Try new experience
with our app

INSTALL

Dalam Ribuan Hari Tentang Melukai 

4. Satu Sekolah

Aku sedang menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.

-----------

Ketika waktu istirahat telah tiba, Agneta bergegas keluar dari kelas seorang diri. Saat Agneta berjalan menuju kantin, keadaannya masih sama saja karena semua orang di sekolah tampak memperhatikan Agneta. Mereka semua seakan masih bertanya-tanya di mana letak rasa malu Agneta? Padahal cewek itu baru saja membuat sebuah skandal di kariernya sendiri.

Tetapi Agneta benar-benar tidak peduli dengan itu semua. Tujuannya ada di sini bukan untuk membuat semua orang mencintainya. Yang terpenting bagi Agneta adalah mamanya bisa memberikan perhatian lebih kepadanya dibandingkan si penyakitan yang sekarang mungkin sedang kritis di rumah sakit.

Agneta sudah berjalan untuk menghampiri stand makanan yang akan ia beli. Ia melihat menu-menu yang tersedia lalu tidak butuh waktu lama untuk berjalan ke meja. Hidup sebagai aktris ternyata tidak sepenuhnya memiliki banyak teman. Tapi belajar dari film yang pernah Agneta tonton, walaupun orang-orang membencinya selagi ia masih bisa hidup—Agneta bebas melalukan apa saja.

Sampai ia juga bebas marah ketika seragamnya kini basah dan penuh warna merah. Agneta meletakkan sendok makannya, ia sudah tidak berselera ketika orang lain kembali mencoba mengganggunya.

“Lo pikir gue tempat sampah sampai lo harus buang air minum lo ke gue?” tanya Agneta kesal dan mendorong tubuh Paula yang masih berani kepadanya.

“Memang lo itu tempat sampah,” balas Paula tersenyum karena cewek itu berhasil membuat Agneta kesal. Tapi sekali lagi, Paula sama sekali tidak melihat wajah ketakutan yang seperti biasanya Agneta tunjukkan kepadanya. Apa benar sekarang cewek itu berubah?

“Oh, oke kalau gitu.” Agneta mengambil piring makanannya. Tanpa banyak bicara, ia sudah melemparkan nasi beserta lauk-lauknya ke wajah Paula. Membuat Paula dan teman-teman cewek itu terkejut.

Teriakan Paula makin menciptakan suasana kantin menjadi ricuh. “SIALAN LO!”

“Kalau lo bisa bilang gue tempat sampah,” ucap Agneta lagi. “Gue juga bisa anggap lo tempat sampah.”

“RESEK!” Baru saja Paula ingin mendekat ke arah Agneta untuk membalas kembali perbuatan cewek itu. Teman-temannya sudah menahan langkahnya.

“La, udah-udah! Mending lo sekarang bersihin muka lo.”

Dengan terpaksa, untuk kedua kalinya Paula pergi dari hadapan Agneta setelah cewek itu berhasil membalaskan yang lebih buruk lagi kepada dirinya. Sementara Agneta tampak senang namun juga mengatur emosinya agar tidak makin menaik. Ia menoleh ke sekitar dan orang-orang yang sejak tadi memperhatikannya tampak mengalihkan pandangan.

Namun Agneta memilih untuk duduk saja di meja kantin. Ia sudah tidak lagi mood untuk makan tapi tidak juga ingin segera pergi dari tempat itu. Hanya saja seseorang tiba-tiba duduk di sebelah Agneta seakan mereka memang pernah dekat sebelumnya.

Agneta segera menoleh dan memberikan tatapan bingung.

“Aku gak percaya, Agne.” Suara lembut itu memberikan pujian atas yang dilakukan Agneta tadi. Ditambah rambut kucir kuda yang tinggi dan kacamata di wajahnya seakan menjelaskan kalau cewek itu adalah orang baik. “Tadi kamu berani banget sama Paula. Biasanya kamu gak lawan dia atau bahkan sekadar buat bantah ucapan gak penting Paula. Sekarang kamu hebat, Agne!”

“Biasa aja,” balas Agneta cepat setelah mendengar kalimat panjang dari cewek yang memiliki wajah seperti orang Korea di sebelahnya ini. Mata Agneta kembali mengarah ke name tag pada seragam cewek itu, So Boo Yeji. Tapi kali ini Agneta merasa atmosfer yang berbeda dari cewek itu, kalau mereka adalah teman.

“Agne, tapi tadi itu keren banget.” So Boo Yeji kembali mengatakan itu. “Maaf kalau aku memang gak bisa selalu bantu kamu setiap kali Paula buat jahat ke kamu. Tapi kamu tau sendiri kalau aku murid internasional. Jadi aku gak bisa buat seenaknya di sekolah.”

Agneta terdiam sejenak mendengar ucapan cewek itu. Tapi sekarang, ia ingin sekali menanyakan suatu hal yang bersarang di kepala sejak kedatangan So Boo Yeji di dekatnya. “Apa ... kita berdua berteman?”

Ia dapat melihat tatapan bingung dari cewek itu ketika mendengar pertanyaannya. “Ya, kenapa kamu tanya itu? Kita memang berteman, Agne. Kamu lupa?”

Agneta menggeleng cepat menutupi kegugupannya. “Nggak. Sama sekali gak lupa.”

Senyuman itu mengembang sempurna. “Semua manusia di dunia ini harus tau kalau Boo dan Agne itu berteman. Kita teman yang hebat.”

“Boo.” Ucapan Agneta tanpa sadar keluar dari mulutnya ketika ia tahu nama panggilan cewek yang ternyata adalah temannya itu.

“Ya, Agne? Kamu mau bicara apa?” tanya Boo bingung.

Agneta menggeleng kembali untuk kedua kalinya. “Nggak, Boo.”

* * *

Luka elran berjalan dengan percaya diri ketika waktu istirahatnya telah tiba. Menjadi murid baru di Indonesia History School bukan suatu kebanggaan baginya. Ia lebih baik menjadi murid home schooling agar bisa belajar di segala tempat tanpa harus mengenakan seragam seperti sekarang.

Tetapi sayangnya, papanya meminta Luka untuk belajar membagi fokus dan mengatur waktu dengan tepat antara sekolah dan pekerjaan. Terlalu banyak belajar sambil bekerja akan membuat Luka menyepelekan pendidikannya. Menurut papanya lebih baik berada di sekolah umum namun juga tetap bisa menjadi aktor.

Bukan suatu hal yang susah memang untuk berada di sekolah umum, tapi Luka saja yang sudah terlalu malas untuk bertemu dan melakukan banyak hal dengan banyak orang. Mencari teman pun tidak Luka lakukan. Yang ada malah mereka semua yang ingin berteman dengan dirinya. Siapa juga yang tidak tahu Luka elran? Sebagai aktor muda terkenal tentu saja mereka mengetahui siapa dirinya.

Tetapi ketika baru sampai di kantin, Luka melihat keributan di depan matanya sendiri. Cewek-cewek yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang seakan tidak malu membuat masalah di tempat seramai ini. Mereka seperti ingin melemparkan segala hal di sekitarnya agar bisa menang dari lawan.

Hanya saja bukan itu yang Luka ingin maksud sekarang. Matanya melebar sempurna ketika melihat dengan jelas salah seorang dari mereka yang sedang membuat keributan. Ia sangat ingat jelas wajahnya walaupun Luka baru lihat dari ponselnya sendiri.

Itu ... Agneta keola.

“Lo kenal sama Agneta, Ka?” tanya Neron, teman baru sekaligus sebangku dengan Luka.

Luka menggeleng cepat. “Gue sama sekali gak kenal dia.”

“Kirain lo kenal. Secara lo sama dia kan aktor dan aktris, pasti pernah ketemu.”

Luka tidak membalas ucapan Neron. Tapi ia tetap menjawab di dalam hatinya kalau ia bahkan sangat tidak suka melihat keberadaan cewek itu di sekitarnya.

Luka sendiri tidak tahu ini adalah sebuah keajaiban atau kesialan berada satu sekolah dengan Agneta keola. Hanya saja satu hal yang baru Luka tahu kalau cewek itu tidak hanya mencari masalah ketika sebagai aktris tapi juga saat di sekolah pun sama saja.

* * *