Contents
PUNDEN DEMIT
PENULIS NASKAH RA NUH (Flash Back ke Tahun 1981)
Perempuan yang melakukan tindakan bunuh diri itu bernama Ra Nuh. Perempuan kreatif berusia 22 tahun asal Gianyar Bali. Ketika dia melamar sebagai penulis di stasiun radio terkenal bernama Radio Studio/4, bakatnya terlihat, energinya dalam bekerja tinggi, dan karakternya menyenangkan. Setelah melewati dua tahap wawancara, dia berhasil diterima bekerja di radio tersebut. Wawancara pertama dilakukan dengan produser bernama Fatima dan Direktur Utama radio tersebut yang bernama Bu Blenda. Proses penerimaannya berlangsung singkat, dan Ra Nuh berhasil mendapatkan pekerjaan di Radio Studio/4. Fatima dan Bu Blenda sangat menyukainya dan memiliki harapan besar bahwa Ra Nuh akan menjadi kekuatan baru dalam departemen produksi Radio tersebut.
Radio Studio/4 merupakan stasiun radio yang memiliki pendengar dari kalangan anak muda, karyawan, dan ibu rumah tangga. Stasiun ini menawarkan berbagai program musik, termasuk program musik Top 40 Internasional, program berita selebriti, serta sandiwara radio dengan tema percintaan yang banyak diminati pendengarnya. Radio Studio/4 memiliki jangkauan siaran yang luas di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Depok, Bogor, Surabaya, dan Manado. Keberadaan stasiun radio ini di kota-kota besar menjadi daya tarik bagi jutaan pendengar.
Ra Nuh sangat bersemangat untuk bekerja di radio ini. Dan pada hari yang ditunggu-tunggunya, untuk dia memulai pekerjaannya di Radio Studio/4. Dia dikawal oleh Menik, salah satu karyawan radio, menuju meja kerja yang sudah disiapkan. Di meja itu, Ra Nuh melihat mesin tik merk Olivetti berwarna krem. Dia sumringah luar biasa.
"Ini meja kamu. Kalau mau makan atau minum, bisa ke dapur belakang atau di luar," kata Menik kaku kepada Ra Nuh. "Biasanya sebentar lagi yang lain juga akan datang. Meja sebelah sana adalah meja mbak Fatima, produser," lanjut Menik.
"Terima kasih, Mbak Menik," ucap Ra Nuh dengan rasa terima kasih.
Ra Nuh sangat senang bisa bekerja di Jakarta setelah merantau dari Gianyar dua bulan sebelumnya. Saat sampai di Jakarta, dia berharap bisa langsung mendapatkan pekerjaan, dan keinginannya itu terwujud. Di awal pekerjaannya, dia belajar banyak dari para produser yang membimbingnya. Dia belajar membuat naskah cerita drama radio, naskah untuk penyiar radio, dan naskah-naskah lain yang terkait dengan penyiaran. Tiga produser yang membantu Ra Nuh dalam proses belajar ini adalah Camelia, Fatima, dan Yessy. Mereka adalah produser handal di Indonesia. Dan Ra Nuh bangga mendapat kesempatan untuk belajar dari mereka.
Ra Nuh menghadapi berbagai tantangan dalam pekerjaannya sebagai penulis naskah di Stasiun Radio Studio/4, termasuk dalam membuat naskah-naskah cerita seperti sandiwara radio dengan tema percintaan khas radio itu. Meskipun sudah membuat puluhan sinopsis, hanya satu sinopsis yang dipilih untuk dibahas oleh Fatima. Sementara itu, Yessy dan Camelia sudah sibuk dengan program-program yang diminati pendengar. Fatima, yang juga menjadi karyawan kesayangan Bu Blenda, telah menghasilkan banyak sandiwara radio hits.
"Ra Nuh, sinopsis kau yang berjudul 'Cinta di Simpang Tiga' cukup menjanjikan, sepertinya bisa kita kembangkan," sapa Fatima kepada Ra Nuh.
"Apakah itu bagus, Mbak?" balas Ra Nuh.
"Belum cukup bagus, judulnya terlalu murahan, tapi nanti kita voting saja. Masih ada banyak elemen yang bisa kita kembangkan. Pendekatan tentang pematung Ubud, Made itu menarik. Tambahkan konflik, misalnya ada seorang wanita bule yang ingin merebutnya. Mungkin ingin membawanya ke Inggris, tetapi dia sudah memiliki tiga anak dan kemudian mereka terlibat pertengkaran. Tambah karakter agar kamu bebas mengembangkan ceritanya dari sana," jawab Fatima, berusaha memberikan arahan kepada Ra Nuh, penulis baru dalam tim produksi.
Sedikit penasaran, Ra Nuh mencoba bertanya kepada Fatima dengan suara pelan, "Jadi, maksudnya merombak cerita mbak?"
"Nah, itu ide yang bagus. Segera buat naskahnya!" kata Fatima.
Ra Nuh tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya memandang Fatima yang pergi menjauh. Karena dia harus membuat ulang naskahnya. Meskipun telah membuat puluhan sinopsis, hanya satu judul yang dipilih. Itupun harus mengulang dari awal. Ra Nuh merasa putus asa dan segera mencari teman penulis lainnya untuk berbagi keluh kesahnya.
"Sudah 23 cerita yang saya buat, tapi tidak ada satupun yang dipilih oleh Mbak Fatima," keluh Ra Nuh kepada Sutan, seorang penulis di sebelahnya.
"Aku juga dulu begitu, tidak ada yang diterima. Jadi buat apa maunya mereka aja," cerita Sutan.
"Ternyata sama saja, ya," ujar Ra Nuh.
"Untungnya sekarang aku membantu Camelia, dia mungkin galak tapi cantik," kata Sutan sambil tertawa kecil.
"Mari kita bertaruh. Jika cerita asli saya diterima, kamu traktir," kata Ra Nuh.
"Oke, setuju! Ha... ha... ha," jawab Sutan, menerima tantangan tersebut.
Ternyata Sutan juga mengalami hal yang sama, Ra Nuh mulai melakukan eksplorasi lagi dalam mencari cerita-cerita cinta yang unik. Dia melakukan wawancara tentang percintaan dengan berbagai kelas sosial. Ra Nuh sudah bertanya kepada semua karyawan di radio itu, termasuk Babeh, sekuriti radio, dan istrinya, Satime. Tidak hanya bertatap muka, Ra Nuh juga melakukan survei kepada teman-temannya di beberapa daerah seperti Bali, Padang, dan Bandung melalui telpon. Semakin banyak cerita yang dikumpulkan, semakin kaya cerita percintaan pematung Ubud yang dibuat oleh Ra Nuh. Dari survei yang dia lakukan, dia menghasilkan puluhan cerita dengan puluhan rayuan maut untuk tokoh Made.
Pada suatu siang, Fatima mendekat, "Ra Nuh, ini bagus... ini bagus... mari kita perbaiki ceritanya lagi."
"Perbaiki lagi? Ceritanya sudah bagus," jawab Ra Nuh. Mendengar jawaban Ra Nuh, mereka berdua terdiam dan Fatima menatap tajam Ra Nuh. Wajahnya mulai terlihat kesal. Ra Nuh merasakan ketakutan bahwa Fatima mungkin benar-benar marah. "...semoga tidak dipecat," kata Ra Nuh dalam hati.
"Ah, sok pintar anak baru, ayo ke warung," kata Fatima sambil menarik Ra Nuh. Fatima mengajaknya ke warung Satime, istri sekuriti Babeh yang berada di sebelah kantor.
Dengan cepat, mereka berdua tiba di warung Satime dan duduk di meja di pojok yang biasa digunakan oleh Fatima, Camelia, dan Yessy saat makan siang.
"Kopi dua, dan Samsu sebungkus," kata Fatima kepada Satime. Ra Nuh tidak memesan, masih penasaran oleh Fatima. Dia masih bingung apa yang akan dilakukan oleh Fatima.
Fatima mengajak Ra Nuh untuk menyempurnakan cerita yang dia buat. Dengan antusias, Fatima berdiskusi dengan Ra Nuh. Membuat dia terpesona dengan cara Fatima bercerita, seluruh anggota tubuhnya ikut bergerak seolah-olah menyempurnakan cerita yang keluar dari mulutnya. Ra Nuh pun ikut menimpali sesekali dengan antusias. Ide-ide baru lahir dan cerita yang sudah ditulis semakin sempurna. Dia semakin termotivasi dan mencatat ide-ide tersebut di kertas untuk diketik dengan mesin tik setelah rapat selesai. Hubungan kerja antara Ra Nuh dan Fatima semakin baik dan produktif. Tempat mereka bekerja dan berdiskusi berpindah-pindah antara warung, teras kantor, atau di ayunan di bawah pohon beringin di sebelah kantor.
Bu Blenda memperhatikan hal tersebut melalui jendela ruangan nya dan ketika keduanya mempresentasikan konsep sandiwara radio mereka dengan judul 'Cinta di Simpang Tiga Ubud'. Mereka sengaja berdiri di depan Bu Blenda sambil bercanda terlebih dahulu, membuat Bu Blenda tertawa dan suasana presentasi menjadi lebih santai. Taktik ini memang sengaja direncanakan oleh Fatima yang sudah terbiasa melakukan presentasi di depan klien hingga mencapai kesepakatan. Dan mereka mulai membuka presentasi dengan bercerita dan menggunakan gestur tubuh yang biasa mereka lakukan saat rapat. Kemudian Ra Nuh memberikan kertas berisi konsep ceritanya kepada Bu Blenda.
Ketika Fatima mempresentasikan, kadang-kadang dia meminta Ra Nuh untuk menambahkan sesuatu untuk meyakinkan Bu Blenda. Fatima pun memimpin jalannya presentasi tersebut. Dia memperhatikan Fatima, betapa profesionalnya dia dalam meyakinkan gagasan.
Akhirnya, konsep cerita mereka disetujui oleh Bu Blenda untuk diproduksi. Ra Nuh sangat senang karena usahanya telah membuahkan hasil. Sandiwara radio pertamanya akan segera ditayangkan. Sementara itu, Fatima tampak tenang dan merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Dia terlihat sebagai seorang profesional dan menjadi panutan bagi Ra Nuh dalam meniti karir.
Hingga sandiwara radio tersebut ditayangkan, naskah karya pertama Ra Nuh dengan produser Fatima. Kedua orang tuanya sangat bahagia dengan kesuksesan anaknya. Mereka selalu mendengarkan sandiwara radio produksi anak mereka. Ibu Ra Nuh terharu ketika nama anaknya disebut sebagai penulis naskah di akhir cerita. Sang ayah sangat bangga kepada anaknya. Dia selalu memberikan semangat kepada Ra Nuh untuk meraih cita-citanya setinggi langit. Pesan itu disampaikan oleh ayahnya kepada Ra Nuh ketika ia meminta izin untuk merantau ke Jakarta.
"Tunjuk gunung mu, naiki perlahan, ketika sampai di atas dan melihat bintang, itupun masih sulit untuk dijangkau, tapi usaha, keyakinan, dan kesabaranmu akan membimbing jemarimu menyentuh bintang."