Contents
Kuramaikan Pernikahanmu
PART 2: PENEMBAKAN DI ACARA PERNIKAHAN ARUMI
ROMBONGAN pengantin pria sudah masuk semua dan Lingga duduk di kursi deretan belakang. Para pembawa barang seserahan sibuk mengatur posisi duduk mereka karena setelah acara pembukaan, mereka akan menaruh barang seserahan secara urut di meja yang telah disediakan. Lingga sibuk mengatur rencana jalur pelariannya nanti. Ia tak mau jika harus melompati kursi tamu berkali-kali.
“Fix, setelah kutembak kepala si bangsat itu, aku akan berlari keluar menerobos kerumunan sambil menembaki seluruh keluarga Arumi dan keluarga si bangsat,” batin Lingga.
Seorang bapak paruh baya melangkah maju mendekati mikrofon yang berdiri di samping kursi pengantin. Membenahi bagian bawah baju batiknya, lalu jari telunjuknya memukul mikrofon sebanyak tiga kali. Dug! Dug! Dug!
“Assalam’ualaikum warahmatullahi wa barakatuh.” Pembawa acara itu mengawali sapaannya dengan salam.
“Wa‘alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh,” jawab tamu undangan secara bersamaan.
Lingga tak menggubris itu. Ia sibuk memantau sekitar. Menghitung jumlah pintu keluar.
Saking detailnya ia melihat, sampai-sampai ia tahu siapa saja temannya dan teman Arumi yang datang. Orang yang tidak ia kenal berarti dari keluarga Arya, calon suami Arumi.
“Sudah kuduga. Salsa, Rindi, Raisa, dan Ani. Teman baik Arumi pasti datang. Tama, Raka, Jaka, dan Radit. Kalian dapat undangan juga, baguslah. Aku yakin ini akan semakin ramai,” batin Lingga.
Deg!
Lingga kaget melihat beberapa orang tiba-tiba berdiri. Terlalu konsentrasi mengamati orang-orang membuatnya tak fokus dengan apa yang disampaikan oleh pembawa acara.
“Ah, ternyata baru acara seserahan. Belum kesempatan untukku,” batin Lingga.
Lingga duduk kembali di kursinya. Meneguk minumannya, berharap bisa lebih tenang. Kini ia adalah satu-satunya seorang pembohong besar. Senyuman yang ia buat-buat agar orang lain tak curiga bisa saja jadi boomerang jika ia tak berhati-hati.
“Tenang. Tenang Lingga. Santai saja. Slow. Tunggulah kesempatan itu dengan sabar. Kesempatanmu adalah saat acara lempar bunga oleh pengantin perempuan. Saat itu semua orang akan berkerumun dan kedua pangantin akan membelakangi.” Lingga berbicara dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.
Lingga mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Senyum sinisnya terlihat kaku. Antara mau dilepaskan dan tertahan. Ia sangat membenci melihat Arumi dan Arya berjalan menuju tempat ijab qobul.
Dua orang berjas hitam sudah sudah lebih dulu duduk di hadapan mereka. Keduanya memakai peci. Petugas Kantor Urusan Agama. Mereka mulai mempersiapkan berkasberkas. Salah satunya mulai mengecek setiap lembarnya.
“Nikmatilah saat-saat bahagia kalian. Arumi. Arya. Sebelum bolong kepala kalian.” Sorot mata Lingga setajam harimau yang sedang mengincar mangsanya. Tak sabar ingin segera mengambil pistol dari balik bajunya.
Lingga memalingkan wajahnya dan menikmati suasana sekitar selain area tempat ijab kabul. Ia ingin meredakan luapan emosinya. Harus lebih sabar walaupun tangannya semakin gatal, ingin segera menarik pelatuk.
Kakinya menginjak karpet merah dengan penuh tekanan. Lingga kemudian berpuisi dalam hati untuk meluapkan emosi.
Aku melangkah di atas karpet merah pernikahan
Bukan untukku, tapi kulakukan untuk meramaikan
Teruntuk engkau yang telah lama bersamaku dan berduaan
Namun, takdir berkata bahwa engkau harus bersama pilihan
Jangan dan jangan kauperlihatkan
Sedikit atau banyaknya kemesraan
Aku tak sanggup melihat kenyataan
Hati ini sudah hancur saat kauhadirkan undangan Sah!
Suara keras dan serentak terucap dari mulut semua orang, kecuali Lingga.
Lingga terperanjat. Ia melihat ke arah tempat ijab kabul. Suara serentak tadi membuatnya geram.
Kembali Lingga mendata urutan orang yang akan ia tembak. Yang pertama adalah Arya, kemudian keluarga Arumi dan keluarga Arya. Arumi adalah target terakhir. Tujuannya adalah supaya Arumi bisa lebih merasakan sakitnya.
***
Saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Acara pelemparan bunga oleh pengantin perempuan.
Sesuai perkiraan, semua orang berkerumun di satu tempat dan Lingga ikut di dalamnya. Ia berdiri di tengahtengah. Tak akan ada yang melihat ketika ia mengambil pistol dari balik bajunya. Semua orang terfokus pada kedua pengantin.
“Kalian semua siap?” tanya Arumi sedikit berteriak.
Siap!
Serentak dan keras. Suara itu bergaung hingga terdengar sampai keluar.
Satu!
Lingga mengarahkan pistolnya ke kepala Arya.
Dua!
Matanya fokus pada satu titik.
Tiga!
Dor!
Aaaa!
Semua orang berteriak. Ada yang menunduk dan ada pula yang langsung berlari. Kerumunan itu menjadi kalang kabut, seperti semut yang terinjak rumahnya. Sementara telinga Lingga terus berdengung. Matanya perih terkena percikan api. Hidungnya dipenuhi bau mesiu.
“Mas Arya!” teriakan Arumi membuat sorot mata semua orang tertuju kepadanya.
Arya tergeletak di samping Arumi. Kepalanya baru
saja ditaruh di pangkuan Arumi. Darah segar mengalir dari lobang bekas jalur peluru. Tangan Arumi yang menyangga kini penuh warna merah darah. Sudah pasti membuat Arya tak bernyawa.
“Mas Lingga! Jahat kamu!” teriak Arumi.
Lingga kebingungan. Ia terpana dan tak bisa berkata apa-apa. Ia ikut panik dan gugup.
“Lingga! Gila kamu!” teriak Salsa.
“Lingga! Jatuhkan pistol itu. Cepat!” teriak Raka.
“Lingga. Jangan bertindak bodoh kamu!” teriak Tama.
Tangan Lingga masih mengarahkan pistol ke arah semua orang. Ia masih panik.
“Sial. Siapa tadi yang menembak,” batin Lingga.
Diraihnya pisau belati dari balik bajunya. Kini ada dua senjata di kedua tangan Lingga. Pistol di tangan kanan dan pisau belati di tangan kiri.
Lingga membalikkan badan, lalu berlari keluar.
Ia berlari sambil mengayunkan pisau belati ke segala arah. Tak seorang pun yang berhasil menangkapnya. Semua orang tak ada persiapan. Semua tegang dan hanya mampu melihat punggung Lingga yang lama-kelamaan hilang.
*** Hosh! Hosh! Hosh!
Napas Lingga tersengal-sengal. Ia duduk bersandar
di dinding sebuah rumah tua. Meluruskan kedua kakinya. Memejamkan matanya sejenak.
Diangkatnya pistol dengan kedua tangannya. Lingga memastikan jumlah pelurunya, belum berkurang. Kaget. Lingga yakin bahwa benar ia belum menembak. Lalu siapa?
“Sial. Aku dijebak. Kini aku tertuduh,” batin Lingga.
Tangannya mengepal, lalu memukul tanah dengan keras. Kemudian memukul-mukul kepalanya. Lingga menganggap bahwa ia adalah orang terbodoh di dunia.
***