Contents
(TAMAT) Kalau Cinta, Jangan Bohong!
Levon
Cassie menuju ke rumah sakit tempat Mama Levon dirawat. Sesampainya di rumah sakit, ia segera menuju ruang ICU. Ia melihat Levon di sana sedang duduk di luar sambil mengobrol dengan seseorang.
“Levon,” panggil Cassie pelan.
Levon menoleh dan terkejut. “Cassie? Kok lo bisa di sini?”
Cassie mengambil ponsel Levon dari dalam tasnya dan diserahkan pada Levon. “Ponsel lo ketinggalan di rumah gue.”
“Aduh, maaf ngerepotin lo. Gue hampir putus asa cari ponsel gue. Gue pikir jatuh atau dicuri.”
Cassie tersenyum sambil mengangguk. Kemudian ia mengigit bibirnya, memutuskan untuk jujur telah membaca sms yang masuk. “Ng... maaf, gue nggak sengaja baca sms masuk. Nggak sengaja ketekan sama gue.”
Levon hanya mengangguk dengan santai. “Dari cewek gue?” tanyanya yang membuat Cassie kaget.
“Iya.”
“Udah makan siang?” tanyanya sambil melihat jam tangannya.
Cassie menggeleng.
“Yuk, makan siang bareng!”
Levon berpamitan dengan orang yang tadi mengobrol dengannya. Ia dan Cassie menuju kantin rumah sakit. Setelah memesan makanan, mereka mencari tempat duduk yang nyaman.
“Lev, cewek lo...”
“Mutusin gue, kan?” tanyanya dengan senyum.
“Kok lo masih bisa senyum, sih?” protes Cassie bingung.
“Dia udah lama suka sama sahabat gue, padahal dia tahu kalau sahabat gue udah punya pacar di sini. Gue juga bingung kenapa semua bisa jadi begini.”
“Pacar sahabat lo di sini?” tanya Cassie. “Emangnya dia dan sahabat lo di mana?”
Levon menarik napas panjang. “Kami bertiga mutusin untuk ke luar negeri. Dia dan sahabat gue kuliah, sementara gue kerja. Entah sejak kapan, tiba-tiba dia mutusin gue dan jelasin kalau udah selingkuh sama sahabat gue,” jelas Levon yang membuat Cassie sedih melihatnya. “Gue bisa terima. Tapi, entah dengan pacar sahabat gue.”
“Lo kenal sama pacar sahabat lo?”
“Nggak.” Levon tampak sedih menceritakan hal pribadinya ini. Ia melirik Cassie yang terdiam dan tampak berpikir. “Apa yang lo pikirin?”
Cassie tersenyum malu. “Yah, gue hanya pikir, gimana kalau kejadian itu nimpa gue. Cowok gue juga kuliah di luar negeri.”
“Oh ya?” Percakapan mereka terhenti ketika pelayan mengantar pesanan mereka. “Cowok lo kuliah di mana?”
Cassie tersenyum. “Di Singapore. Udah lama sih cita-citanya buat kuliah di sana,” kata Cassie sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. “Dia berangkat bareng kakak sepupu gue yang juga ngebet kuliah di sana.”
Levon menatap Cassie cukup lama. “Mm... begitu? Kampus di sana memang sangat bagus. Apa lagi di Nanyang.”
“Iya dia kuliah di Nanyang, kok.”
Levon mengangguk dan kembali memakan makanannya.
Cassie menyeruput minumnya. “Terus, kok lo bisa di Indonesia sekarang? Kerjaan lo di sana gimana?”
Levon tersenyum sejenak. “Gue cuti dulu. Sebelum keadaan mama baikan, gue nggak bisa tenang. Mama hanya tinggal bersama adik gue yang masih sekolah.”
“Papa lo?” tanya Cassie pelan.
“Sejak adik gue lahir, dia pergi entah ke mana. Gue nggak tahu dan nggak mau tahu dia di mana.”
Refleks Cassie memegang tangan Levon. “Maaf, Levon. Gue nggak bermaksud buat lo sedih lagi.”
Levon tertawa dan menepuk tangan Cassie yang berada di atas tangannya. “Nggak masalah, Cas. Ini juga udah lama banget. Gue bahkan hampir lupa sama masalah ini.”
“Jadi, lo sebagai tulang punggung keluarga lo? Lo kerja apaan di sana?”
“Gue kerja di sebuah perusahaan kecil. Tapi, gajinya luar biasa banget. Bos-nya juga baik banget sama gue.”
“Tunggu!! Bos-nya baik??” tanya Cassie penuh selidik. “Jangan-jangan... bos-nya cewek, ya? Seumuran lagi?”
Levon tertawa terbahak-bahak. “Lo punya bakat ngeramal, ya? Kok lo bisa tahu?” tanya Levon. Sebelum Cassie menjawab, Levon melanjutkan pembicaraannya. “Bos gue itu, saudaranya temen gue yang di sana. Dia yang nawarin gue kerja di perusahaan itu.”
“Tuh, benar, kan? Pasti bos lo itu sebenarnya naksir sama lo. Lo aja yang nggak sadar.”
Levon terdiam. “Lo emang pintar, ya? Sembilan puluh persen tebakan lo benar sekali. Dia udah dua kali nembak gue. Jujur gue sendiri nggak ada perasaan sama dia.”
“Kok bisa? Kalau lo jalani, lama-lama cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya.”
“Itu namanya egois!” tegas Levon yang membuat Cassie tersentak. “Cinta itu harus tumbuh dari hati, karena kita memang cinta. Kalau belajar untuk mencintai, itu bukan cinta. Itu sebuah keegoisan yang nantinya hanya akan melukai salah satu pihak.”
Cassie cukup terperangah mendengar penjelasan Levon. “Gue jadi heran, kok cewek lo bisa ninggalin lo, ya?” Cassie memajukan tubuhnya diikuti Levon. “Jujur ya, cewek lo itu bego.”
Levon tersenyum. “Udah, kita nggak usah membahas hal ini. Mendingan kita makan. Tuh, makananmu udah dingin.”
Cassie mengangguk dan kembali menyantap makanannya. “Oh ya, satu pertanyaan lagi. Kenapa lo nggak kuliah aja?”
“Gue pengen banget. Gue punya adik dan mama yang harus gue biayain. Jadi gue lebih memilih kerja dari pada kuliah. Tapi kalau suatu hari ada kesempatan, gue pasti akan kuliah. Mungkin di sini.”
“Gue jadi kagum sama lo.”
“Lo jangan muji gue terus, Cas. Lama-lama gue bisa geer loh.” Keduanya pun tertawa bersama.
Selesai makan siang, Cassie dan Levon kembali ke ruang ICU. Levon mengajak Cassie duduk sebentar di sana.
“Duduk, Cas!” pinta Levon sambil duduk di bangku panjang yang ada di sana.
Cassie duduk di sebelah Levon. “Lev, senin nanti mama lo dioperasi jam berapa?”
“Jam dua belas siang. Kenapa?”
“Gue masih boleh ke sini, kan?”
Levon menoleh dengan refleks. “Tentu aja boleh. Kenapa lo tanyain lagi? Ada-ada aja lo. Kalau ada lo, gue bisa lebih tenang dan lebih kuat.”
Cassie tersipu malu. “Lo jangan ngomong gitu, dong. Gue kan jadinya malu,” ujar Cassie dengan pelan. Levon hanya tersenyum melihat senyum malu-malu Cassie. “Jadi minggu besok aku boleh main ke sini kan?”
“Tentu.”
***