Contents
Kuramaikan Pernikahanmu
PART 6 KENANGAN KAKTUS
“CUKUP, Mas. Di sini saja,” ucap Arumi.
Seketika Lingga menghentikan langkahnya. Lalu mengarahkan kursi roda ke arah tanaman kaktus.
“Loh, kok?” Arumi heran.
“Maaf jika tidak sesuai,” ucap Lingga.
“Eh, jangan. Maksud saya, gak apa-apa, Mas. Ini spot yang bagus.” Arumi menoleh ke arah Lingga, lalu tersenyum.
“Sedari tadi saya perhatikan, anda sedang menikmati keindahan kaktus itu,” ucap Lingga dengan yakin.
“Iya, Mas. Aku ingin seperti kaktus yang kuat bertahan walau panas terik menghantam.”
“Boleh saya ambilkan satu pot biar anda bisa menyentuhnya?”
“Boleh, Mas. Maaf merepotkan lagi.” Lingga melangkah ke arah puluhan tanaman kaktus.
Aaaa!
Tiba-tiba saja Arumi berteriak. Memaksa Lingga harus segera kembali ke sisi Arumi.
“Ada apa?” tanya Lingga segera.
Arumi yang saat itu sedang menutup kedua telinganya hanya menggeleng. Bahkan sampai berkali-kali ia menggeleng.
“Ada apa?” tanya Lingga kedua kalinya sambil menyentuh kedua pundak Arumi.
Perlahan-lahan Arumi mulai melepaskan tangannya menjauh dari telinganya. Kemudian mengatur napas.
“Maaf, Mas. Postur tubuh anda mirip seperti Lingga. Orang yang menembak suami saya,” jawab Arumi sambil perlahan menghembuskan napas.
Lingga kaget, namun ia mencoba tenang. Sadar bukan dia yang dimaksud Arumi. Arumi masih belum mengenalinya.
Lingga mengangguk tanda mengerti. “Maaf, mengingatkan anda dengan masa lalu yang sepertinya kelam.”
“Tidak apa-apa, Mas. Saya yang salah, tak mampu membuang jauh rasa benci ini,” ucap Arumi yang lagi-lagi diiringi dengan helaan napas.
“Baiklah, saya ambilkan kaktus itu.” Lingga berjalan menuju tempat kaktus. Ia memilih satu yang terbaik.
“Ini, semoga sesuai,” ucap Lingga sambil memberikan satu pot kaktus.
“Terima kasih, Mas. Oh iya, panggil saja Arumi, Mas. Biar lebih akrab,” ucap Arumi, lalu tersenyum.
Arumi memandangi kaktus itu. Lalu menaruhnya di pangkuannya. Ia menengadah ke atas. Memejamkan matanya. Lalu membentangkan kedua tangannya. Menghirup udara segar pagi, lalu menghembuskan napas panjang.
Berulang-ulang Arumi melakukan hal yang sama. Ia sedang mencoba supaya rileks.
Sementara itu tanpa sepengetahuan Arumi, Lingga sedari tadi mengamati dan menikmati keindahan paras Arumi. Mulai dari ujung rambut hingga leher Arumi yang putih. Begitu takjub Lingga dengan kecantikan Arumi hingga tanpa sadar bibir Lingga mulai mendekat di leher Arumi.
Arumi membuka matanya. Tersadar oleh hembusan napas Lingga yang mendarat di lehernya. Sontak saja Lingga kaget, lalu dengan cepat menjauh.
Arumi tersenyum. “Maaf, Mas Anton. Jika berkenan, saya mau tanya?”
“Silakan,” sahut Lingga.
“Apakah mas korban luka bakar? Kok sampai diperban semua dibagian kepala?”
Lingga tersenyum lalu menggeleng. “Bukan. Kata suster, saya korban tenggelam di sungai. Mungkin karena benturan parah sehingga diperban.”
“Tenggelam di sungai?” Arumi terperanjat. “Lingga
juga ....”
“Iya, seingat saya, ada orang yang mendorong saya dari belakang sehingga jatuh ke sungai.” Lingga berbohong.
“Oh. Mas Anton orang yang baik. Semoga wajahnya tidak rusak. Semoga lekas sembuh ya, Mas. Sehingga saya bisa melihat wajah Mas.”
“Amin,” sahut Lingga.
“Selamat pagi.” Dua polisi mendekat dan menyapa mereka berdua.
“Selamat pagi, Pak.”
Kedua polisi itu kemudian menyalami mereka sambil tersenyum ramah.
“Saudari Arumi, kami ingin bertanya kepada Anda sebagai korban dan saksi dalam kasus penembakan yang dilakukan oleh tersangka Lingga.”
“Silakan, Pak,” jawab Arumi tanpa ragu.
“Apakah anda yakin jika yang datang ke kamar Anda tengah malam itu adalah tersangka Lingga?”
“Benar, Pak. Saya yakin,” jawab Arumi dengan tegas.
“Baik. Informasi anda sangat membantu. Di tempat jatuhnya tersangka Lingga, kami menemukan sepucuk pistol yang digunakan untuk menembak suami Anda dan kemudian untuk menembak Anda.”
“Bagaimana bapak bisa seyakin itu? Maaf,” tanya Arumi.
“Peluru di dalam pistol itu ada delapan yang harusnya ada sepuluh dan peluru yang menancap di kepala Arya dan di punggung Anda sama dengan peluru di dalam pistol yang kami temukan.”
Arumi mengangguk.
“Dengan bukti-bukti tersebut dan kesaksian Anda, sudah cukup dan kuat untuk menangkap tersangka Lingga. Namun sayang sampai saat ini tersangka Lingga belum kami temukan. Kami akan terus berusaha. Kami permisi dulu.”
“Terima kasih, Pak. Semoga lekas diketemukan,” sahut Arumi sambil mengangguk.
Lingga merasa lega karena kedua polisi tadi tidak mencurigainya seperti Arumi tadi. Untung saja mereka tidak begitu mengenal Lingga dengan postur tubuh yang khas tinggi besar.
“Arumi,” seseorang mendekat dan menyapa Arumi.
Lingga menoleh. Ternyata Radit yang datang dan langsung menggeser posisi berdirinya Lingga. Kini Lingga seperti orang asing di antara mereka.
Radit membungkuk dan menepuk-nepuk pundak Arumi. Lingga merasa jengkel, tetapi ia tahan agar tidak tambah runyam.
“Tenanglah Arumi, Lingga pasti diketemukan. Aku yakin itu,” ucap Radit.
“Terima kasih, Dit. Kamu memang sahabat terbaikku,” sahut Arumi.
“Aku juga tak menyangka jika Lingga setega itu. Kamu yang sabar ya. Aku sudah berikan informasi kepada polisi mengenai tempat-tempat yang ada kemungkinan akan didatangi oleh Lingga.”
***