stop!” pekik Ragil berulang-ulang sampai warga menoleh acuh kepadanya dan berhenti memukuli Adi.
“Ada apa ini? Kenapa kalian main hakim sendiri?”
“Ini, Pak Ustaz, Perampok ini merampok!” terang warga sembari menjambak baju Adi lalu menyeretnya dan melemparkannya ke hadapan Ragil.
“Huhuuu ... dia merampok kue saya, Pak Ustaz.” Anak laki-laki menangis sambil mengadu dan menunjuk ke Adi. Ustaz terperangah dan menjadi menatap ke mata Adi.
“Maaf, saya lapar, seharian belum makan. Saya sudah meminta baik-baik, tapi dia menyuruh saya merampok, Ustaz.”
“Astaghfirullahal’adzim!” Ragil mengelus dada. “Adi, bagaimanapun kondisi kamu itu bukan hal yang baik! Apalagi ke anak kecil, Adi! Aku mohon kalian harap maklum, namanya juga orang lapar. Adek, kamu juga jangan begitu lagi sama Bang Adi ya? Begini saja, ini kebetulan Bapak ada kue cokelat yang lezat sekali. Bagaimana kalau kue ini untuk kamu dan teman-teman kamu, tapi kamu sama teman-teman kamu harus memaafkan Bang Adi dan tidak boleh bersikap begitu lagi sama Bang Adi? Bagaimana?”
“Mau mau, Pak Ustaz!” ujar anak laki-laki yang tadi jatuh. Semua anak berbinar, tersenyum, dan beberapa saling pandang.
“Nih, kamu bagi rata sama teman-teman kamu!”
“Terima kasih, Ustaz Ragil! Terima kasih, Ustaz Ragil!” seru anak-anak saat kue telah diterima oleh anak laki-laki yang jatuh.
“Ayo, kita bagi-bagi!” seru girang anak laki-laki itu sembari menunjukkan bungkusan di tangannya.
“Hore hore!” seru girang anak-anak yang lainnya.
“Adi, kamu ikut aku!” ajak Ragil.
Adi terdiam sesaat. “Baik, Pak Ustaz.”
“Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, kami permisi. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Ustaz.” Pergilah Adi mengikuti Ustaz Ragil.
✨❤️✨
“Assalamualaikum!” seru Ragil saat telah sampai di rumahnya.
“Waalaikumsalam!” Istri Ragil lekas ke depan.
“Waalaikumsalam, Ayah!” seru Ceisyacalestia Maryam.
“Waalaikumsalam!” seru Haffaz Hafid. Kedua anak Ragil semangat keluar menyambut juga karena tahu ayahnya pergi ke luar untuk membeli kue. Tia, Isya, dan Afa mencium punggung tangan Ragil.
“Ada tamu rupanya. Apa kabar, Adi?” sambut Aizacelestia Daneenchayra yang biasa dipanggil Tia.
“Alhamdulillah, babak belur, Bu,” jawab Adi dengan menundukkan wajahnya karena sangat malu sekaligus menghormati.
“Oh, Ya Allah.”
“Ayah, mana kue cake cokelatnya?” tanya gadis cilik yang sapaannya Ceisya atau Isya. Putri pertama Ragil yang tengah duduk di kelas empat SD.
“Maaf ya, Isya, Afa? Tadi Ayah sudah membeli kuenya, tetapi di jalan Ayah bertemu dengan teman-teman kalian yang sedang bermain. Ayah, jadinya memberikan kue kalian kepada teman-teman kalian itu. Maaf ya? Tidak apa-apa kan?”
“Tidak apa-apa, Ayah,” ujar Ceisya yang mengerti kalau Ragil memang suka beramal. Ia pribadi juga suka beramal.
“Lain kali beli lagi ya, Ayah,” kata Afa.
“Iya, Sayang, Insya Allah, Ayah akan beli lagi lain waktu.” Ragil mengusap lembut puncak kepala putranya itu yang masih duduk di kelas dua SD. “Ayo, kita masuk! Adi, ayo masuk!” Semuanya masuk ke dalam rumah.
“Bunda, boleh tolong siapkan makanan untuk Adi?”
“Iya, Ayah, sebentar akan Bunda siapkan.” Tia lekas ke dapur. Anak-anak Ragil lekas ke lantai atas, masuk ke kamar masing-masing.
“Adi, ayo duduk!” Adi menuruti titah Ragil.
“Kamu sekarang kerja apa, Adi?” tanya Ragil sembari bergerak duduk.
“Tidak kerja. Baru juga pulang tadi pagi. Tadi pagi juga sudah langsung cari-cari kerjaan, tapi belum dapat. Belum ada lowongan dan yang ada lowongan harus berijazah. Saya SMA saja tidak lulus, Ustaz.
“E ... begini, istriku butuh pembantu. Tugasnya buat bantu bersih-bersih halaman sama mengurus binatang. Saya ada ayam, ada kucing, dan ikan. Terus selain itu, anak-anakku butuh ada yang mengantar jemput. Aku tidak tenang kalau mereka jalan atau naik angkutan umum atau ojek. Kalau ada yang aku kenal dan bisa dipercaya, lebih tenang rasanya. Kalau kamu mau, kamu saja. Aku ada mobil ada motor yang bisa kamu pilih untuk kamu pakai buat antar jemput. Mengendarai mobil dan motor, kamu bisa kan?”
“Saya mau, Ustaz. Saya bisanya motor saja, tapi SIM nya mati.”
“Bisa diurus itu. Soal biaya aku yang tanggung. Sementara belum jadi kamu bisa melipir lewat jalan-jalan kampung, jangan lewat jalan raya besar.”
“Soal itu saya ahli, Ustaz.”
“Berarti kamu mau ya?”
Kemudian, Adi terdiam. Ia sadar diri dirinya seorang penjahat. Ia teringat barusan tadi Ragil bilang tidak tenang jika anak-anaknya pulang pergi sendiri. Lalu apa aman anak-anak jika bersama dengan dirinya yang penjahat.
“Adi ... kenapa? Berarti kamu mau kan kerja sama aku?”
“Em ... saya pikir-pikir dulu deh, Ustaz.”
“Loh, tadi katanya mau, kok masih dipikir-pikir lagi.”
“Maaf, Ustaz.”
“Ya udah silakan kalau mau dipikir-pikir dulu.”
Tia datang menghampiri kedua pria yang sedang berbincang. “Ayah, makanannya sudah siap.”
“Adi, ayo kita makan sama-sama!” Adi hanya diam sungkan. “Adi, ayo, jangan malu-malu, anggap rumah sendiri!”
Perlahan Adi berdiri. Ragil dan Adi berjalan ke ruang makan. Tia mengikuti setelah cukup berjarak. Tia mengikuti untuk mengecek. Setelah melihat semuanya sempurna tidak ada yang kurang, Tia meninggalkan kedua pria beda usia dua puluh tahun tersebut.
“Jangan malu-malu, Adi! Makan yang banyak, yang kenyang!”
Sembari makan, Ragil teringat Immy. Immy, seorang gadis penjaga toko kue yang ada di pinggir jalan raya, di depan kampung itu. Baru saja ia membeli kue padanya. Ia juga tahu mengenai hubungan Immy dan Adi.
“Adi, ceritakan hubungan kamu dengan Immy. Kalau tidak salah kalian pernah punya hubungan seriuskan?”
“Sudah putus lama, Ustaz. Saya sekarang sama Dian.”
“Kenapa?”
“Saya kan berandalan, Ustaz. Keluarga Immy maunya menantu yang baik-baik.”
“Kalau Dian?”
“Sebenarnya hanya main-main, tidak ada perasaan sama dia. Diannya aja yang ngejar-ngejar saya, ya saya terima saja kebetulan saya lagi kosong tidak ada pasangan.”
“Baiknya memang kosong kalau bukan pasangan yang halal, Adi. Kalau kamu masih ada perasaan tidak sama Immy?”
“Saya tidak memikirkan Immy sama sekali, Ustaz. Buat apa saya memikirkan Immy?”
✨❤️✨
Sementara itu, di sebuah kantor, Yasa sedang diam-diam mengamati Nyneve. Nyneve merasakan aneh kenapa jantungnya berdebar-debar seolah hendak bertemu seseorang yang membuatnya canggung. Kemudian, ia mendapati tidak jauh darinya ada Yasa. Akan tetapi, rasa berdebar itu bukan karena Yasa. Kemudian, sekilas terlintas wajah orang yang sempat bertabrakan dengannya dua kali.
“Gara-gara melamun jadinya kesambet,” celetuk Nyneve lirih-lirih mengingat Adi. Kemudian, ia senyum-senyum gara-gara kejadian di pagi tadi.
Bersambung
Terima kasih
✨❤️❤️❤️✨
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)