Contents
Kuramaikan Pernikahanmu
PART 5 BERTEMU DI RUMAH SAKIT
LINGGA terbangun. Matanya berkali-kali ia fokuskan untuk melihat atap. Merasa aneh, otaknya mulai perlahan-lahan mencerna mencari-cari jawaban. Setelah mengedarkan pandangannya, Lingga menyadari bahwa ia tidak sedang tidur di rumahnya.
Aroma khas rumah sakit begitu menusuk di hidungnya. Lingga mengingat-ingat sesuatu yang membuatnya bisa ada di rumah sakit. Beberapa saat kemudian ia teringat saat-saat tubuhnya menghantam jendela yang kemudian jatuh bebas ke sungai.
“Arumi!” teriaknya.
Teriakan keras Lingga itu membuat seorang suster di kamar sebelah berjalan cepat dan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Suster itu tersenyum.
“Alhamdulillah, sudah sadar.” Raut wajah suster itu memperlihatkan kebahagiaan.
“Kenapa....” Lingga berhenti berucap setelah menyadari suaranya sangat parau dan serak. Jelas ini bukan suara aslinya.
Suster itu mulai mengecek keadaan Lingga.
“Kenapa saya bisa di sini, Sus?”
Suster itu tersenyum, “seseorang yang menemukan tubuh tuan mengapung di sungai, mengantarkan ke sini.
Tuan sudah tiga hari di sini.”
“Bagaimana kondisi saya saat itu, Sus?”
“Tuan terluka parah saat itu dan banyak lebam, mungkin karena benturan.”
Mendengar jawaban dari suster itu, Lingga kini mengerti mengapa hampir seluruh kepalanya diperban. Ia yakin jika dengan kondisi kepala berbalut perban seperti sekarang ini, pasti wajahnya jadi rusak. Dalam hatinya ia berharap semoga luka-lukanya tidak sampai merubah ketampanannya.
Terdengar keriuhan di ruang sebelah. Suara langkah kaki beberapa orang terdengar jelas. Terdengar jelas saat semuanya berucap syukur.
“Di ruang sebelah sedang ada apa, Sus?” tanya Lingga penasaran.
“Oh, paling pasien luka tembak itu sudah sadar,” jawab suster itu yang lalu tersenyum. “Alhamdulillah, ya.”
Lingga kaget. “Luka tembak, Sus?”
“Iya, luka tembak bagian punggung. Kenapa?”
“Ah, tidak.” Lingga menggeleng, lalu sejenak berfikir.
Suster itu merapikan alat-alat medis. Membenahi kaki Lingga yang bergeser ketika kaget tadi.
“Jangan banyak bergerak dulu, Tuan,” saran suster.
Lingga mengangguk. “Tersangka kasus kriminal ya,
Sus?”
“Bukan. Kasihan sekali dia.”
“Kasihan kenapa, Sus?”
“Di hari pernikahannya, suaminya yang baru saja mengucapkan ijab kabul, ditembak oleh mantan pacarnya.” “Apa?” Lingga terperanjat.
“Loh, kok Tuan kaget?”
Lingga jadi salah tingkah. “Ah, enggak kok, Sus.”
“Berkali-kali ia mengigau menyebut nama Lingga dengan keras seperti sedang marah. Keluarganya membenarkan itu, mantan pacar yang menembak suami Arumi bernama Lingga.”
Lingga mengangguk dan menyimak.
“Semua anggota keluarganya dan keluarga Arya sangat membenci Lingga. Jangankan mereka, saya saja juga kesal,” lanjut suster yang kemudian menghembuskan napas secara kasar.
“Sadis ya, Sus!”
“Bukan cuma sadis. Kejam dan brutal. Oh, iya. Siapa nama, Tuan? Kami tidak menemukan satupun tanda pengenal.”
“Anton, Sus!”
“Tuan Anton.” Suster itu mengangguk lalu mengganti tulisan di kolom nama pada papan yang tadinya bertuliskan nama Tuan X.
***
Sudah tiga hari berlalu. Lingga sudah mulai enak bergerak. Tangan dan kakinya sudah bisa difungsikan. Hanya saja pergerakannya masih lambat.
Dengan berjalan sangat pelan seperti orang pincang dan tangan kirinya menempel di dinding, Lingga melangkah menuju ke arah taman. Sesekali ia memegang celananya sekedar membantu mengangkat kakinya saat melangkah. Terkadang ia memukul-mukul kakinya agar tidak terasa kram.
Sesampainya di taman, Lingga melihat seorang wanita berambut panjang yang sedang duduk di kursi roda. Ia sedang menatap mentari pagi. Kedua tangannya dibentangkan. Terlihat berkali-kali menghirup udara segar secara perlahanlahan.
“Arumi,” batin Lingga.
Lingga kemudian mendekati Arumi. Memegang handle kursi roda yang seketika mengagetkan Arumi. Refleks Arumi langsung membuka mata dan menoleh.
“Maaf jika mengagetkan Anda,” ucap Lingga.
Arumi tersenyum dan menggeleng, “Siapa, Anda?”
“Saya Anton.” Lingga sengaja berbohong. “Bolehkah saya mendorong ke sana?” lanjutnya sambil menunjuk tempat tersinari matahari.
Arumi mengangguk. “Maaf merepotkan. Terima kasih.”
***