Contents
(TAMAT) Kalau Cinta, Jangan Bohong!
Pangeran Tampan
Cassie mengetuk jari-jari tangannya pada pegangan pintu mobil sesuai irama lagu yang sedang diputar. Pandangannya menyapu jalanan di pagi hari yang cukup padat. Sesekali mulutnya mengikuti lirik lagu kesukaannya.
Dinda... apa kabar kau di sana?
Lelahkah menungguku berkelana?
Lelahkah menungguku, kau di sana?
Sayang.. aku kan segera pulang.
Tunggu aku dengan senyuman itu
Tunggu aku dengan senyummu itu.
(Sheila On 7_Bertahan Di sana)
Sedang asyik-asyiknya mendengarkan lagu itu, tiba-tiba tubuh Cassie tersentakke depan bersamaan dengan suara keras di belakang mobilnya. Cassie meringis kesakitan karena dahinya terantuk keras ke kursi depan.
“Ada apa sih, Pak?”
“Mobil kita ditabrak, Non,” jawab Pak Dudi –supir Cassie- sambil menepikan mobil.
Cassie menoleh ke belakang. Tampak sebuah mobil Honda Jazz biru ikut menepi. Pak Dudi turun, begitu juga sang pengemudi mobil itu. Cassie hanya melihat dari dalam.
Seorang pria terlihat sedang mencoba menjelaskan sesuatu kepada Pak Dudi. Tak lama kemudian, Pak Dudi menghampiri Cassie. Cassie segera menurunkan jendela mobilnya. “Kenapa, Pak?”
“Anu, Non, orangnya mau ketemu. Katanya mau ganti rugi.”
Cassie melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit. Akhirnya ia keluar dari mobil untuk bertemu dengan pengendara mobil tersebut. Ia melihat pria itu sedang meneliti bagian belakang mobil Cassie yang ditabraknya. Cassie berdehem hingga pria itu segera menoleh. Untuk sesaat Cassie tersihir dengan ketampanan pria itu.
“Hai, maaf gue nggak sengaja nabrak. Kalau nggak keberatan, mungkin lo bisa ninggalin alamat atau identitas lo ke gue. Gue pasti mengganti biaya kerusakan mobil lo.”
Cassie malah menoleh ke arah mobil pria itu yang juga terlihat penyok. Pria itu ikut menoleh ke arah mobilnya.
“Gue rasa nggak usah. Mobil lo rusaknya lebih parah.”
“Gue nggak fokus. Gue lagi terima telepon dari dokter yang mengabari kondisi mama gue yang sedang dirawat,” jelasnya tanpa diminta. “Tapi, tenang aja, gue pasti ganti semuanya.”
Cassie tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Ia cukup tersentuh dengan pengakuan jujur pria itu. “Mendingan uang lo buat biaya mama lo aja. Mobil gue juga nggak terlalu parah.”
“Lo serius?”
“Iya. Ya udah, gue nggak bisa lama-lama. Gue hampir telat.” Sehabis berkata seperti itu, Cassie segera meninggalkan pria itu dan masuk ke dalam mobilnya.
Sekali lagi Cassie menoleh dari dalam mobilnya. Tampak Pak Dudi dan pria itu mengobrol sebentar. Setelah bersalaman, masing-masing memasuki mobilnya.
“Buruan, Pak! Sepuluh menit lagi gerbang tutup loh.”
“Iya, Non.”
Cassie tiba di sekolahnya jam tujuh lebih lima menit. Buru-buru ia turun dari mobilnya dan berlari menerobos gerbang yang hampir ditutup satpam sekolah. “Terima kasih, Pak!” serunya sambil terus berlari menuju kelasnya, meninggalkan Pak Satpam yang hanya menggelengkan kepala. Ia tiba di kelasnya dengan napas ngos-ngosan. Kelasnya yang terletak di lantai tiga membuatnya hampir pingsan. Dengan pelan ia mengetuk pintu. Semua mata pun menoleh padanya.
“Cassie? Kenapa kamu bisa terlambat?” tanya Bu Sisca, guru matematika yang dengan isyarat tangannya menyuruh Cassie untuk masuk.
Cassie melangkah masuk dan menghampiri gurunya. “Maaf Bu, tadi di tengah jalan mobil ditabrak orang. Jadinya telat.”
Bu Sisca melihat dahi Cassie yang sedikit kebiruan pun paham. Ia mengangguk-angguk tanda mengerti. “Ya sudah, duduklah! Kali ini Ibu maafkan.”
Cassie tersenyum. “Terima kasih, Bu.” Cassie segera menempati tempat duduknya dan menghela napas lega. Teman sebangkunya, Risty, sudah cekikikan dari tadi. “Teman telat, malah diketawain. Teman macam apaan lo?” keluh Cassie pelan.
“Jidat lo tuh, benjol.”
“Masa sih?” tanya Cassie dengan refleks meraba jidatnya.
***
Istrirahat adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh seluruh murid yang baru selesai belajar matematika. Cassie dan tiga temannya seperti biasa berkumpul di kantin. Cassie menceritakan peristiwa tadi pagi yang menimpanya.
“Jadi mobil lo gimana?” tanya Nora sambil menyeruput es kelapanya.
“Gue suruh Pak Dudi bawa ke bengkel langganan. Nggak parah-parah banget juga, kok.”
“Cas, menurut gue, lo terlalu cepat percaya sama orang. Gimana kalau yang nabrak mobil lo itu cuma ngarang cerita? Bisa aja, kan?” tanya Risty.
“Risty benar! Siapa tahu karena lihat lo cuma anak sekolah, dipikirnya gampang dikibulin!” seru Carol yang selalu sependapat dengan Risty.
“Atau orang itu cowok? Dan dia cakep?” tebak Risty asal.
“Kok lo tahu dia cakep?” goda Cassie yang membuat mata ketiga temannya berbinar-binar. Cassie tertawa melihat wajah mereka yang penasaran. “Aduh, yang pasti masih cakepan Dava.”
Ketiga temannya langsung melengos dan memelototi Cassie yang masih sibuk tertawa.
“Gimana kabarnya Dava, Cas?” tanya Risty.
“Gue juga nggak tahu.” Cassie menumpukan wajah pada kedua tangannya. Wajahnya berubah menjadi sedih. “Udah dua minggu ini Dava dan Kak Nadia susah dihubungin. Gue takut mereka kenapa-napa di sana.”
“Maklumin aja. Kuliah di luar negeri emang susah. Apalagi jaringan suka bermasalah. Benar, kan?” hibur Carol. “Lagian lo nggak usah takut. Kalau Dava selingkuh, Kak Nadia pasti menghajarnya.”
Cassie kembali tertawa. “Iya juga, sih.”
“Nah, gitu dong!”
“Kok jadi ngomongin Dava, sih? Ngomong-ngomong, cowok yang nabrak lo itu ciri-cirinya gimana? Ganteng nggak? Lo belum jawab loh,” tanya Risty yang kembali mengungkit cowok yang menabrak mobil Cassie.
Cassie berpikir sebentar. “Gayanya seperti anak kuliahan. Ganteng banget. Hidung mancung, tinggi. Itu doang yang gue ingat. Mirip... Mirip Jonatan Christie.”
“Serius lo?”
“Ya elah, dasar lo Ris!! Kalau udah tentang cowok aja, cepat banget reaksinya. Makanya pacaran sana!” seru Carol yang kemudian dijitak Risty. Cassie dan Nora hanya bisa menggelengkan kepala.
“Kayak lo nggak jomblo aja.”
“Gue kan setia nungguin abang lo pulang.”
“Playboy macam gitu ditungguin,” keluh Risty malas.
Cassie menghela napas melihat ulah kedua sahabatnya yang mulai beradu mulut. Ketika matanya tertuju ke arah gerombolan kakak kelas yang baru masuk ke kantin, Cassie segera menyikut Nora. Nora mengikuti pandangan Cassie, lalu tersenyum dan pamit menghampiri salah satunya.
Cassie terus memperhatikan Nora dan Rian. Ia takjub melihat Rian bisa setia dengan Nora selama dua tahun ini. Padahal sebelumnya, Rian selalu berganti pacar sebulan sekali .
***
Cassie menatap ke luar jendela kamarnya. Angin sepoi-sepoi membelai lembut rambut panjangnya. Ia menatap bintang-bintang dan teringat seseorang. Dava.
Dava adalah pacar ideal buat Cassie. Dava yang jago main gitar, pintar dan yang pastinya tampan, sudah menjadi pacar Cassie selama dua tahun. Dava dulunya kakak kelas Cassie, sewaktu Cassie duduk di kelas sepuluh dan Dava kelas dua belas. Lulus dari sekolah, Dava melanjutkan kuliahnya di Singapore.
Tiap liburan, Dava selalu menyempatkan diri untuk pulang. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini Dava jarang menghubunginya. Bahkan email-email Cassie sering tak dibalas.
Sebuah suara pemberitahuan membuyarkan lamunannya. Cassie segera duduk di depan meja belajarnya dan mengecek email yang masuk. Ia tersenyum ketika menerima email dari Dava.
From : davaforthe@gmail.com
To : cassie.cassie@gmail.com
Honey, ke messenger ya!!
Cassie tersenyum senang. Ia segera memasuki messenger. Ia tak sabar ingin mengetahui kabar Dava.
Dava : Honey, maaf akhir-akhir ini aku sibuk. Jadinya emailmu gak kubalas
Cassie : Aku pikir kamu udah lupa sama aku
Dava : Gak mungkinlah. Lagi ngapain?
Cassie : Lagi mikirin kamu. Kamu kapan pulang?
Dava : Aku sibuk banget di sini. Kayaknya sih gak pulang. Mama mau ke sini.
Cassie : Yah, tahun ini gak bisa ketemu, dong?
Dava : Honey, ini juga demi masa depan kita. Iya, kan?
Cassie : Iya, deh. Oh ya, kabar Kak Nadia gimana?
Dava : Baik.
Cassie : Salam buat Kak Nadia, ya.
Dava : Iya. Ya udah, aku mau ngerjain tugas. Besok kita lanjut lagi.
Cassie : Oke. Miss you...
Cassie terkejut ketika Dava langsung offline tanpa membalas pesannya. Biasanya Dava pasti membalas ‘Miss you too’ baru offline. Padahal kata-kata terakhir itu sudah dibaca. Dengan sedih, Cassie keluar dari akunnya dan mematikan laptopnya.
Pintu kamar Cassie diketuk dari luar. “Masuk!”
“Sayang, ada temanmu di bawah,” ujar Mama Cassie.
Cassie menoleh. “Siapa, Ma?”
“Namanya Levon.”
Cassie mendadak bingung. “Levon? Siapa, ya?” tanyanya sambil memikirkan nama yang asing di telinganya.
“Katanya teman kamu.”
“Ya udah, deh. Mama suruh dia nunggu aja.” Cassie mengganti baju tidurnya dengan baju yang lebih pantas untuk menemui tamunya. Tak lama kemudian, ia segera keluar dan menghampiri Levon.
“Hai,” sapa Cassie kepada seorang pria yang tengah melihat foto keluarga Cassie yang tergantung di ruang tamu.
Levon menoleh, lalu tersenyum. “Hai.”
Cassie terkejut sejenak. “Lo? Kok... lo bisa tahu rumah gue?”
“Tadi pagi gue sempat tanya supir lo.”
Cassie mengangguk paham. “Oh iya, silahkan duduk!”
Cassie dan Levon duduk berhadapan. Tampak Levon mengambil sesuatu dari tasnya. Ternyata sebuah amplop coklat tebal. Ia menyerahkannya pada Cassie. “Ini uang ganti rugi mobil lo.”
Cassie menyilangkan tangannya. “Nggak... nggak. Gue kan udah bilang nggak usah. Lagian mobilnya udah bener, kok.”
“Tapi…”
“Uangnya lebih baik untuk mama lo dan kebutuhan lo. Atau buat perbaikin mobil lo. Serius, gue nggak nuntut, kok.”
“Terima kasih,” ujar pria itu pelan. Cassie mendengar nada kesedihan dalam kata-kata Levon. Wajahnya pun terlihat lelah, beda dari penampilannya tadi pagi.
“Kalau gue boleh tahu, mama lo sakit apa?”
Levon menarik napas panjang dan menghelanya. “Ada benjolan di perut mama. Senin ini akan dilakukan operasi untuk mengambil jaringannya dan diperiksa apakah itu semacam tumor atau bukan.”
Cassie menggigit bibirnya. “Sorry gue bikin lo sedih. Gue harap mama lo baik-baik aja dan cepat sembuh. Dan semoga benjolan itu bukan tumor atau apapun yang berbahaya.”
“Thanks. Rencana uang ini untuk operasi. Gue bersyukur lo nggak nuntut gue. Padahal jelas-jelas salah gue.”
“Kita kan harus saling bantu. Iya, kan?”
Levon mengangguk dan tersenyum senang. “Oh ya, kita belom kenalan, kan? Kenalin, gue Levon.” Levon mengulurkan tangannya dan segera dijabat oleh Cassie.
Cassie tertawa. “Lo udah tahu nama gue, kan?” tanyanya yang diangguki Levon.
“Lo tadi telat ke sekolahnya?”
Cassie mengangguk, lalu menunjuk dahinya yang diplester. “Karena ini, guru gue ngijinin masuk,” jelas Cassie yang membuat Levon tampak bersalah. “Nggak apa-apa. Gue bakal salahin lo kalau gue dihukum.” Keduanya tertawa mendengar candaan Cassie.
“Oh ya, mama lo dirawat di mana?”
“Di rumah sakit Medika.”
Cassie tampak mengangguk. Kemudian ia tersadar sesuatu. “Ya ampun, gue lupa nawarin lo minum. Sorry.”
Levon tertawa. “Nggak apa-apa. Gue juga mau pergi. Masih harus ke rumah sakit.”
Cassie mengangguk. Ia mengantar Levon menuju pintu depan. Tiba-tiba Levon berbalik, membuat Cassie menabrak tubuh Levon.
“Sorry.” Cassie mengusap dahinya yang lagi-lagi terantuk.
Levon tersenyum geli dan menggelengkan kepalanya. “Gue boleh jadi teman lo, kan? Maksud gue, gue masih boleh main ke sini?”
“Pintu rumah gue terbuka buat lo.”
Senyum Levon mengembang. “Ok. Bye.”
“Bye.”
Cassie mengawasi Levon keluar lewat pagar rumah hingga mobil Levon hilang dari pandangannya. Cassie menutup pintu dan bermaksud kembali ke kamarnya. Tapi sesuatu mengganggu penglihatannya di sofa. Sebuah ponsel keluaran terbaru. Cassie mengambil ponsel itu. Wallpaper ponsel itu, seorang pria tampan yang tak lain adalah Levon.
“Levon... Levon. Ponsel aja sampe ketinggalan. Keluaran terbaru lagi,” gumamnya sendiri.
Iseng-iseng Cassie melihat koleksi foto-foto Levon. Dan ia baru merasa Levon tampan seratus kali lipat dari Dava. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponsel itu dan tanpa sengaja Cassie menekan tombol baca.
“Aduh, kebuka! Gimana, nih? Baca nggak, ya?” tanya Cassie panik. “Baca aja kali, ya? Siapa tahu penting.”
Ketika Cassie membaca pesan itu, matanya mendelik kaget.
From : My Love
Aku tahu kamu pasti marah sama aku. Tapi kamu harus ngerti kalau dari dulu aku hanya menyukai dia. Minggu depan aku akan bertunangan dengan dia. Aku harap kamu terima keputusan aku. Kita berakhir.
Mulut Cassie menganga membaca pesan itu. Gimana, nih? Levon pasti sakit hati kalau baca pesan ini. Kok ceweknya tega banget, ya? Bagaimanapun besok gue harus kembaliin ponsel Levon.
***