Try new experience
with our app

INSTALL

Meniti Sehelai Jembatan Surga  

MSJS 3

MSJS 3. Terhina


“Tadi melamun, sekarang kesurupan! Pasti karena jalan melamun tadi, sekarang jadi jalan kesurupan!” geregetan Nyneve.


“Mmmaaf maaf. Eh, kkita ketemu lagi. Ssesemoga kita ketemu lagi.” Protes Nyneve menyadarkan Adi yang terpaku. Membuat Adi salah tingkah dan terbata-bata.


“Kalau ada umur panjang dan izin Allah kita akan bertemu lagi. Assalamualaikum.” Nyneve tersenyum lalu pergi.


Deg, senyuman Nyneve membuat Adi sejenak kembali terpaku hingga membuatnya membalas salam dengan lirih. “Waalaikumsalam.” Adi juga melangkah pergi sembari melihat ke arah kepergian Nyneve. Namun, langkahnya terganjal sesuatu. Ia menjadi melihat ke bawah. Ia baru menyadari dompet yang dicurinya terjatuh. Ia terkejut sedikit ketakutan ada yang tahu. Lekas-lekas ia ambil dan ia masukkan ke dalam tas punggung kecil yang dibawanya. Setelah itu, ia jalan lagi begitu terburu-buru seolah kesurupan.


✨❤️✨


Di halte, Ratna sedang bingung mencari dompetnya. Orang-orang yang ada di halte itu ikut mencari-cari. Ketika itu datanglah Nyneve dan membuat Nyneve tanda tanya dengan yang dilihatnya. Kenapa orang-orang sepertinya sedang sibuk mencari sesuatu? Ratna tampak yang paling aktif mencari.


“Ada apa, Ratna?”


“Dompet saya hilang, Bu!” keluh Ratna dengan nada panik lalu lanjut mencari-cari.


“Memangnya kamu taruh mana?”


“Di tas.”


“Kamu ingat-ingat kamu tadi terakhir membukanya kapan dan di mana!”


“Ingat, Bu, saat baru naik mobil Ibu. Saat saya selesai menggunakan ponsel, saya masukkan ponsel ke dalam tas saya. Itu terakhir. Iya memang saat setelah memasukkan ponsel saya tidak menutup resletingnya.


“Mungkin jatuh. Ayo coba cari! Kalau tidak di sini mungkin saja jatuh di dalam mobil.” Nyneve menjadi ikut mencari.


✨❤️✨


Dengan berjalan tergopoh-gopoh akhirnya Adi sampai di kampungnya. Di saat itu, ia bertemu dengan Dian. Dian adalah rekannya sesama perampok dan juga kekasihnya.


“Adi! Kapan kamu bebas? Sombong, sudah bebas tidak menemui aku! Tidak ke markas!” seru Dian antusias saat mendapati Adi.


“Belum sempat.”


“Kebetulan ada kamu. Aku mau mengajak kamu beraksi. Aku punya sasaran. Ngomong-ngomong, kamu kayaknya kok buru-buru? Ada apa? Ah, aku tahu! Kamu habis maling ya? Bagi aku dong hasilnya!”


Di saat pertanyaan itu terlontar dari mulut Dian, Ustad Ragil melintas dan menghampiri Adi. Adi Luhung cukup terkejut dengan kehadiran Ustad Ragil. Ia khawatir Ragil tahu. Ia menjadi merasa tidak karena telah melanggar janji.


“Assalammualaikum.”


“Waalaikumsalam, Ustad.”


“Apa kabar kamu, Adi?”


“Baik, Ustad.”


Dian kesal lantaran pertanyaannya tidak dijawab Adi. “Adi kamu belum jawab pertanyaanku!” Dian memegang wajah Adi agar perhatian Adi ke dirinya. “Kamu habis malingkan? Mana hasilnya? Bagi aku!” Adi menjadi sedikit gemetaran atas kata-kata Dian yang terang-terangan di depan Ragil. Sungguh ia khawatir mengecewakan Ragil. “Mana?!”


“Tttititidak, sungguh tidak, aku sudah bertobat.


Dian mengernyitkan wajahnya tidak percaya. “Tobat?”


“Benar, Insya Allah, Adi telah tobat. Kini, Adi menjalani hidup dengan baik,” terang Ragil yang menduga demikian dengan sangat yakin. Adi yang mendengar kata-kata dukungan Ragil menjadi semakin tidak enak sehingga ia menelan ludahnya.


“Iya, Ddddian, aaaku ingin menjalani hidup dengan baik.”


“Silakan kalian teruskan ngobrolnya. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.”


“Waalaikumsalam.”


Dian tidak senang dengan tobat Adi. “Tobat? Apa? Kamu tobat? Kau tidak boleh tobat, Adi! Aku mau mengajakmu beraksi nanti malam, Adi, tapi kau sungguh menyebalkan! Nanti malam pokoknya kau harus ikut beraksi! Aku tunggu kau di markas! Jika kau tidak datang maka kita putus dan aku tidak akan pernah mau menjadi kekasihmu lagi! Kau mengerti Adi?” Dian pergi. Adi pergi dengan arah yang berbeda.


Adi melangkah sembari memikirkan ajakan Dian. Ia merasa tidak masalah putus dari Dian. Yang menjadi masalah kalau ia tidak ikut ia tidak memiliki penghasilan. Namun, ia baru keluar dari penjara, khawatir kalau ikut tertangkap lagi. Ia masih mau menghirup udara bebas. Selain itu, janji untuk tidak mengulangi terasa mengunci keinginannya untuk ikut.


“Sementara ini dompet ini dululah. Semoga isinya lumayan.” Adi bergegas melangkah pulang ke rumahnya karena tidak sabar ingin melihat isi dompet yang dicurinya.


✨❤️✨


Adi Luhung lekas masuk ke dalam gubuknya. Ia tidak sabar mau menghitung hasil dari mencuri. Ia membuka tasnya dengan berbinar-binar tidak sabar. Ia membuka dompet yang dicurinya lalu menghitung isinya. Selain itu ia perhatikan ada kartu-kartu.


“Lumayan. Ini cukup untuk mengisi perutku beberapa hari ke depan.” lirihnya berbinar. Kemudian, ia merasa gamang. “Hah! Aku sudah berjanji untuk tidak mencuri, tapi aku lapar.”


Adi melihat kartu namanya. Selain KTP, ada juga kartu yang menunjukkan identitas tempat pemilik dompet bekerja. Tempat bekerjanya lebih dekat daripada rumahnya. Ia menjadi terpikir untuk mendatangi alamat kantor itu guna mengembalikan dompet yang telah dicurinya itu. Ia pun menimang rasa laparnya sampai mengusap-usap perutnya.


“Dawai T & B. Dawai Trendy dan Branded. Aku harus mengembalikan ini dan mencoba mencari pekerjaan lagi. Em ... bolehlah aku ambil sedikit untuk makan dan juga upah jalan kaki atau untuk naik angkot mengantarkan dompet ini.” Ia mengambil selembar. Namun akhirnya ia masukkan lagi. Ia terpaksa harus menahan lapar. “Ck!” decaknya karena keputusannya itu. Ia pun heran pada dirinya sendiri sudah dapat dompet malah mau dikembalikan. Sedikit pun isinya tidak berani ia ambil. Ia segera memasukkan dompet itu ke dalam tas punggungnya lagi. Kemudian, ia bergegas pergi menuju alamat kantor pemilik dompet.


✨❤️✨


Sementara itu, di sebuah rumah yang dijadikan markas para perampok, di depannya sedang banyak sepeda motor. Hal itu menandakan di dalamnya sedang ada banyak orang. Mereka sedang berkumpul merencanakan perampokan. Nanti malam, adalah waktu yang telah mereka tentukan.


“Bagaimana persiapan untuk merampok nanti malam?” tanya Dian.


“Sudah siap,” terang salah satu pria di antara mereka.


“Aku nanti yang akan bergerak pertama kali,” ujar salah satu yang lain lagi di antara mereka.


“Oke, nanti jangan sampai telat! Jam sepuluh tepat kita sudah berkumpul di markas!” tegas Dian.


✨❤️✨


Cukup lumayan jauh Adi melangkah. Ia yang sedang merasa lapar kini ditambah lelah. Sudah tadi pergi jalan kaki, kini jalan kaki lagi. Apalagi yang kali ini tujuannya cukup jauh. Rasanya tidak sampai-sampai kalau tidak naik kendaraan. Namun, ia tidak memiliki apa pun untuk naik angkutan umum. Ambil sepeser saja dari dompet itu, hatinya tidak sanggup. Saat ada orang bermotor melintas, ia yang sudah kelelahan mendapatkan ide untuk menumpang. Ia segera cegah motor yang melintas.


“Bang, mau ke mana? Boleh tidak numpang? Soalnya saya tidak punya uang.”


“Memang mau ke mana?”


Adi mengeluarkan kartu alamat dari dompet di dalam tasnya. “Ini, Dawai T&B.”


“Oh, iya, saya tahu. Saya tidak ke sana, tapi saya searah. Saya belok sebelum sampai sana, tapi nanti akan saya antarkan Abang sampai Dawai T & B.”


“Serius?”


“Serius! Ayo naik!”


Namun, Adi menjadi tidak mengenakan helm. Pengendara itu hanya membawa sebuah saja yang dikenakan. Saat melintasi jalan raya, polisi yang melihat menunjuk-nunjuk. Pengendara sadar ada polisi.


“Ada polisi!” seru pengendara motor lalu ngebut. Adi terbelalak, ia menjadi khawatir dipenjara lagi.


“Jangan ke jalan raya! Masuk dulu ke gang-gang sempit!” seru Adi memberikan ide. Pengendara menuruti. Akhirnya, keduanya selamat dari polisi.


“Maaf, turun sini ya? Saya tidak mau mendapatkan masalah. Saya juga tidak punya uang banyak buat kasih amplop ke polisi. Dawai T & B masih jauh sih dari sini, tapi lumayan daripada tadi.”


“Iya, deh, terima kasih, Bang.” Akhirnya, terpaksa Adi turun di sebuah perkampungan gang-gang sempit. Adi melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.


Kemudian, ia mendapatkan ide untuk kembali menumpang. Namun, kali ini sebelum sudut kota, ia turun dan jalan kaki. Kemudian, ia menumpang lagi dan begitu lagi. Ia berpikir polisi-polisi akan berdiam di setiap sudut kota. Ia menghindari itu. Akhirnya, ia berhasil sampai di jalan yang sesuai kartu nama di mana Dawai T & B berada.


Adi melihat alamat di kartu. Kemudian, ia mengedarkan netranya mencari-cari. Di trotoar pinggir jalan raya ia melangkah menuju alamat. Akhirnya, ia menemukan kantor itu.


“Permisi, apa benar ini kantor Dawai T & B?”


“Benar,” jawab pria berpakaian Satpam.


“Saya mencari Ratna Rantika. Apa ada?”


“Iya ada. Silakan masuk saja dan tanya di dalam.”


“Terima kasih.” Adi masuk ke dalam.


Seorang gadis yang pernah dilihatnya sekilas melintas jauh di sana di dalam kantor itu. Ia terdiam sesaat karena melihat gadis itu. Kemudian, sebuah tepukan pria membuyarkannya.


“Siapa? Sepertinya bukan karyawan sini!” tegur pria yang merupakan karyawan senior dan memimpin kantor itu meskipun bukan pemilik kantor itu.


“Saya sasaya mau mencari orang namanya Ratna Rantika.”


“Oh, sebentar saya panggilkan.” Pria itu pergi masuk semakin dalam di kantor itu. Saat melangkah ke dalam, wajahnya berekspresi tidak senang. “Siapa dia? Ada hubungan apa dengan Ratna? Pakai memandangi Nyneve lagi tadi!”


Ratna ke luar dan menghampiri Adi. “Siapa ya?”


“Apa Anda Ratna Rantika?” tanya Adi sembari membaca kartu nama.


“Iya, benar.”


“Ssaya mau mengembalikan ini. Em ... em ... iini ddddompet Anda.” Adi bergetar karena merasa bersalah, takut Ratna tahu dompet itu ia curi, dan khawatir dihakimi oleh Ratna. Akan tetapi, Adi berpikir Ratna tidak tahu dan jangan sampai tahu. Oleh karena itu, ia harus pintar-pintar cari alasan bagaimana dompet itu ada padanya. 


“Ini dompetku!” Ratna berbinar dan lekas memeriksa isinya. Ia lebih berbinar lagi yang kemudian bernapas lega. “Alhamdulillah, masih utuh!”


“Em ... bagaimana bisa sama kamu?” Deg, akhirnya, pertanyaan itu terlontar. Adi sampai menelan ludahnya demi mendapati pertanyaan itu.


“Ssssaya mmenemukannya di sekitar halte.”


“Padahal tadi udah dicari-cari di halte, tapi tidak ketemu. Terima kasih, ya. Em ... ini sedikit buat kamu.” Ratna menyodorkan selembar lima puluh ribu dari dompetnya yang baru ketemu itu.


“Tidak perlu, terima kasih.” Adi menolaknya.


“Lalu berterima kasih pakai apa dong?”


Adi menjadi teringat kalau dirinya butuh pekerjaan. “Di sini apa ada lowongan? Saya butuh pekerjaan. Mendapatkan pekerjaan di sini sudah lebih dari cukup untuk berterima kasih.”


“Ada sih.”


Di saat itu, Yasa yang tadi menepuk bahu Adi datang. “Siapa dia, Ratna? Apa hubungannya sama kamu?”


“Bukan siapa-siapa, hanya sedang mencari pekerjaan.”


“Ada lowongan, tapi di sini minimal Diploma. Bawa surat lamarannya?”


“Saya tidak membawa, Pak.”


“Bagaimana kamu ini? Melamar pekerjaan tidak membawa surat lamaran!”


“Abang ini masih mencari informasi, Pak,” terang Ratna.


“Ya sudah, kamu segera kembali ke sini dengan membawa surat lamaran! Memang kamu lulusan apa?”


“SMA tidak lulus, Pak.”


“Apa? Berani-beraninya kamu tidak berpendidikan melamar kerja di sini! Ini tempat orang-orang berpendidikan, bukan orang bodoh seperti kamu! Pergi!”


“Maaf, saya permisi.” Adi Luhung pergi dengan merasa terhina.


✨❤️✨


Adi Luhung jalan kaki pulang dengan perut lapar dan perasaan terhina. Merasa letih, ia kembali menumpang. Namun, kali ini ia menumpang dengan kegarangannya membuat orang mau memberikan tumpangan karena takut. Setelah sampai di kampungnya, ia kembali jalan kaki untuk menuju ke rumahnya. Akan tetapi, rasa terhina itu membuatnya membuat keputusan bulat untuk ikut Dian. Ia mengubah tujuan langkahnya dari arah ke rumahnya menjadi ke tempat Dian sering berada, yaitu markas.


“Dian! Dian!”


Dian ke luar dengan berbinar. “Jadi ikut?”


“Jam berapa nanti malam?”


“Jam sepuluh sudah di sini.”


“Aku pasti ikut!”


“Nah, begitu dong! Ini baru Adi Luhung kekasih Dian!”


Bersambung

Terima kasih

✨❤️❤️❤️✨


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)