Contents
LENTERA
BAB SATU
PAGI yang cerah dari SMA Pelita Bangsa 1, canda gurau hari pertami memasuki tahun ajaran baru, menghiasi setiap sudut ruang kelas. Belum ada mata pelajaran yang di mulai, sebab semuanya masih disibukkan dengan memilih ketua kelas baru, menentukan ini dan itu. Sama halnya dengan kelas delapan satu, kelas di mana Lentera Kaluela tengah berbincang, berbagi cerita dengan kawan-kawannya tentang liburan yang lalu.
“….terus, terus, kamu tau nggak, sih, Tera, kakak ku kesandung di pantai!” Ucapan sang kawan tentu saja membuat tawa Lentera meledak, pasalnya cerita liburan sang kawan sangat mengesankan dan menghibur.
“Terus kakak kamu gimana setelah jatuh tersandung?” Tanya kawannya yang lain, “malu banget pasti!”
“Pura-pura stay cool gitu! Hahahaha nyebelin banget.”
Lentera masih tertawa, jelas ia membayangkan keadaan dari cerita sang kawan. Tawanya mereda, baru saja ia hendak membuka suara pengeras suara yang terpasang di sudut kelas berbunyi bising.
“Panggilan kepada Lentera Kaluela! Sekali lagi, panggilan kepada Lentera Kaluela kelas delapan satu, mohon menghadap ke ruang bimbingan konseling! Terima kasih.”
Raut wajah penuh bingung, Lentera menatap kedua temannya bergantian, pula ibu jarinya menunjuk diri sendiri, “aku? Kenapa aku?” Pertanyaannya dijawab dengan kedua teman yang menggeleng, “ada apa, ya?”
“Nggak tau, coba kesana dulu? Barang kali ada yang penting.” Salah satu kawan berbicara, jemala sang gadis mengangguk kemudian ‘tuk menuruti usulan sang kawan. Merasa yakin tak ada yang salah, Lentera bergegas kemudian menuju ruang bimbingan konseling (BK), ruangan yang berada di lantai satu, tak jauh dari ruang kelasnya yang ada di lantai dua. Langkah demi langkah ia lewati tanpa adanya keraguan, diselingin dengan senandung riang, turut menyapa kawan-kawan yang lewat di koridor juga. Hingga langkah gadis berbalut putih biru itu terhenti di ruang dengan pintu coklat tertutup rapat, ruang bimbingan konseling. Diketuk lah pintu tersebut sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya ia memutar kenop pintu ruangan yang tak terkunci. Semilir angin dingin terasa, kepalanya menyembul dari daun pintu, “permisi, bu… Saya Lentera yang dipanggil tadi, bu.”
Wanita paruh baya ber serba coklat, dengan kacamata bertengger pada tulang hidungnya mempersilakan masuk Lentera, “masuk, nak dan tutup pintunya, saya ada hal penting yang perlu ditanyakan.” Mendengar hal tersebut Lentera membuka lebar pintu dan memasuki ruangan, setelah menutup rapat ia pun duduk berhadapan.
“Ada apa, ya, bu Hilya?” Hilya- nama sang guru bimbingan konseling, melepas kacamata dan menyimpan pena merah yang sedari tadi menari di atas kertas putih. Kedua tangannya terlipat di atas meja dan menatap serius Lentera yang mengernyit. Bingung kemudian melanda sang gadis.
“Lentera,” Hilya menghela napas kemudian sebelum berbicara lebih lanjut, “Lentera, sebenarnya saya tidak yakin akan hal ini, tapi saya perlu membicarakannya. Sebelumnya, saya ingin membicarakan ingin sebelum ujian kenaikan kelas kemarin, tapi saya rasa waktunya tidak tepat.” Ucapan Hilya tentu saja membuat degup hati sang gadis menjadi cepat, bahkan bisa terdengar bila dari dekat.
“Anu… Tentang perlombaan kemarin yang kalah? Atau—”
“Bukan, ini tidak ada sangkut pautnya dengan perlombaan kamu atau bahkan prestasi kamu-. Namun, ini menyangkut dengan kepribadian kamu yang ternyata tak seiras dengan prestasi kamu.” Melongo tentu saja sang gadis mendengar ucapan sang guru secara tiba-tiba, “maaf Lentera, tapi, apa benar kamu mengambil uang SPP Yuventa? Tepatnya satu hari sebelum ujian berlangsung. Benar begitu?
“Meminta uang Yuventa secara paksa? Umm, nggak, bu. Tapi memang Yuventa menitipkan uangnya kepada saya, uang itu untuk bayar SPP semester kemarin.”
Hilya kemudian menghela napas berat, “kamu benar berbicara jujur, Lentera?” Pertanyaan diberi anggukan kecil dari jemala sang gadis, “lalu bagaimana dengan tangkapan layar ini?” Secarik kertas di tarik dari laci meja kerja Hilya. Kertas itu merupakan foto di mana Lentera mengcengkram bahu Yuventa dengan mengangkat segepok uang, “terlihat di sini kamu meledek Yuventa dan memaksa Yuventa memberikan uangnya pada kamu. Benar begitu?”
Matanya membesar begitu melihat gambar yang diberikan, “bu…” Lentera meraih foto tersebut dari atas meja, menatapnya lekat-lekat, “ini… ini nggak seperti yang Ibu pikirkan, kok…”
“Lalu? Apa kamu bisa memberikan penjelasan terkait akan hal ini?” Hilya menaikkan sebelah alisnya, menutut akan penjelasan dari Lentera, “tidak bisa? Jika tidak bisa, artinya kamu memang melakukan hal seperti ini-”
“Nggak, bu! Saya benar nggak melakukan hal seperti ini! Saya bisa jelaskan, serius.” Lentera meninggi, suaranya menggema dalam ruangan yang dingin, “maaf, bu… Tapi saya bisa jelaskan, ini nggak seperti yang Ibu pikirkan…”
Hilya tak bersuara, justru menopang dagu dengan kedua kuasanya dan menunggu penjelasan Lentera, “kemarin- tepatnya, satu hari sebelum ujian, Yuventa menitipkan uang SPP-nya ke saya, untuk dibayarkan melalui rekening bank Bunda saya. Lalu, disitu- maksudnya gerak-gerik di foto itu, saya bermaksud menguatkan Yuventa sebab kabarnya dia sedang kesulitan ekonomi, uang itu pun ia dapat dari hasil kerjanya sendiri. Begitu, bu.”
Selesai penjelasan dari sang gadis dengan menggebu-gebu, Lentera menatap Hilya yang masih terpaku, “pendongeng yang andal.” Bukan menanggapi penjelasan Lentera, justru Hilya berucap sarkas kepadanya, “saya tentu tidak percaya, sebab ada rekaman suara di mana kamu memaksa Yuventa untuk memberikan uangnya.”
Hilya meraih sebuah kotak suara berwarna hitam dari laci meja kerjanya, kemudian ia tekan tombol putar pada kotak tersebut, “dengar baik-baik dan jangan interupsi sebelum selesai.”
“Ta, dengar baik-baik, orang-orang memang tau kita sahabat yang baik, tapi apa kamu pikir aku baik sama kamu? Hahaha, nggak! Uang ini, makasih, ya, aku nggak akan bayarin SPP kamu.”
“Tera, tapi kamu tau, ‘kan… Keluarga aku lagi nggak baik-baik aja—”
“Alah! Aku nggak peduli, mau orang tua kamu lagi jatuh aku nggak peduli! Pokoknya jangan harap uang ini balik ke kamu.”
“Akh!”
“Miskin.”
Rekaman suara terhenti, terkejut Lentera dibuatnya oleh rekaman suara yang jelas mirip sekali dengan suaranya. Namun, bukan ia berani sumpah itu bukan dirinya.
“Masih mau menyangkal? Sudah jelas sekali suara tersebut adalah suara kamu,” Hilya kembali memasukan kotak suara pada laci meja dan menutupnya dengan rapat, “saya tidak terima penjelasan kamu lagi, cukup berbicara di depan kepala sekolah yang akan bertemu kamu di jam makan siang, pihak sekolah juga sudah memanggil orang tua kamu. Yuventa hari ini tidak masuk, tetapi Yuventa akan hadir bersama kedua orang tuanya. Saya harap kamu berlaku jujur di depan kepala sekolah.”
Lentera tak bergeming sama sekali, ia tak percaya bila dirinya akan bernasib seperti ini, “bu… Tapi, yang tadi itu—”
“Lentera, kamu adalah salah satu dari sekian banyak anak unggulan di sekolah ini. Kamu diberikan prioritas oleh sekolah, tetapi tingkah kamu di belakang tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan.” Hilya menggelengkan jemala, tak percaya dengan tingkah Lentera yang jelas belum tentu apakah memang sang gadis yang melakukan atau ia di jebak?
Lenter terdiam dibuatnya, bagaimana ia bisa menjelaskan bila seorang guru bimbingan konseling saja tak mengizinkannya berbicara, “silakan kembali ke kelas, saya harap berita ini tidak sampai ke murid yang lain. Saat jam makan siang segera menghadap ke ruang kepala sekolah.”
Mengikuti perintah Hilya, Lentera beranjak dari kursi dengan perasaan yang tak beraturan, tak karuan. Jelas ia merasa tak percaya, itu bukan dirinya, tapi bagaimana bisa suara itu mirip sekali dengannya?
“Jangan lupa saat jam makan siang.” Tegas Hilya sekali lagi sebelum Lentera meninggalkan ruangan.
Setelah keluar dari ruang bimbingan konseling, Lentera melangkah menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi. Mungkin wali kelas telah memasuki ruang kelas masing-masing untuk membicarakan hal-hal yang penting. Satu persatu anak tangga ia naiki, dengan perasaan tak karuan menyelimuti, langkah gontai membawanya hingga berhenti di depan ruang kelas. Di sana ada Januar, sang wali kelas yang tengah berdiri tegap berwibawa, “pagi, pak Januar, maaf saya telat tadi habis dari ruang BK.” Ucap lesu Lentera memasuki ruang kelas, tatapan kawan-kawannya masih sama, datar dan biasa saja, tak terkecuali dua kawannya yang sejak pagi bersamanya.
“Masuk kalau begitu Lentera, kita diskusikan susunan organisasi kelas agar tidak membebani satu sama lain.” Mendengar perkataan Januar, Lentera tersenyum dan memasuki ruang kelas, menduduki kursi paling belakang. Kedua kawannya berbalik badan, “nggak papa.” Jemari telunjuk kemudian memberi gestur untuk diam pada kedua kawannya dan meminta keduanya ‘tuk kembali memperhatikan Januar sang wali kelas.
Sejujurnya begitu ia duduk, ucapan Januar yang terlontar tak masuk telinga sang gadis yang memiliki pikiran melayang-layang. Jemarinya sedari tadi ia ketuk-ketuk pelan di atas buku harian, tanda sang gadis tengah dilanda kepusingan.
“…kalian setuju kalau Lentera yang jadi ketua kelas?” Sebuah pertanyaan mengejutkan terdengar dari Januar kepada indra pendengaran sang gadis yang sedari tadi terdiam, “bagaimana Lentera, setuju dan siap jadi ketua kelas?”
Sontak Lentera melongo mendengar ucapan Januar, kedua kawannya turut meyakinkan Lentera untuk menyetujuinya. “Pak, kenapa nggak Fauzi aja? Lebih baik ketua kelasnya laki-laki, ‘kan, pak?”
“Gue udah jadi bendahara. Lo aja yang jadi kelas.” Timpal Fauzi begitu Lentera menyarankan dirinya, oh, iya tidak memperhatikan bila Fauzi telah menjadi bendahara.
“Kalau Tian, pak? Tian kan jiwa leadership-nya tinggi! Sempat jadi kandidta ketos juga.” Lagi, Lentera menujuk kawannya yang lain untuk mengganti posisi dirinya agar tak jadi ketua kelas.
“Sorry, Tera, aku udah OSIS, kalau jadi ketua kelas kayaknya susah, aku bakalan banyak dispen.”
Lentera kemudian menghela napas, nahas sepertinya sang gadis harus menerima tawaran menjadi ketua kelas, “baik, pak, saya jadi ketua kelas. Wakilnya siapa, pak?”
“Wakilnya Yuventa, kalian berteman baik, ‘kan? Saya rasa menjadikan Yuventa rekan kamu bukan hal yang salah.” Ucap Januar, tentu membuat Lentera terkejut dengan kenyataan yang diberikan.
“Pak, tapi- nggak papa, pak, saya setuju.” Seluruh siswa-siswi kelas delapan satu menghela napas lega sebab sang gadis telah menyetujui keputusan sang wali kelas. Januar turut menyungging senyum begitu Lentera menyetujui keputusannya.
Lentera memejamkan mata kemudian, rasanya hari ini akan menjadi hari yang panjang.