Try new experience
with our app

INSTALL

Kuramaikan Pernikahanmu 

PART 7: MEMBUAT KENANGAN

LINGGA menoleh sesaat setelah mendengar suara handle pintu yang bergerak turun. Sorot matanya baru saja bertemu dengan sorot mata suster yang sejenak mengintip dari selasela pintu yang terbuka sedikit. 

Lingga tersenyum, lalu mengangguk pelan. Suster itu membalas dengan senyuman dan anggukan kecil pula.

“Selamat pagi, Tuan Anton,” sapa suster.

“Selamat pagi, Sus.” Lingga bergerak dari tempatnya berdiri. Sudah setengah jam ia menikmati kemunculan matahari dari balik kaca jendela.

“Bagaimana tidurnya, Tuan?” Suster itu sejenak mengamati nampan makan Lingga, lalu tersenyum.

“Nyenyak, Sus.” Lingga duduk di pinggir ranjang, sama seperti yang ia lakukan setiap suster datang untuk mengecek tensinya.

“Pagi ini perbannya sudah boleh dibuka,

Tuan.” 

“Sus.” Tangan kanan Lingga langsung memegang tangan kiri suster. “Boleh tidak jika saya minta nanti malam saja buka perbannya?”

“Loh, kenapa, Tuan? Bukankah ini yang Tuan Anton nantikan?” Suster itu keheranan.

Lingga menggeleng. “Saya belum siap melihat muka saya yang rusak dan hancur ini, Sus. Biarkan saya mempersiapkan diri dulu untuk menerima kenyataan ini, Sus.”

Suster itu mengangguk. “Baiklah, Tuan.”

Sebenarnya Lingga bukan karena takut dan belum siap melihat wajahnya yang rusak dan hancur, tapi karena ia ingin menemui Arumi seharian ini untuk membuat kenangan. Ini adalah kesempatan terakhir Lingga untuk memikat hati Arumi sebelum ia pergi dari rumah sakit.

“Sus, boleh minta tolong?”

Suster itu tersenyum, “Boleh.”

***

Di sebuah rumah tua yang jauh dari keramaian, puluhan polisi bersiaga untuk menyergap Lingga. Radit berdiri tegak di samping mobil patroli dengan senyum puas.

Radit tak melepaskan pandangannya sedikit pun dari arah rumah tua itu. Seperti sedang menonton film aksi.

Setengah jam kemudian ia melihat seorang polisi keluar dari rumah tua itu dan langsung menghampirinya. 

Kepala polisi itu menggeleng.

Kuramaikan Pernikahanmu

“Saudara Radit, kenapa Anda memberikan keterangan palsu kepada polisi? Rumah tua ini kosong.” Polisi itu pun langsung menghujani Radit dengan pertanyaan.

Radit kaget dan mukanya memperlihatkan sebuah kekecewaan. “Tidak mungkin, Pak. Lingga pasti ada di dalam. Kami sering ke sini. Hanya kami yang tahu tempat ini.”

“Berarti Anda juga suka minum minuman keras? Di dalam memang ada bekas botol minuman keras,” cecar polisi itu.

“Tidak, Pak. Saya tidak minum minuman keras. Itu punya Lingga, Pak.”

“Baik. Lalu apa pertanggungjawaban saudara dengan keterangan palsu ini? Anda bisa dituntut memberikan keterangan palsu.”

“Maaf, Pak. Sekali lagi, maaf. Harusnya Lingga ada di sini. Kami selalu datang ke sini setiap ada masalah dan kami menyelesaikannya bersama.”

“Tapi nyatanya Lingga tidak ada.”

“Maaf, Pak.” Radit menggeleng seolah tak percaya. Ia masih sangat yakin jika Lingga pasti ke rumah tua ini jika ada masalah. Rumah tua itu sudah seperti base camp bagi mereka.

“Sial, di mana kamu, Lingga?” Sebenarnya niat Radit adalah agar masalah ini cepat selesai. Ia pikir jika Lingga tertangkap atau menyerahkan diri, masalah segera clear.

***

40

Arumi sudah sejak sejam yang lalu memandangi kaktus dari atas kursi roda. Ia berada di bawah sinar matahari pagi yang menyegarkan. Sesekali ia membentangkan kedua tangannya, lalu mengembuskan napas panjang.

“Mau saya ambilkan kaktusnya?” tanya Lingga setelah menundukkan kepalanya hingga hampir bersentuhan dengan pipi Arumi.

Embusan napas Lingga yang menerjang lembut di pipinya membuat Arumi terperanjat. Sesaat kaget. Arumi menoleh. Namun, ia merasa lega setelah sadar jika barusan adalah suara Anton.

***