Contents
Dalam Ribuan Hari Tentang Melukai
Prolog
Satu-satu, aku sayang Ayah.
Dua-dua, juga sayang Ayah.
Tiga-tiga, terus sayang Ayah.
Satu, dua, tiga, selalu sayang Ayah.
Kok Ayah semua?
Iya, karena cuma Ayah yang aku sayang.
* * *
Kenapa, Yah? Kenapa wajah Ayah pucat?
Ayah sakit?
Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!
Ayah nggak apa-apa.
Tadi Ayah udah minum obat.
Yah, sehat terus ya? Jangan buat aku sedih.
Cuma Ayah yang aku punya.
Kamu punya mama.
Kamu nggak sendirian.
Kamu gak bisa selalu sama Ayah terus.
Mama kamu juga akan jaga kamu.
Ayah bohong!
Mama nggak mungkin jaga aku.
Jangan benci dia. Dia itu mama kamu.
Aku gak pernah benci mama.
Tapi mungkin dia, Yah.
Dia yang gak akan menerima kehadiranku.
Kalau Ayah nggak ada.
Cuma mama kamu yang bisa jaga kamu.
Jangan buat dia kecewa!
Kok bicara gitu?
Ayah nggak boleh pergi ke mana-mana.
* * *
Yah, hari ini Ayah di mana? Kok gak pulang-pulang?
Yah, kok nggak ada telepon apa-apa?
Aku tadi selesai belajar. Terus nonton film deh.
Rasanya punya teman-teman di sekolah
umum bagaimana ya, Yah?
Aku lihat di film kadang ada yang baik
dan kadang juga ada yang jahat.
Menurut Ayah, kalau aku gak home schooling lagi, nanti aku jadi murid kayak gimana ya?
Murid yang baik atau jahat?
Bosan, Yah. Setiap hari belajar di rumah. Tapi tenang, aku gak pernah bosan tunggu Ayah pulang kerja.
* * *
Yah ... hujan. Ayah di mana?
Aku takut, Yah.
Aku sendirian di rumah.
Tapi Ayah kok gak pulang.
Ayah masih di tempat kerja ya?
Aku boleh nyanyi, Yah? Aku takut.
Langit seram banget, Yah.
Ayah pasti gak bisa pulang karena hujan, kan?
Hujan pergilah. Datanglah lain hari.
Ayah ingin pulang. Hujan pergilah.
* * *
Gadis itu terkejut ketika ponselnya berbunyi. Ia tidak sadar sudah tertidur sejak tadi. Padahal ia sedang menunggu ayahnya pulang. Namun melihat tulisan ayahku pada layar ponsel, senyum gadis itu mengembang sempurna.
“Halo, Ayah? Tunggu sebentar. Aku keluar kamar dulu terus buka pintu. Maaf ya tadi ketiduran, pasti Ayah udah tunggu dari tadi di luar.”
Ia hampir berlari karena saking senangnya.
“Halo? Selamat malam?”
Tetapi langkahnya tiba-tiba saja berhenti. Terkejut karena bukan suara ayahnya di telepon. “Anda siapa?”
“Apa benar ini anak dari Pak Adrian?”
“I-Iya,” ucap gadis itu kebingungan karena suara laki-laki yang bukan ayahnya terdengar di panggilan.
“Saya dari pihak rumah sakit, ingin memberitahu bahwa Pak Adrian telah meninggal dunia karena penyakit parunya. Saya mencari nomor keluarga yang mungkin bisa dihubungi sejak tadi, tapi tidak ada satu pun yang menjawab. Apa adik bisa menelepon kerabat lain untuk menyiapkan pemakaman Pak Adrian?”
Tidak ada suara dari mulut gadis itu. Ketika ia menatap langit yang gelap dari jendela kamarnya, hujan sudah berhenti.
Dan ternyata, ayah benar-benar pulang.
* * *