Try new experience
with our app

INSTALL

Dalam Ribuan Hari Tentang Melukai 

3. Cewek Sampah

Selamat datang di dunia yang ada banyak manusia hanya mampu mengkritik karena kamu masih bisa bernapas.

--------------

Agneta menuruni setiap anak tangga di rumahnya. Cewek itu berjalan menuju ruang makan untuk sarapan lebih dulu sebelum berangkat sekolah. Namun langkahnya terhenti tepat beberapa meter dari meja makan. Menu sarapan paginya memang lengkap namun yang tidak lengkap adalah sama sekali tidak ada orang di meja itu.

Ia kini memutuskan untuk duduk di meja makan yang ukurannya cukup besar. Bisa menampung hingga delapan orang, tapi sayangnya ia merasa kecil di meja ini karena menjadi satu-satunya orang yang sarapan pagi ini.

“Non Ag—ne, menunya sudah pas belum ya?” tanya Bi Yiza, pembantu di rumahnya merasa canggung. “Atau mau ganti?”

Agneta menatap makanannya, ia dibuatkan dua potong sandwich, segelas susu, dan salad buah. Tidak ada yang salah dari menu sarapannya. “Ini udah pas, Bi,” balasnya. “Tapi ... Bibi lihat gak mama di mana? Dari semalam aku gak lihat ada di rumah.”

“Oh, Ibu,” balas Bi Yiza. “Ibu sudah pergi dari kemarin siang ke rumah sakit, Non Ag—ne.”

Agneta terdiam mendengarnya tapi ia kembali bertanya, “Bibi tau gak kenapa mama ke rumah sakit?”

“Bibi gak tau pasti, tapi yang jelas mungkin Non bisa simpulkan sendiri. Apa yang terjadi di rumah sakit? Karena Ibu terlihat panik, Non, sambil bawa hape keluar rumah.”

Agneta mengangguk sekali lagi. Ia paham apa yang terjadi di rumah sakit. Seseorang yang sudah sangat ia kenal sejak dulu dan tidak perlu ditanya lagi jika mamanya sekhawatir itu.

Jelas bukan khawatir kepada Agneta yang kini hanya makan sendirian. Tetapi kepada seseorang yang terbaring lemah di rumah sakit yang entah sampai kapan akan sembuh. Entah sampai kapan perhatian dari orang tua satu-satunya yang ia miliki—mamanya—Agneta dapatkan.

Ada dua cara memang yang pernah Agneta pikirkan untuk merebut perhatian itu. Agar perhatian mamanya lebih banyak ke dirinya. Mungkin apa yang Agneta inginkan seperti berbelanja, memiliki barang mewah, sudah terpenuhi oleh uang. Tapi jika perasaan bahagia dijelaskan dalam persen, uang tidak sepenuhnya bekerja untuk membuat bahagia itu berada pada level seratus. Sudah memiliki tempat untuk menampung setiap bahagianya; uang, keluarga, pasangan, dan diri sendiri itu terbagi dalam bentuk persen.

Hanya saja, dua cara yang memang membuat Agneta akan dianggap orang gila untuk mendapatkan perhatian mamanya.

Pertama, berharap seseorang yang berada di rumah sakit itu mati.

Kedua, berharap dirinya yang sakit seperti orang itu agar ia tahu seberapa besar perhatian dari mamanya saat ia terbaring tidak berdaya di kasur rumah sakit, dengan infus yang terpasang, dan kesulitan untuk bergerak.

“Non Agne, mobilnya sudah selesai disiapkan sama Pak Ridwan.” Mendengar Bi Yiza mengatakan itu berhasil membuat fokusnya kembali.

“Iya, Bi.” Anggukan pelan Agneta membuat Bi Yiza pamit ke dapur. Sementara cewek itu menyelesaikan kegiatan sarapannya dengan mood yang buruk.

Seharusnya detik ini, Agneta mengeluarkan air matanya. Dadanya merasakan sesak sehingga mengharuskan dirinya untuk menangis. Namun tidak ada air mata yang keluar sejak Agneta berharap ia bisa melakukan itu seperti saat dirinya memainkan peran sedih.

Tetapi sepertinya bakat akting menangis yang menyayat hati tidak bisa terjadi di kehidupan nyatanya. Yang ia usap pipinya kali ini hanyalah kulitnya yang lembut, tidak ada basah sedikit pun.

Hingga rasanya Agneta ingin membagikan informasi ke semua orang agar mereka mengetahui kalau di hidup nyata dirinya tidak bisa menangis.

Seorang aktris bisa menghidupkan sebuah peran namun tidak bisa memainkan peran hidupnya sendiri.

Mungkin tanggapan mereka tidak ada yang percaya. Mana mungkin seorang Agneta keola yang hidupnya selalu bahagia di depan kamera itu bersedih?

Agneta jelas mengurungkan niatnya untuk memberi tahu informasi tidak penting bagi orang lain tentang dirinya. Di kehidupan nyatanya yang menyedihkan. Ia hanya akan menarik tanggapan negatif dari orang lain karena membagikan masalah pribadi yang seharusnya lebih baik disimpan sendiri.

Biarkan mereka semua melihat dirinya yang kuat di kamera. Daripada harus mencari simpati yang sebenarnya bukan simpati. Mereka hanya melihat, mengetahui, dan diam tanpa memberi solusi.

Memangnya, masih ada orang yang peduli padanya di dunia ini?

Ya, jelas ada.

Itu dirinya sendiri.

* * *

Ketika mobil yang mengantarnya berhenti di depan gerbang sekolah, Agneta langsung tersadar dari lamunannya selama perjalanan. Ia melihat keluar kaca mobil, sudah banyak murid lain yang berlalu-lalang untuk segera memulai hari mereka di sekolah.

Agneta mencoba mengatur napasnya sejenak lalu mengangguk pelan. Hanya dirinya sendiri yang menyadari gerakan kecil itu. Kini Agneta memandang sopirnya yang masih menunggu dirinya untuk keluar.

“Pak Ridwan,” panggil Agneta cepat membuat beliau pun langsung menoleh bingung.

“Eh, iya Non Ag—neta. Ada apa?” tanya Pak Ridwan sungkan. Sikap beliau persis seperti Bi Yiza ketika mengatakan nama Agneta. Dua orang tua itu merasa takut ketika berhadapan dengan anak majikannya itu.

Agneta tersenyum kecil. “Terima kasih sudah antar saya sampai sekolah dengan selamat ya, Pak. Bapak bisa istirahat dulu, nanti kalau saya mau pulang, saya telepon Bapak lagi.”

Tanpa menunggu jawaban dari Pak Ridwan, Agneta sudah membuka pintu tengah mobil dan menutupnya lagi dengan cepat. Ia melirik jam di tangannya, waktu bel masuk masih tiga puluh menit lagi. Berarti ia tidak terlambat untuk datang ke sekolah, walau sejujurnya ia merasa lelah menjadi seorang aktris yang cukup memiliki jadwal padat.

Agneta terus berjalan masuk ke gedung sekolahnya yang sangat besar. Indonesia History School, sekolah yang memang diisi oleh anak-anak dari keluarga kalangan atas. Jadi tidak heran kalau seorang selebritas seperti Agneta keola berada di sekolah ini.

Tetapi saat Agneta akan melewati lobi sekolahnya, banyak tatapan murid lain yang kini melihat ke arahnya. Mereka berbisik-bisik satu sama lain seakan-akan mereka semua sengaja agar Agneta tahu kalau cewek itu menjadi perbincangan banyak orang.

Agneta yang tidak peduli tetap terus berjalan dan tidak menoleh ke arah mana pun untuk melihat-lihat orang yang mungkin saja sedang memandang rendah dirinya. Sekolahnya yang memang dirancang memiliki halaman luas namun gedungnya tidak tingkat, membuat Agneta tidak perlu lelah mencari lift. Sekarang Agneta hanya harus berjalan cukup jauh untuk sampai di kelasnya 11 IPA 1. Sembari menerima tatapan-tatapan yang tidak mengenakan dari banyak orang.

Hingga akhirnya Agneta sudah berada di depan kelas. Tidak jauh beda, teman sekelasnya pun bertanya-tanya dan hanya memperhatikan Agneta heran.

Sampai Agneta memutuskan untuk duduk di kursinya dan baru sadar kalau ia sudah dikelilingi oleh beberapa orang. Sekitar enam cewek kini terang-terangan memberikan tatapan tidak suka.

“Artis terkenal kita udah datang ternyata.” Salah seorang cewek berbicara, kini berdiri tepat di hadapan Agneta. “Jadi ternyata kalau di film dia bukan protagonis, Guys!”

Ucapannya mengundang tawa dari lima orang cewek lainnya. “Sekarang dia mau terkenal dan jadi antagonis di dunia nyata.”

Agneta memutuskan untuk tidak memedulikan cewek-cewek tidak penting itu, ia melihat ke arah lain lalu bersandar tanpa menatap mereka semua. Namun tangannya mendadak ditahan begitu saja membuat Agneta terkunci di kursinya sendiri.

Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan dirinya dari sana, namun Agneta yang hanya sendirian kalah dengan tenaga lima cewek yang kini memegang kuat tangannya.

Agneta menatap kesal ke arah cewek yang sejak tadi memimpin pembicaraan. Matanya mengarah ke name tag pada seragam cewek itu. Paula Rechasa Berni.

Berni?

Sebelum Agneta diberikan waktu untuk berpikir, rahangnya sudah dipegang begitu kuat oleh cewek bernama Paula. Dia juga terus menekan jari-jarinya pada wajah Agneta. Makin Agneta bergerak makin sulit ia terlepas.

“LEPASIN GUE!” Agneta kali ini berteriak.

“Nggak! Gue harus bicara sama lo!” sentak Paula dengan kencang. “Mentang-mentang Raffa suka sama lo. Lo pikir lo bisa terkenal karena sepupu gue?! Gue tau Agneta, lo manfaatin sepupu gue yang bego itu buat karier lo.”

“Ini bukan urusan lo!” balas Agneta tidak kalah kerasnya.

“Bukan urusan gue?” tawa Paula terdengar seolah-olah ucapan Agneta tadi lelucon baginya. “Lo napas aja jadi urusan gue, Agneta!

“Gue gak peduli lo terkenal sampai seluruh dunia juga. Tapi di sekolah ini, lo cuma cewek sampah yang harus gue hancurkan.” Paula menatapnya makin tajam, kebencian pada wajah cewek itu sangat terlihat jelas. “Tapi sekarang lo berani buat ulah. Mana Agneta yang bisanya nangis? Gue suka lihat lo tersiksa, Bitch! Dan sialnya, lo malah buat Raffa—sepupu gue itu jadi bahan gosip semua orang karena rencana busuk lo!”

“Pergi lo semua dari hadapan gue!” kesal Agneta makin menjadi. “Gue bukan Angeta yang lo kenal lagi. Gue gak akan nangis kalaupun lo siksa gue detik ini juga.”

“Berani banget lo sama gue?!”

Cengkeraman di tubuh Agneta makin menguat. Jarum jam yang terus bergerak seakan menandakan kalau waktu tiga puluh menit kali ini terasa sangat lama. “Lo harus ngaku ke semua orang kalau Raffa gak salah. Cuma lo yang salah. Kalau lo gak posting video itu, gak akan ada hujatan ke Raffa, Sialan! Lo mau hancurin karier sepupu gue? Sebelum itu terjadi gue akan hancurin hidup lo lebih dulu, Agneta!”

Emosi Agneta makin memuncak mendengar itu—tanpa pikir panjang—ia mengangkat kakinya ke depan untuk menendang tulang kering Paula dengan sepatunya, sekuat yang Agneta bisa. Berhasil. Paula kini terjatuh ke lantai sambil meringis kesakitan di kakinya dan semua teman-teman cewek itu menjauh dari Agneta. Mereka mencoba menolong Paula.

Agneta berhasil berdiri dari kursinya dengan tersenyum. “Sorry, tadi gak ada di script Tuhan. Gue yang improvisasi sendiri.”

Setelah itu bel masuk sekolah baru berbunyi.

* * *