Try new experience
with our app

INSTALL

Misi Menikahi Suami 

05. Putusan Cerai

“Enggak! Ini pasti salah! Dia pasti curang!” tuding Wina sembari meletakkan lagi surat keterangan putusan cerai pengadilan di atas meja.

“Bagaimana ini Wina?” tanya Bunda Sofia pelan. “Andin enggak pernah menghadiri persidangan, bagaimana bisa putusan cerai sudah datang?”

Wina melirik Andin. Wajah sahabatnya itu pucat pasi. Sebenarnya kalau boleh jujur, Wina lega karena putusan cerai datang lebih cepat dari yang ia perkirakan.

Wina berpikir memang sebaiknya mereka bercerai saja. Untuk apa mempertahankan rumah tangga kalau tidak dicintai suami sendiri. Namun, Wina sendiri tahu betapa Andin mencintai Aldebaran, betapa Andin menyandarkan hidup seluruhnya di pundak suaminya.

“Wina? Bagaimana?” tanya Bunda Sofia lagi bersuara lebih pelan.

Sekali lagi Wina menatap Andin. “Ndin.”

Andin tidak menanggapi, ia hanya balas melirik Wina dengan lemah. “Kita bisa sewa pengacara. Kita laporkan balik soal kasus perselingkuhan ini! Kalau memang harus hancur, dia juga harus hancur!” seru Wina bersemangat.

Andin kembali melirik Wina lantas bangkit menuju kamar dan tak lama keluar dengan membawa tas.

“Kamu mau ke mana Ndin?”

Andin meraih surat putusan cerai lantas pergi tanpa menjawab pertanyaan bunda.

Langkah Andin mantap berjalan menuju kantor Aldebaran. Ia masuk, melintasi petugas keamanan yang lengah. Ia berjalan tanpa ragu menuju ruang kerja Aldebaran, tetapi langkahnya terhenti karena melihat Elsa berada di ruang kerja Aldebaran.

Mereka sangat serasi.

Kalimat sialan itu yang pertama kali melintasi kepala Andin. Andin memang mengakuinya. Aldebaran dan Elsa adalah pasangan paling serasi. Dari zaman SMA mereka berdua dinobatkan sebagai pasangan idaman.

Satu pemuda tampan seantero sekolah, satunya lagi juga pemudi tercantik.

Andin menepis ingatan konyol masa lalunya. Ia menerobos masuk. Aldebaran juga Elsa kompak bangkit menatap Andin.

“Aku menerima surat dari pengadilan,” ucap Andin.

“Aku lega karena prosesnya bisa berjalan sangat cepat,” timpal Aldebaran.

Andin benci dirinya sendiri karena ia masih belum mampu membenci Aldebaran. Pandangannya berpindah dari wajah Aldebaran ke wajah Elsa. Wanita itu merapatkan posisinya di sebelah Aldebaran seolah Andin adalah ancaman paling berat.

Pandangan Andin berkeliling menatap ruang kerja Aldebaran. Tempat yang baru ia sadari tidak pernah dikunjungi olehnya, tidak pernah dibicarakan juga oleh Aldebaran.

Beberapa katalog dengan gambar gaun-gaun pernikahan terhampar di meja tidak jauh dari tempat Andin berdiri.

“Aku enggak akan menyerah, Mas! Ini semua hanya salah paham, Mas!”

Aldebaran bukan manusia tanpa hati. Justru ia melakukan ini karena tidak mau menyiksa Andin lebih jauh lagi. Ia sudah mencoba sudah berkali-kali berusaha, tetapi memang hanya Elsa yang selalu menghantui hari-harinya.

“Andin, ini semua demi kebaikan kamu. Aku enggak bisa dan enggak akan pernah bisa mencintai wanita selain Elsa. Sekali lagi aku minta maaf. Seharusnya kita enggak pernah menikah.”

“Mas, almarhumah mama—“

“Yang mama inginkan adalah kebahagiaanku. Itu yang mama ucapkan. Elsa adalah kebahagiaanku.” Andin tersentak ketika Aldebaran melepaskan cincin yang melingkari jemari lantas meletakkannya di meja. “Pernikahan kita sudah selesai. Sah di mata hukum.”

Andin meraih cincin itu. “Aku enggak akan diam saja Mas! Aku percaya kamu adalah suami terbaik yang enggak salah dipilihkan oleh Mama Rosa.”

Itulah yang Andin yakini dan akan tetap seperti itu.

“Kita sudah bercerai dan aku akan segera menikahi Elsa. Itu yang selanjutnya akan terjadi Andin.”

“Mas.”

“Sadarlah Andin, pernikahan kita gagal.”

Andin menggeleng. “Enggak, Mas karena restu mama ada di pernikahan kita.” Andin balas menatap Elsa. “ kalaupun suamiku yang memang menggodamu, sebagai wanita baik-baik seharusnya kamu tetap menjauhinya. Dari dulu, aku selalu mengagumi kamu, tapi sekarang ... aku tahu aku memang lebih baik darimu karenanya almarhumah mama memilihku untuk menjadi istri Mas Al.”

Aldebaran sontak meraih gelas di atas meja lalu melempakan isinya tepat membasahi wajah Andin. “Jangan berani kamu membandingkan diri dengan Elsa!”

Elsa menarik tangan Aldebaran. Berharap Aldebaran mau menahan diri. Bukan seperti ini caranya.

Andin menyeka wajahnya. “Wanita baik-baik enggak akan pernah mau didekati atau mendekati suami orang lain, Mas. Aku pamit.”

Aldebaran diam melihat Andin pergi. Debar jantungnya meningkat tidak menentu.

“Mas, kamu enggak seharusnya kasar begitu sama Andin.”

Aldebaran melepaskan tangan Elsa dari lengannya. “Harusnya begitu. Dia harus tahu kalau aku enggak akan pernah mungkin kembali. Hubungan antara aku dan dia sudah selesai.”

***

Awan yang menaungi kepala Andin menggelap. Tetes air hujan tepat membasahi pucuk kepala, Andin sontak mendongak sesaat kemudian kembali mengusap batu nisan Mama Rosa.

“Ma, sekarang apa yang harus Andin lakukan? Ma, Andin yakin kalau pilihan mama enggak pernah salah. Andin, Andin tahu Andin enggak boleh bicara seperti ini, tapi Andin berharap mama bisa jawab semua pertanyaan Andin. Andin enggak salah, kan Ma? Andin benar karena enggak akan melepaskan pernikahan ini, kan, ma?”

Petir menggelegar. Andin kembali mendongak. Berpikir apa yang sedang Tuhan rencanakan di atas sana. Apa yang selanjutnya akan terjadi? Apa Andin salah karena ingin mempertahankan rumah tangganya.

Andin merogoh saku, mengeluarkan cincin pernikahan milik Aldebaran lantas meletakkannya di batu nisan Mama Rosa.

“Mas Al bilang dia sudah menceraikan Andin Ma.”

Petir kembali menggelegar. Andin mengusap wajahnya yang diterpa angin juga hujan. Deras hujan berhasil menyamarkan sedu sedan air mata yang tidak coba Andin tahan.

“Ma, bantu Andin, bantu Andin untuk kembali mendapatkan hati Mas Al lagi, bantu Andin, ma. Tolong. Ini cuma mimpi, kan, ma? Ini mimpi, ini mimpi!”

***

“Andin ke mana ya Win? Bunda takut. Hujan deras sekali,” cemas Bunda Sofia sembako bolak-balik tepat di belakang pintu dan sesekali menyingkap gorden, berharap Andin muncul dari ujung gang sana.

“Bunda duduk dulu. Wina yakin, Andin enggak akan melakukan hal aneh-aneh.”

Bunda Sofia duduk di sebelah Wina. “Aneh-aneh bagaimana? Aduh, Win, Bunda cemas. Apa kita keluar cari Andin, ya?” usulnya.

“Kita tunggu Andin dulu, Bun.”

“Kalau begini Bunda enggak bisa tunggu lagi, Bunda—“

Derit pintu membuat Bunda Sofia dan Wina kompak berdiri. Kelegaan jelas terpancar dari wajah mereka ketika Andin masuk.

Bunda Sofia meraih handuk yang sudah ia siapkan lantas menutupi tubuh Andin yang basah kuyup juga menggigil. “Kamu dari mana Andin?”

Andin tidak menjawab, ia melepaskan handuk lantas berjalan menuju kamarnya.

“Andin! Bunda sedang bicara sama kamu!” sentak Bunda Sofia.

Wina menahan Bunda Sofia yang hendak mengejar Andin. “Bun, tenang, sabar dulu.” Wina menarik napas dalam-dalam. “biarkan Andin sendiri dahulu.”

“Tapi Wina—“

“Andin harus bisa menenangkan dirinya sendiri, setelah itu kita baru bisa berpikir tentang rencana selanjutnya mau bagaimana,” potong Wina yang sebenarnya juga ingin menenangkan Andin. “Andin pasti bisa mengatasi ini,” lanjutnya.

Andin menutup pintu lantas menatap ke seluruh penjuru kamar. Andin kira setelah menikah dengan Aldebaran, ia tidak akan pernah kembali menempati kamar itu, tetapi apa yang sekarang terjadi? Andin kehilangan segalanya.

“Enggak! Ini cuma mimpi!” seru Andin menyeka air matanya.

Andin merebahkan tubuhnya yang basah di ranjang, menarik selimut hingga menutupi dada sembari terus bergumam. 

Ini mimpi, hanya mimpi, bangunlah Andin, bangunlah.