Try new experience
with our app

INSTALL

Meniti Sehelai Jembatan Surga  

MSJS 2

MSJS 2. Tadi Melamun Sekarang Kesurupan 


“Astaghfirullahal’adzim!” Ragil mengelus dada.


Mengetahui pandangan Ragil seperti itu, masyarakat tak acuh ke Ragil dan kembali memusatkan perhatian ke rumah Adi. Mereka kembali bereaksi atas kepulangan Adi. Menuntut penuh penekanan dengan pasti.


“Adi, pergi kamu dari kampung ini! Jangan pernah kembali lagi!”


“Harusnya kamu tetap di penjara!”


“Kalau kamu tidak pergi baik-baik, kami akan usir secara kasar!”


“Pergi! Pergi! Adi, pergi! Cepat pergi dari sini! Hei, Sampah, pergi!”


Semua warga kembali berteriak bersahut-sahutan. Mereka kekeh mau Adi Luhung pergi dari kampung mereka. Adi adalah sampah yang begitu kotor bagi masyarakat. Adi adalah penyakit yang harus segera dibasmi demi keselamatan masyarakat setempat.


“Ya Allah, apa benar jika Adi yang mantan narapidana perampok itu tetap di kampung ini berbahaya bagi masyarakat sekitar? Ya Allah, apakah tidak mungkin Adi bertobat? Jika Adi masih mungkin menjadi baik dan tidak membahayakan masyarakat, mohon tenangkanlah masyarakat. Buat mereka mau memaafkan Adi dan memberikan Adi kesempatan memperbaiki diri,” batin Ragil.


Wuttt wuttt wuttt ....

Pltakkk pltakkk pltakkk!

Wuttt wuttt wuttt ....

Pltakkk pltakkk pltakkk!

Wuttt wuttt wuttt ....

Pltakkk pltakkk pltakkk!

Wuttt wuttt wuttt ....

 Pltakkk pltakkk pltakkk!


Wusshh wusshh wusshh ....

Bukkk bukkk bukkk!

Wusshh wusshh wusshh ....

Bukkk bukkk bukkk!


Wuttt wuttt wuttt ....

Prakkk prakkk prakkk!

Wuttt wuttt wuttt ....

Prakkk prakkk prakkk!


Wusshh wusshh wusshh ....

Pluggg pluggg pluggg!

Wusshh wusshh wusshh ....

Pluggg pluggg pluggg!


Batu-batu kembali menghujani rumah Adi. Sampah-sampah jatuh menjadi tumpah ruah mengotori. Telur-telur dilontarkan hingga pecah dan semerbak amis. Kotoran-kotoran semakin menyatakan betapa busuknya Adi bagi masyarakat setempat, sesuatu yang harus mereka singkirkan.


Ragil melangkah maju ke depan rumah Adi. Hal itu, membuat warga yang melempari rumah Adi berhenti melempar. Tinggallah sahut-sahutan suara mengusir.


“Minggir, Pak Ustad!” titah salah satu warga agar mereka bisa melempari rumah Adi.


“Tenang! Tenang, Saudara-Saudara!”


“Jangan larang dan halangi kami, Pak Ustad! Kami tidak mau celaka!”


“Iya, Ustad, jangan menjadi penghalang! Harta kami, kami cari susah payah, tidak akan mungkin kami biarkan diusik oleh perampok itu!”


“Apalagi nyawa kami menjadi taruhannya, Pak Ustad!”


“Tapi saat ini, apa harta kalian hilang oleh Adi? Apa nyawa kalian hilang oleh Adi?”


“Hari ini tidak, tapi kalau kami biarkan Adi di sini, apa jadinya nanti, Ustad? Apakah harus menunggu dari kami ada yang menjadi korban, Ustad?”


“Tidak tidak, jangan sampai menunggu jatuh korban! Sekarang juga ayo kita usir Adi!”


“Iya, usir Adi! Usir Adi!”


“Adi, cepat pergi kamu dari sini!”


“Adi, cepat kamu pergi atau kami bertindak kasar!”


“Ya Allah!” keluh Ragil saat masyarakat kembali bersahut-sahutan mengusir Adi. “Tenang, tenang dulu! Tenanglah dulu kalian!” pekik Ragil kemudian. Masyarakat yang masih menghormati Ragil kembali tenang dan menatap ke Ragil. “Dengarkan aku dulu! Bumi ini milik Allah SWT! Semua makhluk berhak untuk tinggal! Adi Luhung memang salah, tapi dia sudah dihukum! Sekarang hukumannya sudah selesai! Alangkah bijak kalau kita memberikannya kesempatan!”


“Kesempatan untuk ada korban di antara warga, Ustad?”


“Tidak begitu! Kesempatan untuk dia menjadi orang baik! Semua orang pasti punya kesalahan! Tidak ada yang suci kecuali mungkin malaikat atau nabi! Kalau kita-kita sama-sama hina dina! Dengan Adi sudah mendapatkan hukuman, siapa tahu dia sudah jera! Cobalah kalian berikan kesempatan! Tentunya dengan pengawasan ketat! Awasi tindak-tanduknya, setiap pergerakannya! Dari mana Adi, mau ke mana Adi, harus diperhatikan! Awasi keluarga dan harta kita juga tentunya! Seharusnya kita menyambut kepulangannya dengan doa! Kita doakan agar ia tidak mengulangi perbuatannya dan agar ia bisa menempuh jalan yang benar! Berdoa juga buat anak-anak kita, keturunan-keturunan kita, agar tidak ada yang melenceng seperti Adi Luhung! Kalau kita menghakimi orang, khawatirnya akan berbalik ke kita! Bagaimana kalau kita atau anak keturunan kita di tempatkan di situasi sulit atau salah pergaulan yang membuat menjadi jahat atau melenceng menjadi perampok seperti Adi atau melenceng yang lainnya? Saya berharap kalian bersedia memberikan Adi kesempatan dengan harapan Adi berubah menjadi baik! Semoga dengan kita bijaksana kepada Adi, keluarga kita tidak ada yang melenceng, keluarga kita baik-baik saja, selamat dunia akhirat, dan murah rezeki!” Semua warga manggut-manggut mendengar penuturan Ragil yang menyala-nyala.


“Aamiin, Pak Ustad,” sambut salah satu warga.


Kemudian, warga saling pandang. Mereka menjadi berpandangan sama dengan Ragil. Kemudian, warga sepakat untuk memberikan Adi kesempatan.


“Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing!” seru salah satu warga. Warga akhirnya membubarkan diri.


“Assalammualaikum, Ustad!”


“Waalaikumsalam!”


Warga bersahutan mengucapkan salam ke Ragil. Ragil membalas dengan antusias. Satu persatu meninggalkan rumah Adi.


“Alhamdulillah!” ucap Ragil saat melihat dua warga terakhir yang tengah melangkah meninggalkan rumah Adi.


“Hah!” hela Ragil begitu lega saat semua warga telah pergi. Artinya, Allah yang mengizinkan Adi bebas dari hukuman sosial. Masyarakat terketuk hatinya karena Allah yang mengetuk. Allah telah memberikan hati mereka rasa damai meskipun di sekitar mereka ada Adi sang mantan narapidana perampokan.


Mendengar tidak ada seruan-seruan warga lagi, Adi ke luar dari dalam gubuknya. Ia melihat di depan rumahnya tengah sepi. Namun, ia cukup pusing hingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal mendapati betapa jijik rumahnya.


“Tenanglah, semua warga telah aku beri pengertian!” terang Ragil berseru lalu melangkah sedikit mendekat sembari berhati-hati dari kotoran dan sampah yang berserakan.


“Terima kasih, Ustad.”


“Kapan kamu ke luar dari penjara?”


“Baru pagi ini, Ustad.”


“Alhamdulillah. Baiklah, aku pamit. Ada urusan mengajar mengaji. Assalamualaikum.”


“Tunggu, Ustad! Em ... sasaya jjjanji sama Pak Ustad, saya tidak akan merampok atau mencuri lagi.”


“Berjanjilah kepada Allah bukan kepada aku, Adi. Pertanggungjawaban di akhirat nanti kepada Allah bukan kepadaku. Assalamualaikum!”


“Waalaikumsalam.”


Dari luar gubuk, Adi masuk ke dalam gubuk sembari berkata. “Untunglah ada Ustad Ragil, kalau tidak, aku sekarang sudah jadi gelandangan. Bisa juga aku dihajar masa. Atau ... ha ... dibakar!” Adi membayangkan yang tidak-tidak karena memang banyak berseliweran berita demikian. “Kapok ... kapok ... tobat ... tobat,” ucapnya lantaran ketakutannya itu.


Krucukkk krucukkk ....


Adi mengusap-usap perutnya. “Aduh, perutku lapar, tapi tidak ada makanan. Aku juga tidak punya uang. Bagaimana ini? Aku tidak bisa mencuri lagi, aku sudah berjanji. Aku juga takut dihajar masa. Mungkin aku coba mencari pekerjaan.


Adi Luhung mengeluarkan isi tasnya yang kecil dari barang-barang yang tadinya mau ia bawa untuk menjadi gelandangan. Setelah itu, ia berpakaian yang rapi dan mengenakan sepatu sport murahan. Kemudian, ia tanpa membawa apa pun di dalam tas itu, ia pergi dari gubuknya.


✨❤️✨


Lalu lintas kota begitu padat. Ada beraneka angkutan umum. Akan tetapi, Adi yang tidak punya apa pun jalan kaki. Di setiap tempat yang ia pikir bisa mendapatkan pekerjaan ia hampiri. Cukup jauh ia melangkah, cukup banyak tempat, dan cukup beraneka ragam tempat yang ia kunjungi untuk ia tawarkan tenaganya. Akan tetapi, tidak satu pun ada yang membutuhkan tenaganya. Sampailah ia di jajaran perkantoran. Ia pun melihat-lihat perkantoran itu dan mendatanginya. Namun, sama saja nihil.


Di saat yang sama, Nyneve Amayakamaria Lilith, pewaris Dawai T&B meminggirkan mobilnya di dekat halte bus. Halte itu tampak cukup ramai oleh para karyawan-karyawati berbagai perusahaan dan masyarakat pengguna angkutan umum. Sehingga sering kali cukup membuat berdesakan yang melintasi trotoar itu. Setelah berhasil memarkir mobil, Ia dan pegawainya yang bernama Ratna turun dari mobil.


“Ratna, kamu tunggu di sini dulu, saya ada perlu sebentar!”


“Baik, Bu.” Ratna memilih menunggu di halte yang ramai itu.


Nyneve lekas pergi. Ia berjalan terburu-buru karena khawatir dengan mobil yang diparkirnya. Meskipun demikian, ia masih sangat awas dalam melangkah dan melihat.


Adi Luhung berjalan dengan rasa putus asa. Ia melamun menerawangkan netranya ke sekitar. Kemudian, ia melamun dengan menundukkan kepalanya. Kini, menatap kosong ke trotoar yang ia lalui. Berjalan menunduk putus asa membuatnya tidak melihat yang ada di depannya. Akhirnya, menjadi menabrak Nyneve yang berjalan berlawanan arah di satu trotoar yang sama.


Brukkk!


“Astaghfirullahal’adzim!” seru Nyneve.


Adi Luhung terkejut dan menjadi melihat yang ditabraknya. Deg, apa yang dilihatnya membuatnya terpanah hingga berbinar, tak berkedip, dan terpaku.


Dalam hati, Adi berkata, “Cantik.” Deg, deg, deg, deg deg deg deg deg. Jantungnya perlahan terpompa lebih dari normal dan semakin menjadi.


“Bang, jangan melamun terus! Untung saya bukan mobil! Kalau saya mobil bagaimana?”


“Ke surga.”


“Apa?!”


“Maaf! Maaf maaf!” Adi baru tersadar.


“Assalamualaikum!” Nyneve pergi.


“Waalaikumsalam! Bidadari ....” Adi Luhung membalas antusias lalu lirih menyapa. “Cantik,” celetuknya sembari melanjutkan melangkah maju, tetapi dengan posisi agak menengok ke Nyneve.


Adi baru jalan lurus saat memasuki kerumunan orang di halte. Di saat itu, ia melihat sesuatu. Ratna membawa tas dengan resleting terbuka. Nampak jelas ada dompet di dalamnya. Ia lupa janji lupa ketakutannya dihakimi masa. Ia pelan-pelan mendekat ke Ratna. Clingak-clinguk memastikan tidak ada yang memperhatikan. Setelah pasti dekat dan pasti aman, ia mulai bergerak. Diam-diam, tangannya merogoh tas Ratna dan mengambil dompet di dalamnya. Kemudian, ia pergi dengan tergesa-gesa ke arah ia datang tadi.


Ratna ingin menelepon seseorang. Ia menjadi tertuju pada tasnya di mana ia menyimpan ponsel pintarnya. Ia melihat resleting tasnya terbuka. Ia ingat memang belum menutupnya selesai menggunakan ponsel dan memasukkan ke tas itu. Ia lantas merogoh tasnya sembari melihat isi di dalamnya. Ia merasa aneh. Ia memahami ternyata dompetnya tidak ada. Deg, ia menjadi terbelalak bersama jantung yang seolah mau copot.


“Dompetku hilang!”


✨❤️✨


Adi berjalan tergesa-gesa. Tidak sengaja ia kembali menabrak Nyneve yang kini berbalik arah ke arah halte. Deg, ke sekian kalinya Adi terpanah saat melihat wajah Nyneve dan empat mata mereka bertemu. Dompet Ratna yang ada di genggamannya menjadi terjatuh gara-gara terpesona. Ia terus terpaku menatap Nyneve.


“Inalillahi!” sebut Nyneve.


“Cantik,” celetuk Adi tanpa sadar. Untungnya hanya lirih dan Nyneve tidak memperhatikan. Nyneve cenderung memperhatikan tabrakan yang terjadi.


“Tadi melamun, sekarang kesurupan! Pasti karena jalan melamun tadi, sekarang jadi jalan kesurupan!” geregetan Nyneve.


Bersambung

Terima kasih

✨❤️❤️❤️✨


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)