Try new experience
with our app

INSTALL

"Halo, Cantik!" 

Artikel 3: “Telepon Hantu: Salah Satu Urban Legend Populer tahun 90-an”

Sebagai orang asli Jogja dan dibesarkan dalam keluarga yang masih lekat dengan tradisi dan ritual Jawa, hal-hal berbau mistis tidaklah asing untukku. Apalagi Jogja kaya akan dongeng dan mitos urban legend. Walau selama 24 tahun hidup di dunia ini belum pernah bersinggungan langsung dengan dunia gaib dan segala umatnya, aku menganggap keberadaan dongeng gaib perkotaan itu sesuatu yang mungkin saja terjadi.

Namun, tetap saja. Dari sekian banyak urban legend yang pernah kudengar, telepon hantu menduduki peringkat pertama dalam daftar mitos-yang-paling-tidak-masuk-akal versi Ghassani Faranisa alias aku. Oke, aku percaya dengan mitos kalau kendaraan mendadak jadi berat saat sedang dijalankan, itu tandanya ada yang ‘sesuatu’ yang menempel di sana. Aku juga percaya kalau keusilan mahluk gaib bisa membuat kendaraan mendadak mogok saat melewati jalur tertentu. Namun, menggunakan benda seperti telepon? Maksudku, telepon yang itu? Bagaimana caranya mereka menggunakan benda milik manusia untuk menelepon? Bagaimana caranya mereka mengangkat gagang telepon? Trus siapa yang membayar tagihan bulanan mereka—atau untuk versi modern, bagaimana caranya mereka beli pulsa? Nggak masuk akal, kan?

Karenanya, saat Natasha menyodorkan nomor telepon itu, aku tak bisa menahan diri untuk mengulum senyum.

“Telepon hantu?”

Sepertinya nada suaraku terdengar cukup sinis karena Natasha kini mengerutkan keningnya.

“Iya. Kenapa?”

“Ng-nggak...” Setengah mati aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang tidak sopan. “Cuma heran aja, emangnya ini masih jaman ya, Kak? Bukannya mitos telepon hantu itu populer tahun 90-an, pas telepon rumah dan telepon umum masih berjaya?”

Lagi-lagi Natasha tak langsung menjawab. Dia hanya memberikan tatapan yang bisa kuterjemahkan sebagai kamu-mau-dengar-penjelasanku-atau-tidak dari balik soft lense warna abu-abu mudanya yang cantik itu. Apa boleh buat, aku mengangkat tangan dan memutuskan untuk kembali duduk.

“Jadi, gimana, Kak?” tanyaku, mencoba untuk bersikap sopan. “Mungkin bisa Kakak ceritakan dulu tentang telepon hantu ini?”

“Gini, San,” Natasha kembali menyugar rambutnya. Kali ini dia lanjut menyeruput kopi yang ada di meja, membuat jeda yang tercipta lebih lama beberapa detik dari biasanya—sekaligus meningkatkan lagi ketegangan di ruangan ini. “Telepon hantu memang mitos tahun 90-an. Dan sebetulnya gue dapet cerita ini dari Tante beberapa tahun lalu. Cuma barusan aja mendadak inget pas lo bilang lagi nyari ide untuk nulis artikel yang jarang dibahas oleh media lain.”

“Jarang dibahas media lain?” ulangku. “Tapi saya sempat browsing, sudah banyak yang membahas telepon hantu, Kak. Yang paling populer sih tentang Mister Gepeng. Tapi itu, kan, bukan urban legend Bandung, Kak?”

“Yang ini beda, San,” Natasha kembali menyela. Sepertinya dia mulai tak sabar karena aku kelihatannya tidak berminat dengan informasi darinya. “Gue ceritain dulu, oke? Nanti lo bisa pikir-pikir lagi mau nulis ini atau nggak. Gue sih nggak masalah, selama lo kasih artikel yang gue minta. Itu aja.”

Tak ada pilihan lain, aku langsung diam. Supaya terlihat serius, aku sengaja mengambil buku catatan dari tas punggungku dan bersiap mencatat informasi penting yang kira-kira perlu aku perhatikan.

“Oke, seperti yang gue bilang tadi, gue dapat nomor ini dari Tante beberapa tahun lalu,” perempuan itu akhirnya mulai bercerita. “Nomornya mudah diingat karena 710XXXX bisa diucapkan sebagai TIOXXXX[1]. Nah, Tante bilang, waktu jaman SMA dulu, beredar satu nomor telepon yang konon milik hantu Belanda bernama Pieter. Si Pieter ini agak unik. Kabarnya dia mati karena patah hati. Trus dia hanya akan mengangkat telepon dari orang yang menurutnya cantik. Karenanya, waktu Tante SMA, nomor telepon ini sempat dijadikan semacam challenge bagi cewek-cewek. Siapa yang teleponnya diangkat oleh Pieter, artinya dia yang paling cantik.”

Hah?!

Tanpa sadar aku membulatkan mata.

Hantu Belanda yang hanya mengangkat telepon dari cewek cantik?

Ya ampun, genitnya! 

Dari sekian banyak keabsurdan di dunia perhantuan, tak diragukan lagi. Cerita ini layak jadi yang paling absurd!

“Trus gimana, Kak? Ada yang diangkat teleponnya?” Tiba-tiba saja rasa penasaranku kambuh, walau sebetulnya saat itu aku pengin sekali menertawakan cerita tadi.

Natasha menggeleng.

“Sepanjang yang Tante gue tahu, sih, nggak ada,” katanya. “Memang sempat ada kabar burung kalau ada yang diangkat teleponnya oleh Pieter. Menurut kabar, Pieter akan mengunjungi siapa pun orang itu. Tapi rumornya cuma sampai di sana. Lama-lama isu itu hilang dengan sendirinya karena di era itu internet belum banyak digunakan.”

Penjelasan itu membuatku manggut-manggut. Pantas saja aku tidak menemukan informasi tentang nomor telepon hantu ini walau sudah berhari-hari menggoogling berita tentang perhantuan di Bandung. Rupanya ini hanya rumor yang muncul sebentar, tapi keburu hilang sebelum ada yang menuliskannya di internet. Mungkin juga penggunaan ponsel yang makin marak di akhir tahun 90-an turut andil dalam menenggelamkan rumor ini. Berbeda dengan nomor telepon Mister Gepeng yang entah itu nomor rumah atau nomor ponsel, nomor milik Pieter—710XXXX—jelas itu adalah nomor rumah. Kurasa hanya ada segelintir orang yang mau menghubungi telepon rumah via ponsel mengingat biayanya yang cukup menghabiskan pulsa.

“Kak, saya jadi penasaran. Kakak pernah coba menghubungi nomor itu nggak?” Pertanyaan kali ini murni karena keisenganku saja. Bukan karena faktor insting jurnalisku sedang jalan atau apalah. Dan aku langsung ternganga saat melihat Natasha mengangguk.

“Pernah,” katanya kalem. “Iseng aja, sih. Sebagai jurnalis, kita wajib melakukan cek dan ricek semua informasi yang sampai ke kita, kan?”

“Hah?” Aku kaget. “Trus pripun, eh, gimana Kak? Beneran didatangi sama Pieter itu?” Saking penasarannya, tanpa sadar logat medokku pun keluar.

“Kok didatangi?” Natasha mendengus geli. “Diangkat pun nggak. Bahkan nada sambung pun nggak ada dan tahu-tahu putus. Gimana mungkin sampai didatangi sama hantu itu?”

Sampai di sana aku berdecak heran. Natasha, jurnalis senior yang paling banyak dikecengi oleh para kru Hype Bandung—yang seperti itu saja diabaikan oleh Pieter? Memangnya apa yang kurang dari perempuan ini? Natasha punya tubuh tinggi nan ramping, rambut sebahu yang sangat cocok dengan wajah mungilnya, dan kulit putih yang membuatnya terlihat pantas mengenakan baju dan make up warna apa saja. Gaya berpakaiannya pun oke, kasual feminim yang manis dan tidak berlebihan. Soal otak, jangan tanya. Dia tidak mungkin jadi senior editor tanpa alasan yang jelas, kan? Wah, kalau seperti ini, sudah jelas kalau Pieter itu: (1) memang hanya rumor kosong belaka, atau (2) punya selera yang sangat ajaib. Bahkan mungkin seleranya bukan manusia, alias hantu juga seperti dirinya.

“Lo mau coba nelepon?”

Pertanyaan itu tiba-tiba saja membuatku tergelitik. Rasa penasaranku kembali kambuh. Sejenak aku membaca ulang nomor yang tertera di kertas itu, kemudian memasukkan angka-angka itu di ponselku. Tak lupa aku memasukkan nomor kode daerah, membuat jumlah angka yang harus kutekan menjadi 10 digit.

“Nol, dua, dua, tujuh, satu, nol, sekian, sekian, sekian, sekian,” aku mengulang deretan angka itu sebelum menekan tombol YES. Tak lupa aku menggunakan speaker phone supaya Natasha ikut mendengar apa saja yang terjadi selama panggilan ini—itu pun kalau ada yang mengangkat.

Tuut.

Tuut.

Tak ada respon dari seberang sana. Satu-satunya yang membuatku heran adalah ekspresi Natasha yang mendelik ke arahku.

Tuut.

Nada sambung ketiga. Aku memutar bola mata dan mendengus geli, menertawakan kebodohanku sendiri. Kenapa juga aku iseng menelepon nomor ini, sih? Bukankah sudah jelas kalau telepon hantu itu rumor belaka? Dan nomor ini… Bagaimana kalau ternyata ini nomor rumah seseorang? Atau mungkin nomor kantor? Atau….

DEGGG…

Nada sambung itu tiba-tiba menghilang. Detik berikutnya jantungku mendadak berdentam-dentam saat terdengar bunyi kresek di seberang sana. ADA YANG MENGANGKAT TELEPON INI! Tak lama, terdengar bunyi helaan nafas yang berat dan kering, seperti suara nafas yang nyaris meninggalkan raga seseorang. 

Tanpa sadar tengkukku meremang.

Tanganku berkeringat dingin.

Sesuatu yang tak kasat mendadak membelai punggungku saat suara husky dengan logat asing terdengar dari seberang telepon, membuat bulu kudukku meremang sejadi-jadinya.

"Halo, Cantik! Saya cinta kamu. Saya akan temui kamu, malam ketujuh, dengan membawa mawar merah. Sampai jumpa!" []


 

[1] Hint: empat angka sisanya dapat disebut seperti menyebut huruf