Try new experience
with our app

INSTALL

ASTER 

5. Petunjuk

Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembuyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika merasa gundah, ia akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.

Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok dibalik jendela itu.

“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.

Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapapun.

“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.

“Green, ini gue,” ujar sosok dibalik jendela.

“Ser, lo ngapain di sini malem-malem? Ayo masuk,” ajak Green.

“Enggak Green, gue cuma sebentar, ada hal penting yang perlu gue omongin.”

“Omonginnya di dalem aja ya, ayo masuk,” ajak Green lagi. Green hendak beranjak dari kamar untuk membuka pintu ruang tamu, namun Sera menolak, “Di sini aja, Green.”

Akhirnya Green mengalah, ia membiarkan Sera berbicara lewat jendela, seperti permintaan wanita itu.

“Green, Alta yang sekarang bukan Alta yang dulu,” tutur Sera tiba-tiba.

Green dapat melihat ekspresi serius Sera saat mengatakannya, “Sera, apa maksud lo ngomong gitu?” Green belum mengerti maksud Sera.

“Jangan terlalu mudah percaya, bahkan sama orang terdekat lo sekalipun.”

“Sera, gue gak ngerti maksud lo.” Green semakin bingung, ia belum memahami makna ucapan Sera.

“Setelah ini, banyak hal yang akan lo lalui, lo harus kuat.”

“Sera..,”

“Gue cuma mau bilang itu, gue pamit Green.”

“Sera….,” Green berteriak, ia terbangun dari tidurnya. Keringat mengucur deras di leher dan pelipis wanita itu. Sera—sahabatnya yang telah meninggal karena mengidap gagal ginjal itu datang ke mimpinya, sudah lama Sera tak menyapanya lewat mimpi, dan kali ini Sera datang mengatakan sesuatu yang tidak Green pahami. 

Green mengambil segelas air mineral di atas nakas kemudian meneguknya sampai habis. Setelah itu, ia menoleh ke arah jendela yang masih tertutup. Berbeda dengan jam di mimpinya yang menujukkan pukul 01.00 dini hari, Green dapat melihat jarum jam di dinding kamarnya menujukkan pukul 03.00 pagi. 

“Sera..,” Green memanggil nama itu dengan suara lirih.

Dulu, Green dan Sera bersahabat. Sera tinggal tak jauh dari rumahnya, sejak kecil mereka selalu bermain dan bersekolah di tempat yang sama sampai SMA. Sera merupakan satu satunya orang yang tahu cinta terpendam Green pada Alta. Green selalu bercerita apapun pada Sera, termasuk tentang ketertarikannya pada Alta. Namun, sejak Alta memiliki kekasih, Green mengubur dalam-dalam cintanya pada lelaki itu. Sampai akhirnya, Alta mendekati Green beberapa bulan sebelum Melan meninggal dunia. 

Sebelum kepergiannya, Sera berpesan pada Alta agar menggantikan posisinya untuk selalu menjaga dan menemani Green, dan Alta pun setuju. Di sebuah kamar rumah sakit dengan berbagai alat bantu pernapasan di tubuh Sera, Alta berjanji untuk selalu menjaga Green, janji yang sampai saat ini masih Green ingat. 

Tanpa terasa air mata Green tumpah ketika mengingat kenangannya bersama Sera, sesuatu yang tadi dikatakan Sera membuat hatinya semakin gundah gulana. “Ser, apa itu petunjuk dari lo?” 

Ucapan Sera dalam mimpinya terus berputar di kepala, bayangan Alta yang mendekapnya dengan erat kala ia merasa sangat rapuh, membuat Green menampik semua hal negatif tentang Alta, termasuk apa yang dikatakan Sera.

“Ser, lo kangen kan sama gue? Makanya tadi lo nemuin gue, besok gue janji bakal tengokin lo, tunggu gue ya.” Green tersenyum seraya menatap fotonya bersama Sera menggunakan seragam SMA.

***

“Kamu pikir dengan mabuk-mabukan begini semua masalah selesai?!” tanya Langit berapi-api, ia mendapati Cherry diantar temannya dalam keadaan mabuk berat, sejak tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya Cherry mulai sulit dikendalikan, terlebih saat wanita itu mulai mengenal dunia malam.

Lelaki yang tadi mengantar Cherry diusir Langit begitu saja, Langit menggendong tubuh Cherry dan membawanya ke kamar.

“Lo gak usah munafik, gue tahu lo juga suka minum kan?” Cherry meracau, ia tertawa dan menatap Langit dengan tatapan meremehkan.

Langit membaringkan Cherry di ranjang, kemudian melepas high hells yang dikenakan wanita itu, “Kak, Zein selingkuh, dia duain gue.” Cherry masih meracau, Langit yang tadi hendak meninggalkan Cherry menghentikan langkahnya.

“Zein selingkuh sama Violet, lo kenal Violet? Sahabat gue dari SMA, dia ambil pacar gue Kak, pacar pertama gue. Seumur-umur gue belum pernah pacaran, Zein cinta pertama gue, dan sekarang dia selingkuh sama sahabat gue sendiri. Lo bisa bayangin gimana sedihnya gue sekarang?” 

Langit mengelus kepala adiknya lembut, ternyata ini yang membuat Cherry mabuk berat, dikhianati sahabat sekaligus kekasihnya.

“Gue frustasi kak, Zein itu laki-laki yang gue suka sejak semester 1, gue udah kasih semuanya sama dia termasuk.., hoeekkkkk hoeeekkk.” Belum sempat Cherry melanjutkan, ia memuntahkan seluruh isi perutnya, dengan cepat Langit menggendong Cherry menuju kamar mandi, membiarkan sang adik menyelesaikannya muntahnya di sana. 

Ditatapnya sprey yang kotor akibat ulah Cherry, dengan cekatan Langit mengganti sprey tersebut, berbagai pikiran buruk masuk ke kepalanya. Apa yang hendak dikatakan Cherry tadi? Termasuk apa? Apa Cherry dan Zein telah melakukan hal yang tidak seharusnya? Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Langit, esok ia akan mencoba berbicara dan menanyakannya pada Cherry.

“Kak Langit..,” teriak Cherry dari balik kamar mandi.

Langit segera menuju kamar mandi, keadaan Cherry sangat memprihatinkan, wanita itu terduduk di lantai, rambut panjang yang biasanya selalu terlihat indah dibiarkan acak-acakan. Tanpa pikir panjang, Langit kembali menggendong adiknya. “Kak, mulai sekarang Violet bukan lagi temen apalagi sahabat gue, dia udah ngerebut Zein, temen gue sekarang cuma Green,” ujar Cherry dalam gendongan Langit.

“Green, sedang apa wanita itu?” batin Langit.

Disaat seperti ini bisa-bisanya Langit justru memikirkan Green, dengan cepat Langit menggeleng-gelengkan kepala dan merebahkan Cherry di tempat tidur. Langit menatap Cherry iba, dalam hati ia bertanya, apa yang telah dilakukan Zein pada adiknya? 

Saat ini juga, Langit ingin sekali bertemu dan menghajar laki-laki yang telah menyakiti Cherry. Namun, ia tak tega jika harus meninggalkan adiknya sendirian. 

Setelah Cherry lelap dalam tidurnya, Langit kembali ke ruang kerja, menghabiskan waktu di sana sampai kantuk menyerang, ia tengah berkonsentrasi penuh pada tulisannya ditemani secangkir kopi di atas meja.

Malam semakin larut, Langit masih bertahan pada posisinya sampai suara teriakan Cherry membuyarkan semuanya. 

“Tolongg jangannnnn, jangannnn.”

Sontak saja Langit segera berlari menuju kamar adiknya, ia buru-buru menyalakan lampu kamar Cherry, dilihatnya Cherry masih tertidur dengan keringat membasahi kening. Langit segera mendekat dan menepuk-nepuk pipi Cherry lembut, “Cher, ini Kakak.”

Cherry membuka mata dan terlonjak kaget, “Kak Langit.” Napasnya menderu menandakan wanita itu baru saja mimpi buruk, Cherry segera memeluk Langit dengan erat. “Gue mimpi buruk, Kak.”

“Kamu tenang ya, ada Kakak di sini,” ujar Langit seraya mengelus lembut rambut panjang adiknya.

“Kak, boleh gak malam ini Green nginep? Gue takut tidur sendirian,” pinta Cherry.

Langit tak langsung menjawab, ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Lain kali aja ya, ini udah jam 3 pagi Cher, Green pasti udah tidur,”

Arah pandang Chery tertuju pada jam weker yang berada di atas meja belajarnya, benar apa yang dikatakan Langit, ini sudah pagi dan sepertinya Green pun sudah tertidur.

“Besok gue mau ajak Green nginep di sini ya Kak, sekalian ngerjain tugas. Boleh kan?”

***

Sepulang dari pemakaman Sera, Green melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum bekerja. Green memutuskan pergi ke suatu tempat, tempat yang selalu bisa membutnya bahagia karena melihat orang-orang disana pun bahagia.

Setelah beberapa menit, Green tiba di tempat tersebut. Ia dapat melihat kurang lebih sepuluh anak tengah berkumpul, ada yang duduk, tidur, maupun membaca buku-buku bekas yang ditemukan saat memulung. Semuanya beralaskan kardus, mereka adalah anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan, dan berjuang untuk hidup dengan kesempatan yang diberikan Tuhan.

“Kak Green…,” panggil salah satu dari mereka, seorang anak berambut panjang tidak tertata berlari dan memeluk Green.

“Kakak….,” pelukan itu disusul dengan sembilan anak lainnya, diantara mereka tak ada yang terlihat sedih, semuanya ceria meskipun tak tahu besok makan apa.

“Hai.., kalian apa kabar?” tanya Green sembari memandang satu persatu wajah bocah mereka.

Rata-rata bocah yang saat ini berada di hadapan Green berusia 6-12 tahun, nasib mereka tak seperti anak seusianya. Tak ada seragam sekolah, maupun perlengkapan lainnya, yang ada hanya buku-buku bekas yang mereka kumpulkan.

“Kita semua baik Kak Green,” jawab Rubi, bocah berbada gempal sambil tersenyum, menampakkan gigi kelincinya yang terlihat menggemaskan di mata Green.

“Kalian sudah makan?” tanya Green lagi.

Anak-anak tersebut kompak menggelang dengan raut wajah polosnya, Green mengusap pucuk kepala mereka lembut, seraya menunjukan kantong plastik berukuran cukup besar yang berisi nasi bungkus dan beberapa camilan. “Kakak bawa sesuatu untuk kalian.” Green memberikan kantong plastik itu kepada Rubi, anak paling besar diantara anak-anak lainnya.

Rubi melihat kantong plastik yang kini telah berpindah ketangannya. Setelah mengetahui isinya, ia bersorak riang.” Horeee, terima kasih kak Green. Temen-temen, kak Green bawain kita makanan lagi,” seru Rubi memberitahu teman-temannya yang lain.

“Horeeeeeee.” Mereka bersorak-sorak gembira, “Terima kasih kak Green,” ujar mereka bersamaan.”

“Sama-sama, ya udah kalian makan gih. Pasti pada laper kan?”

Semuanya mengangguk sebagai jawaban. Rubi membagikan nasi bungkus yang tadi diberikan Green kepada teman-temannya, mereka makan bersama dengan lahap.

Tanpa terasa Green menitikkan air mata melihat pemandangan itu, rasanya ingin sekali ia mengajak mereka tinggal bersama dan memberikan pendidikan yang layak. Namun apa daya, keterbatasan ekonomi membuatnya harus menekan keinginannya. 

Pertemuan pertama Green dengan Rubi dan teman-temannya adalah satu tahun lalu. Sejak saat itu, Green sering datang paling tidak satu minggu sekali untuk memberikan buku-buku cerita, ataupun buku-buku pelajaran lainnya. 

Setelah selesai makan, Rubi mendekati Green. “Kak Green, waktu itu ada Om yang nawarin Rubi dan temen-temen tinggal di panti asuhan. Panti Asuhan itu apa sih, Kak?” tanya Rubi ingin tahu.

Green terkejut bercampur senang mendengar cerita Rubi. “Panti Asuhan itu rumah sayang, kalian akan punya temen baru kalau tinggal di sana, dan kemungkinan kalian juga akan sekolah. Kalau kakak boleh tahu, siapa nama Om itu?” tanya Green penasaran.

Rubi mengingat-ingat sesuatu yang tak lain adalah nama lelaki yang seminggu lalu mendatangi mereka, ia berpikir keras untuk mengingat nama lelaki itu.

“Gak apa-apa kalau Rubi lupa. Kakak yakin laki-laki itu orang baik,” tutur Green sambil tersenyum.

“Laki-laki itu juga ngasih banyak baju baru kak, sekarang baju barunya kita simpen di rumah kardus,” timpal Rubi.

Green semakin penasaran dengan sosok laki-laki yang diceritakan Rubi, dan kalimat yang dilontarkan Rubi selanjutnya akhirnya menjawab tanda tanya besar dalam kepala Green. “Kak Green, sekarang Rubi inget siapa nama Om itu.”

“Siapa?” tanya Green antusias

“Namanya om Langit.”

“Langit?”