Contents
ASTER
6. Jangan Pergi
Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibukota menuju kediamannya. Setelah seharian mengajar, akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ditahan, kembali menyerang. Langit memutuskan berhenti sejenak, minum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika berkendara di tengah kantuk melanda.
Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Ia duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok.
Tanpa sengaja, arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal. Meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis tersebut adalah sosok yang akhir-akhir ini sering bersama adiknya. Ya, gadis itu adalah Green. Wanita yang minggu lalu kesal padanya.
Langit hendak mendekat dan menemui Green, sepertinya ia bisa menggunakan momen tersebut untuk minta maaf langsung pada gadis itu. Namun langkahnya terhenti, kala melihat Green tengah asik mengajari anak-anak jalanan membaca dan berhitung, suaranya riang dan gembira, diikuti dengan suara anak-anak jalanan yang juga tak kalah riang dan gembira.
Satu lagi nilai tambah yang Langit temui pada diri Green. Ia semakin tertarik pada sosok itu. “Green, kamu mirip sekali dengan Keira,” gumamnya.
***
Siang telah berganti, matahari telah selesai menjalankan tugasnya hari ini, tinggalah bulan yang tengah menghiasi malam dengan sinarnya yang menawan. Sembari menunggu teman yang akan menggantikannya tiba, Green memutuskan berganti pakaian terlebih dahulu. Jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 22 lewat 15 menit, pantas saja ia sangat lelah.
Bayangan kasur kesayangannya yang tengah melambai-lambai, membuat Green bergegas mengganti pakaian dengan cepat, tujuannya saat ini hanya ingin sampai di rumah sesegera mungkin. Green lupa bahwa ia telah mengiyakan ajakan Cherry untuk menginap di rumah wanita itu.
Setelah menghabiskan beberapa menit untuk berganti pakaian, Green menyempatkan memeriksa ponselnya lebih dulu. Ada banyak pesan dan panggilan dari Cherry yang rata-rata menanyakan kapan ia selesai. Pesan itu dikirim tepat pukul 22.00 wib, hal itu membuat Green ingat akan janjinya.
Setelah membaca pesan tersebut, Green melihat satu kontak yang sedari dulu ia sematkan, tak ada pesan atau panggilan masuk satu pun. Padahal, biasanya Alta akan sangat khawatir saat ia bekerja malam hari. Lagi-lagi, Green harus menelan kecewa karena Alta tak memenuhi harapannya. Laki-laki itu semakin cuek, semakin sering menghilang, dan tak lagi rutin memberi kabar. Green tersenyum samar. “Mungkin Alta capek, jadi gak sempet telfon atau chat gue.”
Green bergegas pulang saat melihat Riza dan Zafran telah tiba. Ia masih percaya bahwa Alta tak akan menghianati apalagi mengingkari janjinya.
“Za, gue balik ya.”
“Yoi, hati-hati Green, lo balik sama siapa?” tanya Riza sambil merapikan barang-barangnya.
“Biasa, ojeg online,” jawab Green santai.
“Udah malem Green, mau gue anterin?” Riza yang khawatir menawarkan diri untuk mengantar Green.
“Gak usah Za, di luar juga masih rame. Tenang aja, gue bisa jaga diri. Lo semangat yaaaaa.”
“Benaran gak mau gue anterin?”
“Gak Za, gak apa-apa.”
“Oke, hati-hati ya.”
“Siap.”
Riza adalah rekan kerja sekaligus laki-laki yang selalu peduli pada Green, Green mengingatkan Riza pada sosok adik perempuannya yang telah lama meninggal dunia. Jika masih ada, sosok itu seusia Green.
“Kabarin kalau udah sampe,” ucap Riza.
“Oke,” jawab Green sambil mendorong pintu dan bergegas keluar.
Green terkejut saat melihat mobil seseorang yang ia kenal sudah terparkir rapi di parkiran minimarket tempatnya bekerja. Tak sampai di sana, ia semakin terkejut kala melihat orang tersebut turun dari mobil dan menemuinya, menatapnya hangat sambil tersenyum. “Ayo masuk.”
Green masih terkejut melihat Langit berada di tempat kerjanya, belum lagi apa yang dikatakan lelaki itu seolah seperti sengaja menjemput dirinya.
“Green..,” panggil Langit yang melihat Green tak bereaksi.
“I…, iya pak,” jawab Green terbata.
“Ayo masuk, saya antar pulang.”
“Terima kasih sebelumnya Pak, saya bisa pulang sendiri.” Green yang tersadar dari lamunannya menolak ajakan Langit, ia tak ingin kejadian yang sama terulang kembali.
“Sudah malam, Green.”
“Sekali lagi terima kasih atas niat baik dan tawarannya, tapi sekali lagi saya katakan, saya bisa pulang sendiri.” Green berjalan cepat sambil mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojeg online. Disaat bersamaan, muncul notifikasi yang memberitahukan bahwa kuota internetnya habis, “Ahhhhh kenapa sekarang sih habisnya, gak tepat banget,” sungut Green kesal.
Langit yang melihat gerak-gerik Green segera mendekat. “Artinya, kamu memang harus pulang sama saya.”
“Saya gak mau!” tolak Green.
“Saya minta maaf atas kejadian minggu lalu, saya sama sekali tidak bermaksud kurang ajar, maaf membuat kamu tidak nyaman atas perlakuan saya.”
Green menatap Langit sejenak kemudian mengalihkan pandangan. “Saya paling gak suka sama cowok modus!”
“Saya tidak bermaksud untuk itu.”
“Tapi apa yang Bapak lakukan mengarah kesana.”
“Kak, bukan Pak,” ralat Langit.
“Iya, apa yang Kak Langit lakukan mengarah ke sana, dan saya gak suka!” Green meluapkan kekesalannya, sudah seminggu ia memendam semuanya dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan.
“Saya minta maaf Green.”
Green mendengus kesal. “Jangan lakuin itu lagi. Saya emang temen Cherry, tapi bukan berarti Kakak bisa seenaknya sama saya.”
“Iya, ada lagi?”
“Jangan pegang-pegang saya.”
“Iya. Masih ada?”
“Gak!” ketus Green tanpa melihat Langit.
Bukannya kesal, Langit justru tersenyum. “Saya dimaafin?” tanya Langit yang dijawab anggukan singkat oleh Green.
“Ayo masuk,” ajaknya.
Green melihat mobil hitam Langit yang pintunya sudah terbuka, kemudian berjalan cepat ke arah mobil tersebut.
Langit menatap punggung Green sambil tersenyum lembut. “Terima kasih Green, saya harap kamu akan selalu mengisi tempat itu.”
Langit dan Green sudah duduk di kursi masing-masing. Langit mengemudi dengan tenang, disampingnya tampak Green tengah berusaha menahan kantuk, hal itu tak lepas dari penglihatan Langit. Langit tersenyum tipis menyaksikan hal tersebut, ia segera memberikan bantal leher milik Cherry. “Pake ini, supaya lehernya gak sakit.”
Green menoleh sejenak, tak langsung mengambil bantal leher yang diberikan Langit.
“Pake, kamu ngantuk kan?” Langit menyodorkan benda itu agar Green menerimanya.
Lagi-lagi Green hanya diam, dalam kondisi seperti ini pun ia masih memikirkan perasaan Alta dan curiga pada Langit.
“Jarak dari sini ke rumah saya sekitar empat puluh menit, kamu bisa tidur sebentar, kalau sudah sampai akan saya bangunkan.”
Mendengar penuturan itu, pandangan Green semakin menyelidik. Tangan yang semula ingin mengambil bantal tersebut ia tarik kembali, kecurigaannya pada Langit semakin menjadi, “Saya gak bakal macem-macem Green, kamu tenang aja.”
Langit mengubah gaya bahasanya menjadi lebih santai, ia berharap dengan begitu Green pun bisa bersikap santai padanya, tak selalu curiga dan berpikir buruk.
“Saya gak ngantuk,” ucap Green sambil menguap.
“Kamu tuh ya, jelas-jelas gesture sama ucapan gak sinkron.”
Langit memasangkan bantal tersebut pada leher Green, seketika tatapan Green berubah tajam. “Udah saya bilang..,”
“Saya gak nyentuh kamu Green,” potong Langit.
“Dasar modus!”Gree n sambil membuang muka, menatap ke arah jendela.
Langit memilih tak menanggapi, ia kembali fokus pada kemudi. Belum sampai lima menit sejak kejadian tadi, Langit dapat mendengar suara dengkuran halus yang bersumber dari sosok disampingnya. Sosok itu bersandar ke sebelah kiri, menggunakan bantal leher yang dipasangkan Langit.
“Green Green, katanya gak ngantuk,” gumam Langit sambil tersenyum.
Perjalanan menuju rumah Langit memakan waktu empat puluh menit, namun sebuah kecelakaan lalu lintas membuat perjalanan mereka menjadi lebih lambat. Dengan sabar, Langit menunggu sambil sesekali memperhatikan Green.
“Maaf ya Green, saya sentuh kamu. Posisi kamu harus dibenerin, kalau enggak pas bangun nanti leher kamu sakit.” Langit berbicara seolah Green membuka mata, padahal yang diajak bicara sudah terlelap atau mungkin sudah sampai ke alam mimpi.
Tampak mobil polisi dan ambulance beriring-iringan mengevakuasi korban kecelakaan yang sepertinya berjumlah lebih dari satu. Green masih memejamkan mata, sama sekali tak terganggu dengan suara sirene yang memekakan telinga.
“Saya salut sama kamu,” tutur Langit sambil menatap Green yang tengah memejamkan mata. “Semoga dengan berteman sama kamu, adik saya bisa lebih menghargai hidup,” tutupnya.
***
Saat tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 23.15 wib. Langit menatap Green, memanggil-manggil namanya sambil menepuk-nepuk pipi wanita itu secara perlahan, berharap Green membuka mata dan terjaga dari tidurnya. “Green, udah sampe.” Langit berbisik tepat di telinga wanita itu, namun tak ada respon, Green masih memejamkan mata.
Sampai percobaan ke lima, Green tak kunjung memberi respon, bahkan tak ada tanda-tanda wanita itu akan membuka mata, matanya terpejam sempurna.
“Kalau gue gendong, nanti dia marah, kalau gue tinggal pasti lebih marah,” gumam Langit.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Langit menggendong Green, membawa wanita itu menuju kamar Cherry.
“Cher..,” panggil Langit saat berada di depan pintu kamar adiknya.
“Masuk kak,” jawab Cherry dari dalam dengan suara serak, sepertinya Cherry pun telah terlelap.
Langit masuk ke kamar bernuansa kuning sambil menggendong Green yang tak terusik sedikitpun. “Green udah tidur?” tanya Cherry sambil mengucek-ucek matanya.
“Udah, dari tadi.”
Langit merebahkan Green di sebelah Cherry dengan hati-hati, “Tolong sepatunya Green dilepas Cher,” pinta Langit setelah meletakkan Green.
“Lo aja, gue ngantuk banget.”
Mau tidak mau, Langit melakukan hal tersebut, ia melepas sepatu beserta kaus kaki pink yang digunakan Green. setelahnya meletakkan tas ransel yang juga berwarna pink di meja belajar Cherry.
“Kalau keluar, lampunya tolong dimatiin, Kak,”
Sebelum benar-benar keluar, Langit mengamati wajah polos Green yang tengah tertidur sekali lagi, wajah lelahnya sangat kentara. Langit memberanikan diri mengelus pipi Green dengan lembut. “Selamat tidur.”
Cherry yang belum sepenuhnya memejamkan mata, melihat hal tidak biasa yang dilakukan Langit, sebenarnya ia sangat ingin menggoda Langit, namun rasa kantuk mengalahkan niatnya.
Langit bergegas keluar dari kamar Cherry setelah mematikan lampu, saat hendak menutup pintu, Green mengatakan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. “Alta, jangan tinggalin aku.”
“Siapa sebenarnya Alta? Dan dimana laki-laki itu? mengapa Green selalu menyebut namanya?” Langit bertanya dalam hati, ingin sekali bertanya pada Green secara langsung, namun apakah Green akan memberikan jawaban? Sepertinya tidak, wanita itu sangat sulit didekati dan sepertinya juga sangat tertutup sekali, terlebih jika menyangkut urusan pribadi.
“Alta, jangan pergi..,” ulang Green
Langit menghampiri Green yang telah berkeringat dalam keadaan mata terpejam, sepertinya wanita itu mimpi buruk, ia menggenggam jemari Green dengan lembut. “Saya, di sini Green.”
“Jangan pergi.”