Contents
Meniti Sehelai Jembatan Surga
MSJS 1
MSJS 1. Adi Luhung dan Nyneve Amayakamaria Lilith
“Saudara Adi Luhung, sudah waktunya Anda bebas!” Di sebuah kantor polisi, polisi membukakan pintu penjara. Adi Luhung ke luar dari tempat itu. Ia bebas setelah menjadi narapidana kasus perampokan. Ia bernapas lega dan dengan antusias bergegas pergi dari tempat itu.
“Hm ... bakal ada agenda merampok ke mana ya? Sementara ini aku nikmati dululah bebas,” batin Adi yang tidak kapok sembari melangkah ke luar dari penjara.
Adi Luhung kembali ke kampungnya. Masyarakat yang melihatnya mencemooh, mengucilkannya. Saat ia melintasi jalan-jalan di kampungnya menuju ke rumahnya, ada beberapa masyarakat yang takut kepadanya. Bahkan mereka ketakutan hingga cepat-cepat mengajak anak-anak mereka masuk ke dalam rumah.
“Ih, Perampok!” Masyarakat terus mencemoohnya. Akan tetapi, ia tidak ambil pusing. Bisa saja ia menghajar mereka, tetapi ia baru saja ke luar dari penjara. Ia masih mau bebas untuk saat ini.
Adi memilih lekas masuk ke gubuknya yang reot. Sebuah rumah kecil yang dikelilingi halaman tanah. Sedikit halaman dengan ukuran sama di sisi depan, kanan, dan kiri. Halaman cukup luas dengan ukuran dua kali lipat dari ketiga sisi itu di bagian belakangnya. Rumah yang begitu kuno, warisan turun-temurun. Sebagian bangunannya berdinding bata dan sebagian lagi anyaman bambu. Dinding bata maupun dinding anyaman sudah ada yang keroak dan berlubang. Atap-atapnya sudah bocor-bocor. Kini yang tinggal di rumah itu tinggal Adi seorang karena Adi memenangkan dari perebutan di antara keluarganya. Kegarangan dan kebengisan Adi yang membuat keluarganya takut dan memilih menyerahkan rumah kecil itu kepada Adi daripada keselamatan hingga nyawa mereka yang terancam.
✨❤️✨
Di sisi lain, di pagi yang sama, di sebuah kantor dengan penampakan sederhana ada Nyneve Amayakamaria Lilith. Yasa, karyawan senior di kantor itu sedang memperkenalkan gadis yatim piatu itu kepada rekan-rekannya karyawan-karyawati kantor Dawai T&B (Dawai Trendy dan Branded).
“Teman-Teman, saya mohon perhatiannya sebentar!” Semua menjadi memperhatikan Yasa dan gadis yang bersamanya.
“Perkenalkan, yang ada di sebelah saya ini adalah Nyneve Amayakamaria Lilith! Beliau ini adalah putri dari Almarhum Pak Dawai. Beliau sekarang yang memimpin di sini. Ibu Nyneve, mohon sedikit sambutannya!”
“Baik, Pak Yasa, terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!”
“Perkenalkan, saya Nyneve Amayakamaria Lilith. Kalian bisa memanggil saya Nyneve. Saya putri tunggal dari Almarhum Pak Dawai. Terus terang, saya belum pernah terlibat mengurusi bisnis fashion ini yang bergerak di banyak hal tentang fashion dan telah memiliki banyak cabang di setiap bagiannya. Namun, kepergian beliau membuat saya harus mempelajari semua mengenai bisnis ini. Saya sudah pelajari dan masih banyak yang harus saya pelajari. Mulai hari ini, saya akan memimpin usaha ini. Mohon bimbingan dan kerja samanya. Sekian dari saya. Terima kasih. Wasalammualaiku warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!”
“Oke, cukup, Teman-Teman! Kita kembali bekerja!” seru Yasa. Semua karyawan-karyawati kembali bekerja.
Nyneve berjalan ke ruangannya. Di belakangnya, Yasa mengikutinya. Yasa mengikutinya sembari senyum-senyum menatap bodynya. Nyneve merasakan ada yang mengikutinya sehingga menengok ke belakang. Yasa segera menghentikan kelakuannya.
“Iiiibu Nyneve, kkalau ada perlu apa em ... atau atau butuh sesuatu, ruangan saya ada di sebelah situ, Ibu.” Yasa terbata-bata salah tingkah.
Nyneve tersenyum manis. “Terima kasih.” Kemudian, ia masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu. Yasa tersenyum lalu pergi ke ruangannya.
✨❤️✨
Saat Yasa masuk ke ruangan pribadinya di kantor itu, ia semakin tersenyum lebar. Kekeh-kekeh kecil pun terlontar. Obsesi hatinya yang sudah terpendam lama sepertinya mendapatkan jalan.
“Sudah sangat lama aku menunggu kesempatan baik seperti ini untuk mengambil alih kuasa atas bisnis ini. Sudah bertahun-tahun sejak awal-awal menjadi bawahan Pak Dawai. Sudah lama aku menjadi kacung Pak Dawai. Inilah saatnya aku menjadi bos menggantikan Pak Dawai. Aku akan mendekati Nyneve, menikahinya, lalu akan aku ambil kuasa atas bisnis ini.” Yasa menyeringai setelah berkata dengan lirih.
✨❤️✨
Kehadiran Adi Luhung mantan narapidana perampokan di kampung mengusik ketenangan warga. Warga tidak mau kampung mereka tercemar oleh kehadiran seorang perampok. Warga juga cemas akan keselamatan diri masing-masing karena Adi adalah perampok. Harta dan jiwa masyarakat bisa saja terancam. Masyarakat pun sudah tahu mengenai perangai Adi kepada keluarga Adi sendiri. Jika kepada keluarganya sendiri demikian apalagi kepada orang lain. Masyarakat setempat berkumpul dan membicarakan hal itu. Mereka pun sepakat untuk tidak mengizinkan Adi berada di sekitar mereka. Adi harus diusir dari kampung. Pergilah mereka berbondong-bondong ke gubuk Adi.
Adi Luhung merebahkan tubuhnya di dipan kayu tanpa kasur. Kasur-kasur yang ada di rumah itu berupa kasur kapuk yang sudah bertahun-tahun. Semuanya telah dedel-duwel dan kapuk-kapuknya telah berhamburan. Adi yang miskin belum juga sanggup membeli satu pun kasur.
Belum lama berbaring, saat ia hampir tertidur, terdengar suara gaduh begitu ramai di depan gubuknya. Suara ramai para warga yang menuntutnya untuk pergi dari kampung itu. Bersama suara teriakan, terdengar pula suara lemparan batu ke rumah Adi yang sangat sederhana itu. Selain batu, ada juga telur, sampah, dan kotoran yang dilemparkan masyarakat ke rumah Adi. Akan tetapi, suara batu-batu yang menghujani rumah yang membuat Adi gentar. Adi terkejut, segera bangkit, dan panik ketakutan. Kemarahan warga cukup memakan keberaniannya yang biasanya begitu garang nan bengis.
Warga kampung itu terus berdatangan semakin banyak mengerumuni rumah Adi. Teriakan yang begitu menuntut dan lemparan batu yang begitu kasar tidak berhenti dilontarkan mereka.
“Adi Luhung, pergi kamu dari kampung ini!” pekik salah satu warga.
“Kami tidak sudi punya tetangga seorang perampok!” pekik satu lagi warga.
“Hei, Maling, cepat pergi dari sini!” pekik warga yang asalnya dari Jawa.
“Pergi! Pergi! Pergi!” sahut-sahutan suara warga.
Di dalam gubuk, Adi yang panik mengusap kasar wajahnya berulang kali. Berulang kali pula ia mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung kalimpasingan. Itu rumahnya, tidak akan rela ia tinggalkan. Ia pun tidak punya tempat tinggal selain rumah reot itu. Saudara-saudaranya pun ia tahu jelas, tidak akan ada yang mau menerima dirinya. Ia pun membayangkan akan diamuk warga, dipukuli, bahkan bisa saja dibakar seperti yang ada di berita-berita. Ia merasakan kapok menjadi penjahat karena takut dihakimi warga. Padahal penjara sungguh tidak membuatnya jera saat pagi tadi ia melangkahkan kaki ke luar dari tempat itu.
“Sekarang aku bagaimana? Apa aku harus jadi gelandangan?” Ia merasa tidak punya pilihan. Ia segera mengemasi barang-barang yang perlu dibawanya terutama baju.
Di saat itu, di luar gubuknya, Ustad Ragil melihat kerumunan warga di rumah Adi. Ustad Ragil menghampiri dan mencari tahu. Ustad Ragil mengelus dada dan penuh tanya melihat kebrutalan warga.
“Ada apa?” tanya Ustad Ragil. Namun, warga tidak ada yang menggubrisnya karena sedang serius berteriak dan melempari rumah Adi. “Ada apa?” tanya Ragil yang kini dengan berteriak. Warga menjadi menoleh ke Ragil, seorang ulama di kampung itu yang sangat dihormati warga. Otomatis, teriakan dan lemparan ke rumah Adi menjadi berhenti.
“Adi Luhung sudah keluar dari penjara, Ustad,” terang salah satu warga.
“Oh, ya? Alhamdulillah! Syukurlah jika benar demikian!” Ragil sangat senang mendengar berita itu.
“Ya Astaghfirullahal'adzim, Ustaz, bukan Alhamdulillah!” protes salah satu warga.
“Lah, kenapa malah Astaghfirullahal’adzim, Mpok?” heran Ragil.
“Lah, kan, dia perampok, Ustad! Bahaya, sampah, penyakit! Ntar harta benda sama nyawa kita-kita bagaimana, Ustad?”
“Ya ada di tangan Allah, Nyak Ita! Harusnya kalian sambut dan merayakan kepulangannya.”
“Merayakan?” celetuk salah satu warga tidak habis pikir dengan kata-kata Ragil. Semua warga yang ada di tempat itu pun juga tidak habis pikir sehingga geleng-geleng atas pernyataan Ragil itu.
“Kami mau mengusirnya, Ustad!” ujar salah satu warga dengan lantang.
“Iya benar, dia harus pergi dari kampung ini!” Satu lagi warga berteriak lantang tak mau terbantah.
“Astaghfirullahal’adzim!” Ragil mengelus dada.
Bersambung
Terima kasih
✨❤️❤️❤️✨
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)