Try new experience
with our app

INSTALL

02.00 

Pertolongan Devandra

"Maap," kata Devandra sambil bangkit dari lantai cafe, mengusap pipinya yang sakit kena bogem Chicco. Pemuda bermata abu - abu itu memandang muram biolanya yang rusak karena terhempas tadi. 


"Siapa lo sebenernya? Se - setan? Iblis?" Pertanyaan Chicco menyembur walau tubuhnya masih gemetar, baru saja  terbebas dari pengaruh ghaib yang menahannya. 


"Lo gak apa - apa?" Devandra hendak membantu Chicco. "Gu - gue bisa bantuin lo pulih..,"


"Gak perlu!!" Chicco menepis tangan Devandra dengan kasar, lebih tepatnya panik.


"Chicco, lo yakin gak apa - apa?" Kanaya galau melihat wajah Chicco yang masih pucat pasi.


"Gue gak apa - apa," sahut Chicco. "Ki - kita pulang! Sebelum setan ini nyihir kita semua!"


"Gue bukan setan, gue gak bisa sihir," Devandra terbelalak dibilang 'Setan ini nyihir kita semua' oleh Chicco. 


"Yang tadi itu apa??! Pasti lo kan yang udah ngebuat gue gak bisa gerak!" Sergah Chicco gusar. "Pasti lo yang udah nyiksa gue!"


"Itu..Itu tadi..Gue cuma membela diri karena lo mo mukul...," Devandra menjawab tergagap. "Maapin gue...Please..,"


"Halah!" Chicco tak percaya. Kanaya menarik lengan baju Chicco,  gadis itu tak tahan lagi


"Chicco, udahlah,"


"Iya Chic, lebih baik, cepat kita pergi aja," Tasya ikut bersuara.


Melihat gadis sahabat - sahabatnya ketakutan, Chicco akhirnya mundur. Mungkin dia sendiri juga ketakutan.


"Jauhi Kanaya! Jangan ganggu!" Chicco masih berteriak pada Devandra sebelum  mengikuti Kanaya, Tasya dan Milly, bergegas keluar  Cafe, meninggalkan Devandra berdiri mematung, seperti terpana memandangi kepergian Kanaya dan sahabat - sahabatnya. 


Ada gundah di mata mata abu - abu itu. Devandra gundah, ya tentu saja. Belum sempat  memberi penjelasan pada Kanaya bahwa bukan dia yang datang ke rumah Kanaya malam itu, kini malah posisinya jadi semakin buruk di mata Kanaya juga sahabat - sahabatnya karena kejadian Chicco memukulnya. 


Devandra memang  berbeda dari yang lain. Itu pasti. Devandra sudah jatuh cinta pada Kanaya pada pandangan pertama saat bertemu di pemakaman Mama dan Papa Kanaya, itu juga pasti.

 

*****

 

Ketika Kanaya, Tasya, Milly dan Chicco tiba di pelataran parkir Cafe, hanya tinggal satu - dua mobil yang masih terparkir di sana selain mobil Chicco dan mobil Tasya, saat itu sudah pukul 12 tengah malam.


"Kanaya pulang dengan gue dan Milly kan?" Tasya menarik tangan Kanaya, yang langsung mengangguk setuju. Chicco mengangkat bahu.


"Ya udah, kalau begitu gue duluan," 


"Chicco, lo yakin lo gak apa - apa?" Kanaya masih khawatir. Chicco tersenyum melihat Kanaya mengkhawatirkan dirinya, diusapnya kepala Kanaya. 


"Tenang aja, gue baik - baik aja kok," kata pemuda itu. 


"Bener?"


"Bener kok, nih gue masih hidup," Chicco mencoba berseloroh. "Ehm selamat ulang tahun ya? Sorry acara ultah lo jadi berantakan,"


"Ya gak papa," sahut Kanaya pelan.


"Besok kita ulang, ya kan Tasya, Milly?"


"Bener banget! Besok kita ngerayain lagi," timpal Tasya sambil menepuk bahu Kanaya, begitu juga Milly.


"Ah gak usah segitunya kali," Kanaya mau tak mau tersenyum malu, melihat sahabat - sahabatnya begitu peduli dengan ulang tahunnya. 


"Santuy, Aya,"


"Iya, pokoknya sip deh!"


"Yes, that's what the friends are for," 


****


Chicco melambai pada ketiga gadis sahabatnya sebelum akhirnya berpisah dan  berbelok menuju mobil Innova - nya yang terparkir tak jauh dari mobil Honda Jazz pink milik Tasya.


Mobil - mobil mereka bergerak keluar dari kawasan cafe. Jalan sudah mulai sepi. Begitu lengang, temaram diterangi lampu - lampu yang berdiri kokoh di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan.
Tapi belum jauh mereka meninggalkan kawasan Cafe, Tasya yang berada di belakang kemudi, sudah memekik.


"Oh, tidak!" Pekikan Tasya bersamaan dengan terguncangnya mobil mereka.


"Ada apa? Mogok lagi? Bukannya tadi udah diperbaiki Chicco?" Milly bertanya panik.


"Bukan, sepertinya ban terkena sesuatu, mungkin bocor," rutuk Tasya. "Ah, sial,  mobil Chicco kemana siyh? Perasaan tadi ada di belakang mobil kita deyh! Milly, coba telepon Chicco!"


Tasya menepikan Honda Jazz pink itu ke pinggir jalan sebisanya. Gadis itu turun dari mobil, ditemani Kanaya, untuk memeriksa ban mobil. 


"Ah, sial! Dugaan gue benar, ban kena paku!" Tasya segera mengutuk, ketika mendapatkan beberapa paku menancap pada ban Honda Jazz itu. "Heran, kok bisa ada paku di jalan ini?!"


"Bannya bocor ya, Non?" Belum sempat Kanaya menjawab, ada orang lain yang mendahului menjawab kata - kata Tasya, diiringi gerungan beberapa motor yang tiba - tiba saja sudah mengepung mereka. 


Wajah gadis - gadis itu langsung pucat - pasi. Itu kawanan begal! Tuhan, kemana Chicco? Apakah Milly sudah berhasil menelepon Chicco? Batin Kanaya dengan seluruh tubuh langsung mendingin, spontan memegang tangan Tasya. Dan gadis itu segera merasakan betapa gemetar tangan sahabatnya. 


"Mana dompet? Handphone?!" Salah satu dari kawanan begal, mungkin ketua genk-nya, turun dari motor, langsung membentak gadis - gadis itu.

 Sementara begal yang lain, sebagian ikut turun dari motor, dan memaksa Milly yang masih di dalam mobil, untuk ikut keluar. Kanaya begitu ngeri melihat kilatan celurit yang terselip di balik jaket - jaket kawanan begal itu.


"Plis, jangan ganggu kami, pak! Plis jangan sakiti kami!" Tasya yang sudah panik, langsung mengiba ketakutan.


"Pak? Emangnya gue bapak lo?!! Cepat, serahkan dompet dan handphone!" Bentak ketua genk begal keras. Karena takut dicelakai, Kanaya menggamit Tasya dan Milly agar mereka menyerahkan saja apa yang diminta.


"Tunggu!!" Seseorang tiba - tiba berteriak garang, saat Kanaya, Tasya dan Milly hendak menyerahkan dompet dan Handphone pada begal - begal itu. Suara garang itu, diiringi dengan deru motor sport yang berhenti tak jauh dari mereka.  Devandra! 


 Darah Kanaya mendesir menyaksikan kedatangan pemuda bermata abu - abu itu. Devandra membuka helmnya dan turun dari motor sport, sebuah Kawasaki Ninja.  Wajahnya terlihat begitu garang, menatap tajam begal - begal itu dengan mata abu - abu yang seolah telah berubah warna menjadi putih seluruhnya, begitu mengerikan. Sedikit - banyak membuat kawanan begal terperangah juga melihat Devandra datang mendekat.


Ya Tuhan, Batin Kanaya, mendekap mulutnya. Gimana Devandra bisa tiba - tiba muncul pada saat kritis begini? Apakah dia ngikutin gue lagi?


"Pergi, atau gue panggil Polisi!" Gertak Devandra Tapi ketua genk begal justru menyeringai mengejek.


"Goblok!  Mana ada Polisi di sini! Lebih baik lo yang menyingkir, daripada lo yang mampus!"


"Gue ingetin sekali lagi, Pergi atau.."


Kawanan begal itu mulai resah melihat Devandra. Mereka akhirnya turun seluruhnya dari motor dan mulai mengepung Devandra.


"Atau ini?!" Ketua genk begal mengeluarkan celurit dari balik jaketnya, membuat Tasya, Kanaya dan Milly terpekik ngeri. 


Tapi Devandra tampak tak gentar. Juga saat begal - begal yang lain mengikuti tindakan ketua genk- nya, mengeluarkan celurit masing - masing. 


Devandra ternyata sangat menguasai ilmu bela diri, membuat kawanan begal tampak kepayahan meladeni pemuda itu. Kanaya terkesima, karate, gadis itu yakin tidak salah lihat. Tapi ilmu bela diri yang berasal dari negeri matahari terbit itu dipertontonkan sedikit berbeda oleh Devandra.  Setiap gerakan pemuda itu seolah memancarkan aura mistis yang begitu pekat. Kanaya tidak tau, tapi bulu kuduknya berdiri saat menyaksikan Devandra membuat gerakan seperti meninju aspal jalan, dan tiba - tiba saja kawanan begal itu sudah jatuh terjengkang ke belakang bagai diterpa gempa bumi misterius. Celurit - celurit mereka terlepas dari tangan. 


"Set dah, cuma segitu doang kemampuan kalian?" Ledek Devandra melihat kawanan begal itu mulai goyah.


"Brengsek! Mau main - main rupanya!" Si ketua genk tampak begitu sakit hati mendengar ledekan Devandra yang notabene masih seorang bocil SMA bagi sang ketua genk, gak mungkin dong dia mengalah begitu saja. 


Sebuah benda hitam yang ditarik dari saku jaket si ketua genk begal, langsung membuat mata abu - abu Devandra mendelik. Sebuah pistol! Memang itu hanya pistol rakitan murahan, tapi tetap saja itu sebuah pistol yang bisa membunuh.


Ketiga gadis itu terpana, begitu ngeri melihat Devandra berdiri berhadap - hadapan dengan ketua genk begal yang sedang menodongkan pistol ke arah pemuda itu.  


Tapi Devandra tidak mengelak ataupun bergerak saat ketua genk begal itu mulai menarik picu pistol. Devandra hanya menatap pistol itu dengan mata abu - abunya, begitu tajam, begitu garang, seolah ingin menelan senjata api itu hanya dengan tatapannya saja.

 
"Lo, lo...," tangan ketua genk begal yang sedang menggenggam pistol,  tiba - tiba bergetar, makin lama makin kuat. Wajah sang ketua mendadak memucat, keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. Napas ketua genk begal itu mulai terlihat tersengal - sengal  seperti ada yang sedang mencekik lehernya. Jelas dia tidak bisa fokus lagi dengan bidikan pistolnya. 


Kanaya sangat yakin perubahan ekspresi sang ketua genk begal, diakibatkan karena perbuatan Devandra. Memutihnya warna mata Devandra, pastilah itu yang membuat sang ketua genk begal menggigil ketakutan dan tampak begitu tersiksa. Sama seperti kejadian yang menimpa Chicco saat di Cafe.


"Aaargh! Ss - sakit...Aargh, gue g - gak bisa bernapas...Aaargh!!" Ketua genk begal itu akhirnya mengerang kesakitan.  Pistol ditangannya jatuh ke aspal. 


Kanaya, Tasya dan Milly saling berpegangan tangan, karena begitu ketakutan  menyaksikannya. Kejadian - kejadian yang ditimbulkan Devandra, sungguh di luar nalar mereka.


"Aaakh!" Tapi tidak terduga, tiba - tiba Devandra ikut berteriak kesakitan. 


"Devandra?!" Kanaya terpekik kaget. "Ke..Kenapa?"


Devandra tiba - tiba rubuh bersimbah darah di hadapan Kanaya, Tasya dan Milly. Ketiganya kemudian tersentak,  salah satu anak buah sang ketua begal, tiba - tiba saja sudah berdiri di belakang Devandra, dengan celurit penuh darah terhunus di tangan.  Ternyata anak buah ketua genk begal yang satu itu cukup licik, memanfaatkan situasi saat Devandra lengah dan semua sedang fokus pada pistol, dia menyambar celurit yang tadinya tergeletak di aspal dan tanpa ampun mengayunkan celurit itu sekuat mungkin ke punggung Devandra. Begitu banyak dia menyabet walau Devandra sudah rubuh.


Bunyi sirene mobil polisi yang meraung ribut dari kejauhan, seolah menjadi dewa penyelamat bagi mereka,  karena  bunyi sirene yang makin lama makin mendekat itu, membuat kawanan begal terpaksa mundur.


"Polisi!" Teriak begal - begal itu kesal, sambil mengumpat, kawanan itu segera melompat menaiki motor masing - masing dan kabur.


Ternyata Chicco, yang berhasil ditelepon Milly sebelum begal - begal itu menyeretnya keluar dari mobil, datang bersama Polisi. Pemuda cute itu berhambur turun dari mobil Innova-nya. Bersama polisi, datang mendekati.


"Apa yang terjadi? Milly nelepon gue, katanya ada begal? Jadi aku berinisiatif manggil polisi...,"


"Devandra!" Kanaya lemas, dengan tangan gemetar menunjuk Devandra yang sedang menggelepar kesakitan, bersimbah darah di aspal jalan. Chicco terhenyak. Sementara Tasya dan Milly hanya terdiam pucat pasi, terpaku memandangi Devandra, tanpa tau harus bagaimana. Yah Devandra yang saat di cafe sempat bentrok dengan Chicco, Devandra yang selama ini mereka anggap menakutkan, mereka sebut 'Setan', 'Hantu', 'Zombie', sekalipun benar,  tapi sekarang justru  nyaris berkorban nyawa, demi menolong mereka.