Contents
02.00
Kalung Pentagram
Malam itu Kanaya terbangun dari tidurnya, karena merasa haus. Dilihatnya Tasya dan Milly masih nyenyak tidur bertumpang - tindih di sebelahnya.
Ya, Tasya, Milly dan Chicco memang menginap di rumah Kanaya sejak dari pemakaman orang tua Kanaya, menemani Kanaya yang sedang berduka. Chicco tidur di kamar sebelah, sementara Tasya dan Milly tidur di kamar Kanaya.
Sebetulnya Paman dan Bibi Kanaya, Om Arfan dan Tante Rita sudah membujuk Kanaya agar tinggal bersama mereka, tapi rumah mereka di luar kota, Kanaya tidak ingin pindah sekolah dan berpisah dari Chicco, Tasya dan Milly sahabat terbaiknya. Gadis itu berkeras untuk tetap tinggal di rumah orang tuanya, walau harus sendiri, hanya bertemankan Mbok Inayah, Asisten Rumah Tangga yang bekerja Part - Time di rumahnya selama ini. Kekerasan hati Kanaya membuat Om Arfan dan Tante Rita mengalah, harus bersabar menunggu Kanaya merubah keputusannya dan mau tinggal bersama mereka, seperti permintaan Mama Kanaya sebelum menghembuskan napas terakhir.
"Pukul 2...," gumam Kanaya saat melirik jam dinding. Gadis itu turun dari tempat tidur. Dilihatnya gelas minumnya kosong, gadis itu mengeluh. Dengan perlahan, takut membangunkan sahabat - sahabatnya, Kanaya berjinjit keluar kamar, menuju dapur.
“Kanaya..,”
"Ha?" Kanaya tersentak, merasa ada yang memanggil. Spontan gadis itu menoleh. Tapi tidak ada siapa - siapa.
"Kanaya...,"
Suara itu terdengar lagi. Suara laki - laki.
"Heh, Chicco ya? Gak lucu deh lo," tuduh Kanaya langsung, walau batinnya bertanya - tanya kenapa suara Chicco terdengar tidak seperti biasanya. Suara itu terdengar aneh, begitu lirih, seperti Chicco sedang berbisik - bisik padanya.
"Cepat tunjukin diri lo, Chicco bego. Kalo lo mo nge-prank gue, kayaknya gak berhasil deh,"
"Kanaya...Kembalikan...,"
"Ha? Kembaliin apa sih? Udah deh main - mainnya," Kanaya mulai risih, meraba - raba mencari saklar lampu dapur. "Chicco, ntar gue teriak nih,"
Kanaya hampir terlonjak sendiri, ketika sekilas terpandang olehnya sudut dapur yang gelap, seperti ada bayangan seseorang yang berdiri di sana, sedang memandangnya, tapi saat dipandang baik - baik, bayangan itu hilang. Tak jelas itu siapa.
"Chi - Chicco? Plis deh, jangan nakutin...,"
"Daaarr!!" Teriakan seseorang nyaris membuat Kanaya mati berdiri. Tapi sejurus kemudian, terdengar suara tawa jeleknya Chicco. Ketika Kanaya akhirnya berhasil menghidupkan lampu dapur, terlihat oleh Chicco yang sedang terbungkuk - bungkuk karena ngakak berlebihan, mentertawai dirinya.
"Ih Chicco, sebel deh lo!! Gak ada kerjaan lain apa? Tega lo nge - prank gue!" sungut Kanaya sambil memukuli tubuh sahabatnya itu. "Ngapain sih lo bisik - bisik gitu? Pake acara minta kembaliin, kembaliin apa? Kembaliin dudul lo?!"
"Ha?" Chicco justru tampak tercengang mendengar Kanaya bersungut - sungut.
"Apa Ha - ha? Jahat lo,"
"Siapa yang bisik - bisik? Gue aja baru masuk dapur, kebangun karena mo ke toilet, trus liat lo celingak - celinguk dalam gelap, ngomong sendiri,"
"Gue ngomong sendiri? Gue ngomong ama lo tauk?"
"Ama gue? Gue aja baru nongol, ngomong gimana?"
Kanaya memandang Chicco dan menyadari jika sahabatnya benar - benar tidak mengerti ceritanya tentang suara bisik - bisik minta dikembalikan sesuatu. Lalu? Siapa yang berbisik - bisik padanya tadi? Dan bayangan yang dilihatnya itu....Tiba - tiba Kanaya merasa bulu kuduknya berdiri.
******
Tapi sumpah, sejak peristiwa di dapur, Kanaya merasa dirinya seperti diikuti oleh suara seseorang yang tidak nampak. Suara yang terus - menerus berbisik memintanya mengembalikan sesuatu. Hingga saat dirinya sudah kembali masuk sekolah, Kanaya merasa suara itu terus mengikutinya. Tuhan, ada apa ini?
Kanaya...,"
Kanaya menjatuhkan botol sabun cair yang sedang dipegangnya, saat sedang mencuci tangan di toilet sekolah. Su - suara itu lagi.
"Tasya...," Kanaya spontan memanggil sahabatnya yang tadi sama - sama ke toilet.
"Kenapa?" Tanya Tasya.
"Lo denger gak?" Kanaya memucat. "Ada yang manggil - manggil gue..,"
"Manggil - manggil elo?"
Kanaya mencengkram tangan Tasya begitu keras saat suara itu terdengar lagi.
"Tuh...Lo dengar?"
"Mana?"
"Ssh, dengerin baik - baik dong...,"
"Tu - tunggu...A - Aya...Liat...,"
"Liat apa?"
"I - itu...,"
Kanaya terkesiap, melihat betapa kuatnya tangan Tasya yang bergetar. Sahabatnya itu menunjuk pada cermin washtafel toilet.
"Aya, cermin...,"
Mata Kanaya segera terbelalak begitu ngeri.
"KEMBALIKAN KALUNG PENTAGRAM ATAU MATI,"
Sederet tulisan yang ditulis dengan huruf besar - besar dan acak - acakan tiba - tiba terpampang di kaca cermin washafel, begitu jelas. Tulisan itu...Merah, meleleh, berbau begitu anyir menusuk hidung, tulisan itu ditulis dengan darah!
"Aaaaakkh!!"
Kedua gadis itu serentak memburu pintu toilet, tapi 'sesuatu' atau entah apa, yang menulisi cermin washtafel tampaknya sedang marah dengan Kanaya dan Tasya, botol sabun cair, tisu, sikat WC tiba - tiba melayang cepat menghujani keduanya.
"Cepat buka pintunya, Tasya!"
"Lo pikir gue lagi ngapain?! Pintu toilet gak mau kebuka, tauk!!"
"Gak mau kebuka?! Ya Tuhan!!"
"Bantuin gue, kenapa?!"
"Iya iya!"
"PIntunya ke kunci!!"
"Aaaahh!!"
Tidak hanya benda - benda toilet yang melayang, kini seluruh keran toilet tiba - tiba berputar sendiri, airnya muncrat, membasahi segalanya.
"Ya Tuhan!!"
"Toloong!!"
"Aaaaahh!!"
Pekikan Kanaya dan Tasya menggema di seluruh sudut toilet sekolah.
*****
"Sebetulnya apa yang udah terjadi? Kalung pentagram apa?" kejar Chicco sambil mengguncang lengan Kanaya.
Gadis itu tersandar di dinding bangunan sekolah bersama Tasya, saat akhirnya mereka terbebas juga dari toilet. Beberapa siswa yang melewati toilet, memdengar pekikan Kanaya dan Tasya, memanggil penjaga sekolah yang segera mendobrak pintu toilet.
"Gu - gue gak tau, gue gak punya kalung Pentagram," Kanaya tampak begitu shock karena peristiwa aneh di toilet sekolah. Gadis itu hampir menangis.
"Trus kenapa suara aneh yang lo bilang itu manggil - manggil nama lo? Berarti dia mintanya ama lo kan?"
"I - iya sih. Tapi kenapa? Emang kalung pentagram siapa yang gue ambil?"
"Plis, coba lo inget - inget, mungkin lo ada ngambil yang bukan hak lo, dimana gitu?"
"Gue gak tau, gak bisa inget!"
"Ayolah, berpikir Aya, ingat baik - baik!"
Kanaya mengerutkan kening, berusaha mengingat - ingat. Pentagram? Kapan gue ngambil? Dimana? Gue gak mungkin tertarik dengan kalung aneh, berbau Gothic gitu kan? Bukan tipe gue kale. Ya Tuhan, kenapa harus gue yang diganggu?
Hingga mereka kembali ke kelas, Kanaya masih stress memikirkan kalung pentagram. Gadis itu menghempaskan diri ke kursi tempat duduknya, hempasan itu membuat tasnya tersenggol jatuh ke bawah meja, isinya berserakan di lantai kelas. Seuntai kalung mungil bergulir di antara buku - buku dan alat - alat tulis yang berasal dari tas Kanaya.
"Eh apa itu?" Milly yang membantu Kanaya memunguti isi tasnya yang berserakan, mengambil kalung itu.
"Kalung Pentagram!!" Keempat sahabat itu spontan berseru bareng. Kanaya tiba - tiba mencengkram lengan Chicco, dengan wajah memucat.
"Chicco, gue baru ingat, kalung pentagram ini yang gue tunjukin ke lo, waktu di permakaman Mama dan Papa!"
"Ha?" Mata Chicco melebar. "Oh iya gue inget. Ja - jadi apakah kalung Pentagram ini yang dimaksud...,"
Kanaya kembali terduduk lemas.
****
Pulang sekolah, keempat sahabat itu, tanpa menunda - nunda, segera pergi ke permakaman, tempat makam Mama dan Papa Kanaya, untuk mengembalikan kalung Pentagram itu ke tempat di mana Kanaya menemukan.
"Nah aman, mudah - mudahan gak ada yang gangguin lagi," kata Tasya, diiringi anggukan kepala Kanaya.
"Makanya jangan sembarangan mungut lo," nasehat Chicco pada Kanaya.
"Apalagi di kuburan, hiiy..," Milly bergidik.
"Iya iya maap," Kanaya manyun, merasa bersalah.
"Oke - oke, karena udah aman, gimana kalo kita makan es krim di Cafe?" usul Chicco, iba melihat wajah keruh Kanaya.
"Yeay!!"
Saat tiba di Cafe, keempat sahabat itu merasa beruntung berhasil mendapat tempat duduk di dekat panggung liveshow Cafe. Hingga dapat leluasa menikmati hiburan yang kini sedang ditaja oleh Band Cafe langganan mereka itu, mengiringi seseorang yang sedang bermain biola di tengah panggung. Tampaknya seorang pendatang baru.
"Oh, emji!!" Tiba - tiba tubuh Milly menegang, tangannya menggamit bahu Kanaya
"Heh apaan sih, Mil? Ngagetin aja lo," Kanaya tak sempat berpanjang lebar mengomel, karena Milly sudah menunjuk ke panggung.
"Lihat itu! Oh God, bukannya dia cowok yang bareng lo di post Life - Guard Pantai NIrwana kemaren?"
"Apa?"
"Itu si cakep itu..,"
"Si cakep?" Mata Kanaya melebar saat melihat siapa yang ditunjuk Milly. Di panggung live Cafe, pemuda bermata abu - abu yang sudah dihapal benar sosok tampannya oleh Kanaya, karena sudah 2 kali bertemu, berdiri begitu damage, sedang memainkan biolanya, mendayu - dayu, enerjik, sepertinya sedang memainkan lagu 'Ode to Joy' versi Iskandar Widjaya ( pemain biola, Indonesia ).
"Dia..," Kanaya mendekap mulutnya. "Gak ngira dia ternyata pinter main biola,"
"Beeuh...," lenguhan mencemooh Chicco terdengar begitu keras di samping mereka. "Eh balik yuk, gak jadi deh makan es krimnya, tiba - tiba gue hilang selera,"
"Eeh, mo kemana lo dudul! Kita udah di sini juga, gak ada balik - balik!" Tasya cepat menahan bahu Chiccho agar tidak bangkit dari kursinya. Pemuda bertampang imut itu manyun saat tiga gadis sahabatnya mendadak kompak, berkerja sama menahannya agar tidak pergi meninggalkan Cafe.
"Njir, gue yang kasih usulan, kok jadi gue yang teraniaya?" Chicco bersungut - sungut bete, tapi sungutan Chicco langsung tenggelam di dalam pekikan - pekikan histeris ketiga gadis sahabatnya, yang tampaknya sudah tersihir dengan ketampanan si mata abu - abu.
Kanaya mendekap mulutnya, udah kayak idol aja dia, cakep, manis, pinter main biola....Oh! Mendesir darah Kanaya saat matanya beradu pandang dengan pemuda itu yang tak sengaja menoleh ke arahnya. Ya Tuhan, gue pasti salah lihat, dia tersenyum pada gue, walau cuma sekilas, tapi itu berarti dia masih inget ama gue!
Terus – terang gue sependapat 1000 % dengan Milly, dia emang cakep, terlalu cakep malah, ngeliat wajahnya, udah kayak ngeliat malaikat yang begitu sempurna, Oh, Tuhan, dan matanya itu. Mata abu – abunya, begitu indah bagai kristal. Kanaya menggigit bibirnya. Tapi kenapa, jika dia begitu sempurna dan berbakat, kenapa waktu itu dia ingin bunuh diri? Apakah begitu sempurna dan berbakat justru menjadi hal yang nakutin bagi dia? Atau mungkinkah dia sedang bersedih karena kehilangan semua keluarganya seperti yang dia bilang kemarin? Kanaya mengerutkan kening, ah kok gue jadi semakin iba ama dia?
"Tepuk tangan yang meriah untuk teman kita pendatang baru yang satu ini, Devandra," terdengar suara MC Cafe memperkenalkan pemuda bermata abu - abu itu, yang langsung disambut dengan 'Ooh,' panjang para pengunjung, tentu 'Ooh' paling keras berasal dari meja Tasya - Milly dan Kanaya, minus Chicco.
"Devandra ini sedang ikut Kompetisi Youth's Got Talent lho, so mohon vote - nya, guys!" Tambah sang MC, membuat pemuda bermata abu - abu itu tersenyum smirk, seolah sedikit malu dipromosikan sedemikian rupa.
"Mana HP? Mana HP?" Mily langsung heboh. Chicco mendelik karena Milly nyaris menumpahkan es krim pesanannya, yang baru saja diantar Waiter Cafe.
"Apaan sih lo? Kayak cacing kepanasan gitu?" Sindirnya, sambil mendecak kesal.
"Dasar bego, ya gue mo ikutan vote dong, biar si cakep itu menang,"
"Trus kalo dia menang, emang ngaruh buat lo?"
"Ya gak sih, tapi apa salahnya sih nolongin orang lain? Pahala tauk!"
"Pppfhh...Pahala? Oh Tuhan tolong, lo ngomongin pahala,"
"Apa maksud lo ngomong kayak gitu, hah?!" Milly langsung naik darah, tapi Chicco malah meraba kening Milly.
"Oh masih anget...,"
"Chicco dudul, bego, oon...,"
"Ya terusin aja, bilang gue bego, oon, apa lagi? Bodoh, tolol...,"
"Ih, kenapa sih nih anak? Hellow? Lo ngerasa terganggu?"
"Iya!! Banget! Lo udah gangguin ketenangan gue,"
"Halah ketenangan apa? Ini Cafe, cuy! Mo tenang? Sono ke kuburan!!"
"Apa?!"
Tasya menepuk jidat sedangkan Kanaya memutar bola matanya, melihat pertengkarann itu, Ya Tuhan, mulai lagi deh Tom and Jerry berantem, keluh mereka.
****
Kanaya ternyata lebih beruntung daripada Milly, saat hendak ke toilet Cafe, dia bertemu Devandra - pemuda bermata abu - abu itu, di belakang panggung. Dilihatnya pemuda itu duduk melamun sendirian, sambil meneguk Iced Cappucinno, mungkin sedang istirahat setelah tampil, wajahnya terlihat muram.
Anak SMA mana sih dia? Kok gue gak pernah liat dia selama ini, padahal gue sering main ke Cafe ini bersama Chicco, Tasya dan Milly. Apakah dia baru pindah ke kota ini? Yah seperti kata MC tadi, dia pendatang baru...
Kanaya menghela napas, masih terbayang jelas di ingatannya, betapa pemuda itu memberikan payung padanya, menghapus air matanya, menghibur dirinya saat di permakaman mama dan papanya tempo hari, ah sesungguhnya dia seorang yang berhati lembut, peduli dengan orang - orang di sekitar, kasihan banget kalo dia emang kehilangan semua keluarganya.
"Karena gue, cuma anak gak jelas, yang ngebuat semuanya mati,"
Kata - kata Devandra waktu di pantai Nirwana, membuat Kanaya miris. Gue sangat sedih kehilangan Mama dan Papa, tapi ternyata ada yang lebih menderita dari gue...
"Kenapa?" Sebuah teguran menyentakkan Kanaya. Devandra tiba - tiba saja sudah berdiri di hadapan Kanaya, menatap gadis itu lurus - lurus dengan mata abu - abunya yang bening.
"Euh, maap, gue cuma kebetulan lewat, trus liat lo di sini..," sahut Kanaya salah tingkah. "Anu, ohiya, gue Kanaya, lo Devandra ya?"
"Ya,"
Dengan canggung Kanaya mengulurkan tangan dan Devandra membalasnya. Ada senyum tersungging di bibir pemuda itu, seperti sangat senang Kanaya mengajaknya berkenalan.
"Kita udah 2 kali bertemu, tapi baru sekarang ya kenalannya," komentar Kanaya basa - basi, membuka percakapan. Devandra tak menyahut, hanya mengangkat bahu, sambil masih tersenyum.
Duh manis banget senyumnya, batin Kanaya teringat Milly, seandainya Milly melihat ini, dia pasti pingsan karena keduluan gue kenalan, hehehe...
Sayang moment itu hanya sesaat, karena salah satu personil band Cafe muncul, mengingatkan Devandra jika pemuda itu harus kembali mengisi panggung.
"Oh ok," kata pemuda itu singkat, kemudian memandang Kanaya. "Sorry gue harus...,"
"Ohya, silahkan," kata Kanaya pengertian. "Semangat ya? Dan...Ohya, jangan bunuh diri lagi kayak kemarin..,"
Devandra tertawa renyah mendengar kata - kata Kanaya yang terakhir, sebelum akhirnya dia naik ke panggung lagi.
Bruk!
Kanaya hampir terlompat saat Milly, Tasya dan Chicco muncul dan menubruknya dari belakang.
"Di sini lo rupanya, kirain tenggelam di toilet," tawa Milly jelek.
"Telat lo, Mil," kata Kanaya sambil menggedikkan kepala ke arah panggung.
"Ha? Telat?"
"Gue dong, udah kenalan dengan si cakep,"
"Huwaaa??!" Bukan hanya Milly, Tasya pun terbelalak mau menangis mendengar kata - kata Kanaya, karena kalah cepat berkenalan dengan Devandra.
"Cakep? Hooekkk!!" Chicco berlagak muntah.
"Chiccoooo!!! Plis deeh!!"
*****
Hampir sore, saat akhirnya mereka keluar juga dari cafe. Tasya dan Milly benar – benar bagai tersihir, berkeras menonton acara liveshow Devandra sampai selesai, tak bergeming sedikitpun walau Chicco berulang kali mengajak mereka pulang. Kanaya tak tau apakah harus terkikik geli atau kasihan melihat Chicco mengomel – ngomel saat melihat total harga makanan dan minuman mereka yang membludak. Karena terlalu lama di cafe, jelas acara ngemilnya pun jadi banyak.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, topik percakapan pun hanya berputar – putar tentang Devandra. Kanaya melihat Chicco menunjukkan raut wajah mencemooh saat mendengar Tasya dan Milly yang heboh berdebat Devandra dari SMA mana, apakah sudah punya pacar atau belum, bla bla bla.
“Kalian mo tidur dalam mobil, ato masuk ke dalam rumah?” sindir Chicco.
“Haa?” Tasya dan Milly terjengah baru sadar, melihat Chicco dan Kanaya sudah turun dari mobil. Mereka sudah tiba di halaman rumah Kanaya, 5 menit yang lalu, dan kedua gadis itu masih berdebat tentang Devandra di dalam mobil. Kanaya tergelak melihat wajah merah – padam Tasya dan Milly.
Kanaya baru hendak membuka kunci pintu rumahnya, saat gadis itu melihat sesuatu yang berkilau tergantung pada gagang pintu.
"Eh, apa..,"
"Aya, kenapa?"
Kilauan bandul pentagram kalung mungil membuat keempat sahabat itu terhenyak, pucat pasi.
"Bu - bukankah kalung Pentagram udah kita kembaliin ke tanah pemakaman tadi, kok bisa ada di gagang pintu rumah gue?" kering tenggorokan Kanaya saat menanyakan itu.