Contents
Kuramaikan Pernikahanmu
PART 3: PESAN DARI ORANG MISTERIUS
BUG! Bug! Bug!
Berkali-kali Lingga memukul lantai di sampingnya. Ia tak merasakan kesakitan walaupun ada darah yang keluar dari ruas-ruas tangan kanannya. Begitu kesal telah ada yang membunuh Arya sebelum ia mengeksekusinya.
“Sial. Sial. Sial. Siapa orang yang berani-beraninya mengambil jatahku. Harusnya aku yang membunuh si bangsat Arya itu,” gerutu Lingga.
Ia mengingat-ingat kembali kejadian setelah bunyi tembakan. Berharap ada petunjuk. Namun, sayang, ia tak ingat siapa saja yang di sekitarnya. Saat itu ia fokus untuk menembak Arya. Lingga juga sempat menoleh ke semua arah, tetapi yang ia lihat hanyalah orang-orang yang berlarian dan sebagian telah menunduk.
Lingga mengangkat tangan kirinya. Jam yang melingkar di tangannya itu menunjukkan pukul setengah lima sore, lalu ia teringat dengan tiket bus di dalam sakunya. Ia mengambil tiket itu, lalu ia melihat jam keberangkatan bus. Di situ tertulis jam keberangkatan bus adalah jam lima sore. Lingga buru-buru memacu motornya menuju terminal.
Dari awal Lingga memang sudah merencanakannya. Setelah membunuh keluarga Arumi dan Arya, ia akan kabur ke kota di ujung Jawa. Ia akan menumpang di tempat saudaranya.
*** Ciiittt!
Lingga mengerem mendadak. Tubuhnya baru saja meliuk-liuk menyeimbangkan agar motornya tak ambruk. Ia kaget.
Tak menyangka jika bakal akan ada polisi yang berpatroli di terminal. Tapi tak berapa lama, Lingga menyadari sesuatu. Keenam polisi itu bukan sekedar berpatroli, tetapi mereka sedang mencarinya. Ditambah lagi semua polisi itu membawa sebuah foto, kemungkinan fotonya.
Refleks, Lingga langsung putar balik dan tancap gas. Ia berbelok di gang yang sepi.
“Sial. Bagaimana bisa para polisi itu mencariku di terminal? Aneh, ini sungguh aneh,” batin Lingga.
Kini rencana kabur ke luar kota di ujung Jawa gagal sudah. Lingga kebingungan. Tak ada tempat lagi. Tak mungkin jika pulang ke rumah, para polisi pasti juga akan berjaga di sana.
“Ah, tunggu.” Tiba-tiba Lingga menemukan ide.
Lingga merasa bahwa ia belum terlambat. Ia masih bisa menyerahkan diri. “Nanti tinggal bilang bahwa aku hanya berpura-pura, aku ingin menakut-nakuti Arumi,” batin Lingga.
Lingga menyalakan mesin motornya, lalu menyalakan lampunya. Hari sudah semakin gelap. Ia kini mengarahkan motornya ke arah rumah Arumi.
***
Lingga berhenti di tempat penitipan umum dekat lapangan sepak bola. Seperti rencana awal. Ia menitipkan di tempat yang sama untuk berjaga-jaga. Seandainya saja keluarga Arumi masih belum terima dan akan menghakiminya. Ia akan melarikan diri melalui jalur yang sama.
Drrrt! Drrrt!
Baru saja sampai di sebelah toko, Lingga dikejutkan oleh handphone yang bergetar di sakunya. Ia berhenti, lalu mengambil handphone-nya.
Benar saja, sebuah pesan masuk, dari nomor tak dikenal.
Drrrt! Drrrt!
Ia belum sempat membuka pesan itu, lalu sudah datang satu pesan lagi. Hal itu membuat Lingga menjadi penasaran.
Kini mau tak mau, Lingga harus membuka kedua pesan itu, demi memuaskan rasa penasarannya.
“Hai.” Pesan pertama yang diterimanya.
“Bodoh.” Pesan kedua menyusul.
Dua pesan itu berhasil membuat Lingga marah. Kini bukan hanya handphone-nya yang bergetar, tetapi tangan kanan Lingga juga gemetaran.
Drrrt! Drrrt! Drrrt! Drrrt!
Handphone itu bergetar lagi, tapi kali ini lebih lama. Ya, panggilan telepon masuk dari nomor tak dikenal yang mengirim pesan barusan. Lingga masih ragu untuk menerimanya. Sesaat kemudian panggilan itu diakhiri.
Drrrt! Drrrt!
Drrrt! Drrrt!
Dua pesan masuk lagi, dari nomor yang sama. Kali ini Lingga langsung membukanya.
“Angkat.” Pesan pertama dibaca Lingga
“Bodoh.” Selanjutnya pesan kedua membuat Lingga semakin emosi.
Drrrt!
Panggilan masuk. Lingga langsung menerimanya.
“Siapa kamu?” tanya Lingga seketika.
“Ha, ha, ha,” orang itu tertawa dari kejauhan.
Suaranya serak dan parau. Lingga tak mengenali suara
itu. Sepertinya mulut si penelepon itu disumpal sesuatu seperti kain sehingga membuat suaranya tak begitu jelas.
“Siapa?” bentak Lingga.
“Wow, wow, wow, sabar. Sabar, Bro.” Sang penelpon misterius itu coba menahan emosi Lingga.
“Siapa kamu? Jawab! Atau aku tutup teleponnya.” Lingga sangat marah.
“Aku? Ha,ha.”
“Jawab!” Lingga semakin kesal.
“Aku yang menembak Arya.” Jawaban yang sungguh mengagetkan.
Lingga terdiam.
“Kamu kaget, kan? Lingga.”
“Jangan bohong kamu,” bentak Lingga.
“Kamu kaget, ya. Di terminal ada polisi. Aku yang memberi tahu mereka.”
“Sialan kamu.”
“Aku sialan? Kamu yang bodoh, Lingga.”
“Kalau berani jangan di telepon. Ayo, ketemu di darat,” tantang Lingga.
“Haha. Bodoh.”
“Brengsek kamu.”
“Kamu yang brengsek, Lingga. Eh, tersangka. Eh, bukan bukan, tertuduh. Eh, bukan, tepatnya buronan.”
“Aku bukan tersangka. Aku akan menyerahkan diri.”
“Dasar bodoh. Semua orang yakin bahwa kamu yang menembak Arya.”
“Aku belum menembak. Lagian tak ada bukti jika aku yang menembak Arya.”
“Bodoh. Lihat baik-baik. Hitung lagi peluru yang ada di pistolmu.”
“Pelurunya masih lengkap.”
“Jumlahnya berapa?”
“Sembilan.”
“Bodoh kamu, Lingga. Jumlah pelurunya harusnya sepuluh.”
“Tidak mungkin.”
“Tahu apa kamu soal senjata, hah?” Lingga terdiam.
“Pelurunya harusnya sepuluh. Tinggal sembilan karena yang satu sudah aku ambil sebelum kamu beli. Dan aku juga pakai pistol yang sama dengan yang kamu bawa saat ini.” Drrrt!
Penelepon misterius itu mengirim pesan gambar. Setelah dibuka, muncul gambar pistol yang sama dengan yang dibawa Lingga.
“Oh iya, Lingga. Aku ada sedikit kejutan buat kamu.
Tunggu semenit lagi ya.”
“Apa maksudnya?” tanya Lingga.
Telepon langsung dimatikan oleh orang misterius itu. Kemudian ada pesan masuk lagi.
Drrrt! Drrrt!
Lingga langsung membukanya.
“Selamat jadi buronan.” Pesan pertama telah dibacanya.
“Selamat berlari.” Disusul pesan kedua.
***
Drrrt! Drrrt! Drrrt! Drrrt!
Ada panggilan masuk ke handphone Arumi, dari nomor yang sama dengan yang menelepon Lingga.
Arumi menerima panggilan itu.
“Arumi.”
“Iya. Maaf, ini siapa?”
“Jangan banyak tanya. Sekarang panggil semua polisi. Lingga, tersangka penembak Arya, saat ini ada di sebelah toko Pak Dul. Cepat tangkap, sebelum kabur lagi.”
Arumi terpana mendengar perintah tadi. Namun, seperti terhipnotis, Arumi mengikuti perintah dari si penelepon itu.
“Pak Polisi. Lingga ada di samping toko itu,” Arumi menunjuk ke arah toko Pak Dul.
Semua polisi langsung bergerak ke toko. Benar saja, di samping toko ada Lingga yang buru-buru kabur.
*** Hosh! Hosh! Hosh!
Lingga berhenti dan bersembunyi di rumah tua lagi. Ia langsung bersandar di dinding.
Drrrt! Drrrt!
Pesan masuk lagi. Lingga membukanya.
“Beruntung kamu, Bodoh.” Pesan pertama.
“Bisa lolos.” Pesan kedua.
“Hari ini main-mainnya kita sudahi dulu.”
“Dilanjut besok, ya.”
“Buronan.” Pesan beruntun dibaca oleh Lingga.
***