Contents
Kuramaikan Pernikahanmu
PART 4: ARUMI TERTEMBAK
LINGGA berdiri, lalu memandang sejenak ke handphone yang ia pegang. Ia teringat sesuatu, kemudian ia memukul-mukul kepalanya.
“Kenapa aku bisa melewatkan kesempatan tadi. Harusnya aku bisa lebih aman jika saja kuberikan handphone ini,” sesal Lingga.
Si penelepon misterius itu memang cerdas. Ia bisa memanfaatkan kekurangan dan kelemahan Lingga. Tak heran jika ia tahu segalanya, karena memang ia sudah memperhatikan perilaku Lingga selama dua bulan.
Lingga berniat akan segera ke rumah Arumi lagi. Ia akan memberikan handphone di tangannya kepada polisi yang sedang menjaga keluarga Arumi.
Setelah memantapkan hati, lalu Lingga melangkah. Sementara itu ia tak sadar jika di belakangnya ada sosok tinggi besar perlahan sedang mengikutinya.
Dengan melangkah sangat pelan dan hampir tak terdengar sedikit pun suara langkah kakinya, si penelepon misterius itu telah bersiap-siap memukul tengkuk Lingga dengan pemukul Baseball.
Bug!
“Agh!” Lingga teriak, kaget.
Sebuah pukulan keras mendarat di tengkuk Lingga. Wajahnya langsung refleks mendongak ke atas. Matanya sesaat melotot. Namun, ia tak sempat menoleh. Pandangan matanya perlahan-lahan mulai memudar. Beberapa detik kemudian Lingga ambruk. Tubuh yang tadinya gagah itu kini seperti kapas yang terjatuh. Lunglai, terbujur di lantai.
Orang misterius itu berjongkok di dekat muka Lingga. Sebentar melihat bagian kiri dan kanan wajah Lingga, kemudian memastikan bahwa Lingga tergeletak tak berdaya.
“Lingga Lingga. Kupikir engkau pintar, ternyata bodoh. Mudah saja kukelabui.” Tangan orang misterius itu menepuk-nepuk pipi kiri Lingga.
Sebenarnya Lingga belum pingsan sepenuhnya. Ia masih setengah sadar. Jadi ia bisa mendengar kata-kata dari orang misterius itu walaupun samar-samar.
Cekrek! Cekrek!
Orang misterius itu menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya kuat-kuat, kemudian dengan kasar menghempaskan asapnya ke muka Lingga.
“Ternyata satu surat undangan yang kucuri dari Arumi itu sangat membantu. Tinggal kutulis namamu Lingga dan kau tertipu mentah-mentah. Haha, Bodoh.”
Orang misterius itu mengambil handphone Lingga, lalu menghancurkannya. Menyiramnya dengan minuman keras. Setelah dipastikan sudah benar-benar rusak, lalu orang misterius itu meraupnya yang kemudian membuangnya ke luar. Beberapa bagian handphone yang pecah itu berhamburan di semak-semak.
Setelah itu, orang misterius itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. Diletakkannya kertas itu di dekat muka Lingga. Lalu ia pergi.
*** Agrhh! Agrhh!
Tangan Lingga bergerak mengibas-ibas ingin menghilangkan sesuatu yang merayap di wajahnya. Kemudian ia tersadar. Kecoa yang berlarian di wajahnya membangunkannya.
Perlahan-lahan Lingga mencoba membuka matanya. Lengket dan berat, seperti ada yang menaruh lem. Ia paksakan dan akhirnya berhasil. Matanya melihat tempat yang sama. Lalu ia coba bangun.
Auh!
Tangannya refleks menyentuh bagian tengkuk. Sakit sekali. Mungkin lebam. Ia teringat pukulan keras itu.
Lingga menggeser sedikit demi sedikit tubuhnya dengan cara ngesot. Ia coba mendekat ke dinding. Lalu bersandar dan meluruskan kedua kakinya. Mengatur napasnya.
Beberapa saat kemudian ia teringat kata-kata yang keluar dari mulut orang misterius itu, tentang undangan.
“Jadi bukan Arumi yang mengundangku. Ah, sial. Aku dimanfaatkan. Aku dikerjain. Diperalat. Ada apa ini? Jadi semua ini, dalangnya adalah si penelepon itu.”
Lingga melihat secarik kertas di depannya, lalu ia meraihnya. Setelah membaca tulisannya, ia terperanjat.
Malam ini aku akan membunuh Arumi. Kalau bisa, selamatkanlah kekasihmu itu, Lingga. Kau sebut dirimu jagoan? Lemah.
Setelah meremas kertas itu, ia membuangnya. Lalu Lingga bergegas menuju rumah Arumi.
***
Sudah sejam Lingga mengamati orang-orang di sekitar rumah Arumi. Ada empat polisi yang berjaga-jaga. Ia sempat mendengar jika jadwal pergantian jam jaga adalah jam dua belas malam.
Lingga mengatur strategi untuk menelusup masuk ke dalam rumah Arumi. “Kesempatanku adalah di saat keempat polisi itu bertukar informasi,” batin Lingga.
Di sela-sela memikirkan strategi untuk menelusup,
ia teringat jalan rahasia yang pernah Arumi beritahu. Di belakang taman ada satu pintu kecil seukuran semeter persegi yang dahulu sering dipakainya untuk bermain petak umpet. Lingga tersenyum, ia akan lebih mudah sampai jika melewati pintu itu. Tinggal bagaimana mengalihkan perhatian keempat polisi yang sedang berjaga.
***
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, Lingga sangat fokus mengamati. Benar saja, sebuah mobil polisi datang. Empat polisi turun dan mereka bertukar informasi. Lingga bergerak dengan sangat hati-hati. Merayap dan mengendap-endap. Berpindah-pindah bersembunyi dari satu pohon ke pohon yang lain.
Sesuai rencana, ia telah sampai di kamar Arumi. Tak ada penjaga di dalam rumah. Memudahkannya masuk dengan leluasa. Setelah mereka berpacaran setahun lebih, menjadikan Lingga hapal setiap jengkal ruang di dalam rumah Arumi.
Arumi memiliki kebiasaan tak pernah mengunci kamar. Kini Lingga telah berada di dalam kamar Arumi. Ia bergerak cepat, langsung membekap mulut Arumi. Sontak saja membuat Arumi langsung terbangun.
“Diam. atau pistol ini yang bicara!” ancam Lingga lirih.
Arumi mengangguk.
“Sekarang, bangun dan duduk di pinggir ranjang ini.
Aku akan jelaskan semuanya,” pinta Lingga.
Arumi mengangguk dan bergeser ke pinggir ranjang.
Sementara itu, sebuah pistol perlahan-lahan menunjukkan moncongnya dari sela-sela tirai. Mengarah ke samping kepala Arumi. Lingga tak menyadari hal itu.
Dor!
Suara tembakan itu memecahkan suasana hening tengah malam. Semua orang terbangun dan berlari mendekat. Polisi pun dengan sigap berlari ke arah suara tembakan. Tak berselang lama, semua telah berkumpul.
“Lingga!” teriak Pak Rahmat, Ayah Arumi.
Aaaa!
Ibu Rani berteriak histeris melihat anaknya yang telah terbujur di lantai. Ia hampir pingsan setelah melihat darah keluar dari punggung Arumi. Untung saja Pak Rahmat cepat menangkap tubuh istrinya itu.
Tembakan itu sengaja ditembakkan di bagian punggung Arumi. Mengincar jantung.
Dalam kerumunan orang, Lingga terlihat bingung dan panik. Lalu secepat kilat ia berlari ke arah jendela.
Prang!
Kaca jendela itu pecah bersama terhempasnya tubuh Lingga. Di balik jendela adalah sebuah sungai besar, Lingga terjun bebas ke dalam sungai.
***