Contents
Menyusul Subang Larang
Menyusul Subang Larang 5. Kemarahan Walang Sungsang dan Rara Santang kepada Siliwangi
Menyusul Subang Larang 5. Kemarahan Walang Sungsang dan Rara Santang kepada Siliwangi
Siliwangi terbelalak mendengarnya. “Di mana Ananda bertemu dengan Ratu Subang Larang?”
“Di sebuah desa. Tidak terlalu jauh dari sini, tapi perlu waktu untuk ke sana.”
“Ananda Surawisesa, aku lihat Ananda sudah baikan. Ayo, tunjukkan dan antar aku ke sana sekarang juga!”
“Baik, Ayahanda Prabu.” Surawisesa enggan, tetapi ia tidak mungkin menolak. Pergilah mereka ke desa yang masih dalam wilayah Pajajaran menggunakan dua ekor kuda.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang mendatangi rumah-rumah sederhana yang ada di sekitar rumah perempuan yang menunjukkan baju dan perhiasan Subang Larang. Tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaan Subang Larang. Mereka juga sudah menyisir jalan-jalan di kampung itu, tetapi mereka tidak juga melihat ibunda mereka.
“Apakah mungkin Ibunda sudah pergi dari kampung ini?” tanya Rara Santang yang merasa sudah menyisir semua tempat di desa itu.
“Mungkin saja. Ibunda pergi sejak pagi. Di sini sejak siang tadi. Ini sudah malam. Paling jauh mungkin di kampung setelah kampung ini,” perkiraan Walang Sungsang.
“Ayo kita lekas pergi ke desa setelah desa ini!”
“Jangan dulu kita pergi dari sini! Masih ada tempat yang belum kita sisir di desa ini,” kata Kian Santang yang merasakan ibundanya masih ada di desa itu.
“Di mana, Rayi?” tanya Rara Santang.
“Rumah-rumah besar. Sampai sekarang kita hanya mendatangi warga sederhana. Barangkali warga yang tinggal di rumah-rumah besar yang ada di sekitar sini ada yang mengetahui keberadaan Ibunda Ratu.”
“Rayi, benar,” ujar Walang Sungsang dengan berbinar.
“Ayo, kita lekas tanya-tanya di rumah-rumah besar!” Rara Santang sungguh tidak bisa bersabar untuk menemukan Ratu Subang Larang.
Namun, hari yang semakin larut membuat rumah-rumah itu tampak sudah tertutup rapat. Mereka sungkan untuk mengetuk. Mereka hanya bisa saling menatap sama-sama merasakan waktu untuk bertanya-tanya telah habis. Rara Santang kemudian menunduk sedih.
“Jangan sedih, Yunda. Tenanglah, aku bisa merasakan Ibunda masih di desa ini. Masih ada esok untuk kita mencari Ibunda.”
“Meskipun masih di sini, bagaimana keadaan Ibunda, Rayi? Sudah makan apa belum? Malam begini berteduh di mana kalau tidak ada uang?” Rara Santang tidak bisa tidak cemas karena kenyataannya ibundanya tidak membawa bekal.
“Nah, itu! Tidak membawa bekal tidak bisa menginap di penginapan! Itu artinya, mungkin Ibunda ada di luaran!” ujar Walang Sungsang saat menyadari kata-kata Rara Santang.
“Berarti ayo kita sisir lagi jalanan seluruh kampung ini bukan hanya di sekitar sini!” ajak Rara Santang.
“Iya, selain itu, tidak ada salahnya kita periksa hutan lagi!” kata Walang Sungsang.
“Kalau begitu kita berpencar saja, Raka, Yunda, biar lebih cepat. Nanti kita bertemu lagi di sini.”
“Iya, aku setuju!” ujar Rara Santang. Walang Sungsang mengangguk sepakat. Pergilah mereka jalan kaki mencari-cari.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Sudah tengah malam ketika Siliwangi dan Surawisesa sampai. “Ini sudah waktunya warga tidur, Ayahanda Prabu. Bagaimana kita akan mencari Ibunda Ratu Subang Larang? Bagaimana kita akan bertanya-tanya? Apakah kita akan mengetuk pintu-pintu warga yang sedang tidur?”
“Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang ada di sini kan? Mereka di mana sekarang? Mungkin saja mereka telah memiliki petunjuk.”
“Itu Raka Walang Sungsang, Ayahanda!” tunjuk Surawisesa.
“Ananda Walang Sungsang!” seru Siliwangi. Walang Sungsang mengenali suara yang menyapanya. Ia lekas mengedarkan netranya mencari-cari. Setelah melihat sosok yang memanggilnya ia merasa marah dengan sosok itu. Namun, meskipun marah, ia menghampiri dengan penuh hormat.
“Bagaimana, apa Ananda sudah menemukan Ibundamu, Ananda?”
“Belum, Ayahanda Prabu, tapi kami telah menemukan jejak Ibunda. Ibunda benar tadi siang ada di desa ini. Ibunda menukar diam-diam baju mewahnya dengan baju warga yang sedang dijemur. Ibunda sekarang tanpa bekal apa pun. Entah bagaimana keadaannya dan entah tinggal di mana. Kami menduga Ibunda ada di luaran. Untuk itu kami berpencar mencari di jalan-jalan kampung dan hutan. Semua ini karena Ayahanda!” Walang Sungsang tidak bisa tidak menyalahkan Siliwangi. Siliwangi menghela napasnya menyadari kesalahannya.
“Kamu belum pernah mencintai dan merasakan cemburu seperti aku. Cinta dan cemburu bisa membutakan manusia merenggut akal pikiran meskipun sebagai seorang pria lebih menggunakan akalnya daripada perasaan.”
“Jika begitu, apalagi Ibunda Ratu Subang Larang yang Ayahanda usir. Perempuan cenderung menggunakan perasaannya. Sekarang Ibunda pasti hatinya sedang tercabik-cabik, sedang sangat sedih, menangis sangat terluka karena Ayahanda usir!”
“Sekarang percuma berdebat soal itu, Ananda Walang Sungsang. Sekarang yang harus kita lakukan adalah menemukan Ibunda kamu. Ayo, kita terus mencarinya!”
“Ananda sudah menyisir semua jalan di sekitar sini. Kami janjian bertemu di mana kami tadi berpisah.”
“Kita sisir jalanan di sisi lain dari jalan ini. Setelah itu, kita ke tempat kalian janjian bertemu.”
“Baik, Ayahanda Prabu.” Siliwangi dan Surawisesa mencari dengan menunggangi kuda. Walang Sungsang dengan berjalan kaki.
“Ananda Walang Sungsang, naiklah di belakang Ayahanda.”
“Maaf, Ayahanda, Ananda tidak mau dibonceng yang sudah membuat Ibunda Ananda hilang bagai ditelan bumi.” Siliwangi menghempas napasnya mendapati lagi marah putranya itu.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Setelah mencari, akhirnya, Subang Larang tidak juga ditemukan. Mereka masing-masing kembali ke tempat janjian bertemu. Anak-anak Subang Larang melangkah lemas dan menunduk. Rara Santang dan Kian Santang mengangkat wajah mereka ketika mendapati Walang Sungsang datang bersama Siliwangi dan Surawisesa. Rara Santang menatap Siliwangi dengan mata marah. Kian Santang mencoba terus untuk tidak marah kepada ayahandanya itu. Ia mencoba mengerti kalau cinta ayahandanya begitu besar kepada ibundanya sehingga muncul cemburu berlebihan yang membuat salah langkah. Kian Santang menunduk hormat. Rara Santang menunduk hormat dengan tidak ikhlas.
Siliwangi bisa merasakan sikap Rara Santang itu. Namun, ia tidak menyalahkan putra dan putrinya yang marah kepada dirinya. Bagi Siliwangi hal itu wajar karena Subang Larang ibunda mereka. Apalagi mereka begitu dekat dan sayang kepada Ibunda mereka.
“Kalian ada yang menemukan Ibunda kalian?”
“Tidak, Ayahanda,” jawab Rara Santang dengan sedih.
“Tidak, Ayahanda,” jawab Kian Santang dengan sedih juga.
“Paling tidak, mungkin kalian ada yang mendapatkan petunjuk Ibunda kalian ada di mana.”
“Selain baju dan perhiasan Ibunda yang ditukarkan diam-diam ke warga, tidak ada. Tapi hati Ananda berkata jika Ibunda masih di desa ini, Ayahanda,” terang Kian Santang.
“Lalu akan kita cari ke mana lagi di desa ini Ibundamu jika menurutmu Ibundamu masih ada di sini, Ananda Kian Santang?”
“Ananda mau mencari ke rumah-rumah besar. Tadi rumah-rumah kecil sudah kami datangi hampir semua dan sudah semua yang di sekitaran kami menemukan warga yang mendapatkan baju dan perhiasan Ibunda. Akan tetapi, rumah-rumah sudah tutup saat kami mau bertamu menanyakan keberadaan Ibunda, Ayahanda Prabu,” terang Kian Santang.
“Sepertinya kita harus menunggu pagi untuk bertamu dan bertanya-tanya lagi,” kata Siliwangi.
“Ayahanda mau mencari penginapan?” tanya Kian Santang.
“Tidak perlu. Ibunda kalian tidak tahu sekarang berteduh di mana. Aku tidak sanggup berteduh di tempat yang nyaman sementara aku tidak tahu di mana Ibunda kalian berteduh sekarang. Aku akan di pos atau di bawah pohon saja,” kata Siliwangi.
“Di sana, ada pohon besar, Ayahanda Prabu,” tunjuk Walang Sungsang.
“Baiklah, ayo ke sana kalau kalian mau bersamaku. Kalau tidak, pergilah mencari penginapan.” Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang saling pandang.
“Kami akan bersama Ayahanda Prabu,” ujar Rara Santang.
“Rayi Surawisesa, kamu saja yang pergi ke penginapan,” kata Walang Sungsang.
“Tidak, aku akan bersama kalian saja.”
Pergilah mereka berteduh di bawah sebuah pohon besar di pinggir jalan desa. Kian Santang bersama Walang Sungsang mengumpulkan kayu dan menyalakannya. Mereka duduk beralas dedaunan lebar yang ditata untuk duduk masing-masing, tidak bersama-sama.
“Ananda Rara Santang, sini bersandarlah di bahu Ayahanda dan tidur!” Rara Santang masih marah dengan Siliwangi, tetapi ia tidak menolak ajakan ayahandanya itu. Siliwangi mengatakan dedaunan di sisinya. Rara Santang menempatinya.
Siliwangi mengecup puncak kepala Rara Santang lalu memeluknya. “Maafkan Ayahanda. Ayahanda terlalu mencintai Ibunda kalian sehingga tidak bisa terima rasanya jika ada pria lain yang disukai Ibunda kalian.”
“Ibunda tidak mungkin seperti itu Ayahanda,” ujar Rara Santang sembari menyandarkan kepalanya ke bahu Siliwangi.
“Ada sebuah surat yang membuktikan hal itu, Ananda,” terang Siliwangi.
“Ampun Ayahanda, menurut Ananda itu tidak membuktikan apa-apa. Bisa saja surat itu musuh yang membuat untuk memfitnah, memukul Pajajaran dari dalam. Memorak-porandakan Pajajaran dari keluarga istana,” kata Kian Santang.
Mendengar penuturan Kian Santang Siliwangi menjadi berpikir. Ia pun membenarkan kata-kata Kian Santang. Ia keburu emosi dan tidak melihat teliti benarkah surat itu asli ataukah hanya sebuah hasutan untuk saling membenci di dalam keluarga.
“Sekali lagi aku meminta maaf kepada kalian semua. Cinta bisa menguatkan. Cinta juga bisa melemahkan,” celetuk Siliwangi setelah menyadari hal itu. Anak-anak memahami dan tidak marah lagi kepada Siliwangi.
“Maafkan Ananda yang sudah kurang ajar kepada Ayahanda sejak pagi, Ayahanda Prabu,” ujar Walang Sungsang.
“Maafkan Ananda juga, Ayahanda Prabu,” ujar Rara Santang.
“Kalian tidak salah. Sudah sepatutnya kalian perlakukan aku seperti itu. Aku memang salah.” Siliwangi mengecup puncak kepala Rara Santang kemudian memberikan usapan-usapan lembut. Rara Santang terbawa ke alam mimpi oleh usapan-usapan itu.
Sementara itu, Kian Santang mencari air. Sejenak ia telah kembali. Ia mendirikan salat malam dengan menata dedaunan sebagai alasnya. Ia bermunajat tiada henti agar pagi saat mentari menyingsing sudah menemukan Ibundanya. Walang Sungsang mengikuti apa yang dilakukan Kian Santang.
“Ananda Surawisesa, sini, bersandarlah kepadaku juga! Kamu baru pulih dari terluka.” Surawisesa menuruti titah Siliwangi. Siliwangi mengecup pelipis Surawisesa lalu memberikan usapan-usapan di puncak kepala Surawisesa. Surawisesa menjadi menyusul Rara Santang ke alam mimpi.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
“Kanda begitu tega. Rasa cintanya kepadaku hanya manis di bibir, tidak sungguh sepenuh hati. Ia lebih percaya surat antah berantah yang datang entah dari mana. Siapa pula yang menulis surat antah berantah itu, surat khayal, surat yang tidak ada satu pun kejadian yang terjadi antara aku dengan Kakang Jaluwuyo seperti yang tertulis dalam surat itu. Sungguh isinya hanya karangan. Apa gerangan tujuan yang menulis cerita palsu itu?” Subang Larang hatinya merasa tercabik. Ia berkaca-kaca. Kemudian, dengan segera bulir demi bulir bening menetes. Ia berbaring dari miring menghadap telentang menatap nanar langit-langit kamar sempit dan sederhana dengan kasur kapuk yang kapuknya sudah mencuat ke mana-mana. Ia tidak bisa tidur. Bukan karena keadaan kamar, tetapi karena hatinya yang sungguh terluka oleh Siliwangi. Sungguh kecewa yang katanya sungguh mencintai dirinya, tetapi nyatanya begitu saja percaya kepada surat karangan.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
“Aduh, siapa sih orang baru itu? Tiba-tiba saja hadir. Aku tidak bisa biarkan ia terus di sini. Aku harus membuatnya tidak betah dan segera pergi dari sini atau aku akan terusik lalu terusir dari sini. Meskipun aku sudah tua, aku tidak boleh kalah dengan dia yang lebih muda dariku. Aku harus bekerja lebih baik, lebih cekatan, lebih sempurna. Ah, aku buat saja dia berbuat kesalahan terus-menerus meskipun dia tidak melakukan kesalahan saat bekerja.” Di kamar lain yang juga sederhana nan mungil di rumah Juragan Tisna, si Mbok berusia senja tidak suka kehadiran Subang Larang. Ia merasa pekerjaannya terancam. Takut dipecat karena sudah tua dan menjadi tidak punya pekerjaan lagi.
Bersambung
Terima kasih
✨❤️❤️❤️✨
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)