Contents
PUNDEN DEMIT
PERSIAPAN DE-BAR SIARAN PERDANA "RUMAH MERAA"
Ketika sakit migren yang kambuh sudah berangsur hilang, Bu Blenda langsung teringat untuk menemui Ra Nuh. Hatinya sangat senang, meskipun dia merasa sangat lelah. Dia bangun dari sofa dan duduk di tepi. Sofa ini sering digunakan sebagai tempat istirahat dan juga rapat. Sofa ini memiliki tiga tempat duduk, tetapi hanya dia yang boleh untuk duduk di sana. Menik telah menata bantal-bantal pribadi Bu Blenda di atasnya. Menik juga telah menyiapkan selimut yang disimpan di lemari, karena mereka pernah menginap beberapa kali di kantor bersama. Di sofa inilah ide "Rumah Meraa" dimulai.
Bu Blenda beranjak dan meninggalkan ruangan menuju meja Ra Nuh. Saat itu, meja Ra Nuh masih berada di ruang kerja bersama dengan tim produksi yang lain. Produser Trio Demit juga berada di ruangan itu. Bedanya, para produser memiliki dua meja lebih besar yang disusun seperti huruf L dan satu lemari. Sementara Ra Nuh dan yang lainnya hanya memiliki satu meja kerja dan mesin tik.
Pada saat itu, Ra Nuh sedang mengetik untuk episode berikutnya dari cerita "Rumah Meraa" ketika Bu Blenda menyapa Ra Nuh.
"Ra Nuh, sudah sampai episode berapa ceritanya yang kamu ketik?" tanya Bu Blenda kepada Ra Nuh. Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba semua orang, termasuk Ra Nuh, berdiri.
"Sudah selesai episode 10, Bu. Namun, karena Ibu menambah episode menjadi 30, saya sedang mengubah kerangka ceritanya sebelum masuk ke episode 11," jawab Ra Nuh yang terlihat lelah. "Saya akan melaporkan kerangka cerita itu kepada Bu Blenda sebelum saya mendetilkan pegembangan ceritanya," lanjut Ra Nuh.
"Bagus. Saya minta kamu fokus sepenuhnya pada program 'Rumah Meraa'. Nanti saya akan meminta Rudin untuk membersihkan bekas ruangan Pak Jayadi. Jadi, kamu akan dipindahkan ke sana," kata Bu Blenda.
"Tapi Bu..." ucap Camelia, yang saling menatap Fatima dan Yessy, seolah-olah ingin mengajukan protes. Memiliki ruangan kerja seperti itu sudah seperti jabatan yang tinggi, sementara Ra Nuh adalah penulis junior yang berada di bawah para produser.
Namun, sebelum kata-kata berikutnya terucap dari Camelia, Bu Blenda langsung memotong, "Kalau bisa, kerangka ceritanya sudah ada di meja saya besok sore, ya? Bisa kan?" sambil tersenyum kepada Ra Nuh dan menepuk pundaknya. Meskipun lelah dan tidak mendapatkan kata-kata pujian dari Bu Blenda, hati Ra Nuh berbinar melihat senyumannya dan tepukan lembut di pundaknya. Tidak ada kata-kata dalam tepukan itu, hanya bunyi 'puk puk puk'. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan memiliki ruangan kerja sendiri. Di kantor itu hanya Bu Blenda yang memiliki ruangan kerja, sementara semua karyawan hanya diberi meja kerja di ruang bersama.
"Besok hari besarmu, kita berdoa semoga pendengar suka, dan radio kita bangkit lagi," ujar Bu Blenda tenang. "Dan kamu segera pindah meja. Saya mau cek bagian iklan dulu," sambung nya.
"Baik, Bu Blenda," jawab Ra Nuh.
Setelah Bu Blenda pergi dan menghilang dari pandangan, Camelia langsung mendekati Ra Nuh. Tanpa senyum dan dengan wajah kesal, dia memberikan ucapan selamat kepada Ra Nuh, "Selamat..." kata Camelia sambil meraih tangan Ra Nuh untuk berjabat tangan. Setelah mereka berjabat tangan, Camelia kembali ke mejanya. Yessy dan Fatima mendekati Camelia. Mereka berbisik-bisik dan sesekali melihat Ra Nuh, tetapi Ra Nuh tidak memperdulikan mereka. Kemudian, lima karyawan lainnya di ruangan itu mendekati Ra Nuh. Mereka dengan gembira memberi selamat kepada Ra Nuh. Mereka senang teman mereka mendapatkan apresiasi dari Bu Blenda.
Beberapa jam kemudian, Rudin datang ke ruangan departemen produksi dan menemui Ra Nuh. "Mbak, ruangannya sudah siap. Saya akan membantu pindahan ya," kata Rudin sambil memegang mesin tik Ra Nuh untuk diangkat.
"Eh, jangan, mesin tik biar saya saja. Kamu bantu bawa buku-buku dan kertas-kertas ya," kata Ra Nuh.
Teman-teman penulis yang lain juga mendekat. "Sini, kita bantu juga ya," kata mereka sambil membawa tumpukan buku, alat tulis, tas, beberapa alas kaki, dan tumpukan map berisi kertas. Mereka semua membantu Ra Nuh pindah meja sambil bercanda dalam perjalanan hingga mereka sampai di ruangan kerja baru Ra Nuh.
Sambil bercanda, mereka berharap suatu hari nanti ruangan Ra Nuh bisa menjadi tempat mereka ngobrol bersama sebagai sesama penulis. Mencari ide dan bahkan numpang tempat untuk lembur. Mereka sudah terpikir untuk membuat acara yang diberi nama 'Debar Rumah Meraa', singkatan dari 'Dengar Bareng Rumah Meraa'. Mereka berencana untuk mengadakan 'Debar' dengan makan malam yang akan mereka masak dari rumah masing-masing. Sekitar sebelas orang sudah mendaftar untuk ikut serta dalam 'Debar Rumah Meraa'. Ra Nuh senang dengan ajakan teman-temannya untuk mendengarkan siaran perdana Rumah Meraa secara bersama-sama.
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Sejak sore, sebagian orang sudah sibuk bersiap-siap di ruangan Ra Nuh. Rudin dan beberapa karyawan lain mengangkat meja besar untuk menata makanan dan minuman yang melimpah. Ada juga yang menata tikar dan bantal-bantal. Rekan kerja lainnya, Bram dari bagian teknik, membantu mengatur perangkat pengeras suara. Sementara itu, Ra Nuh gembira dan membantu menata barang-barang yang masuk. Ketika Bu Blenda lewat di depan ruangan Ra Nuh dan melihat tulisan diatas kertas yang bertulisakan ‘DeBar Rumah Meraa.’ Dia bertanya kepada Ra Nuh, "Debar Rumah Meraa, ini apa maksudnya?" tanya Bu Blenda.
"Teman-teman mau dengar bareng siaran perdana nanti, Bu. Debar adalah singkatan dari dengar bareng," jelas Ra Nuh.
"Hmm... oke," gumam Bu Blenda sambil mengangkat alisnya.
"Mohon izin, Bu. Acara ini di ruangan ini," kata Ra Nuh menjelaskan dengan suara rendah. Dia merasa bersalah karena belum meminta izin kepada Bu Blenda sebelumnya.
"Teman-teman juga berharap Ibu bisa ikut makan malam bersama dan 'Debar' bersama mereka," lanjut Ra Nuh.
"Menik bawa rendang kesukaan Ibu nih," kata Rudin mencoba meyakinkan Bu Blenda sambil menarik tangan Menik.
"Iya, Bu. Saya bawa banyak," kata Menik.
Mendengar ada hidangan rendang, ekspresi Bu Blenda langsung berubah. Wajahnya tiba-tiba berseri-seri, "Aww, aku suka rendang buatan Menik. Pastikan nasinya panas ya. Nanti saya pasti ikut serta!" kata Bu Blenda dengan semangat. Dia langsung melangkah ke ruang kerjanya sambil bersenandung lagu Minang dan menari. Badannya berputar sambil maju berjalan sebelum masuk ke ruangannya.
Ra Nuh, Menik, dan Rudin terdiam sejenak, kemudian saling bertukar pandang. Lalu mereka bertiga pecah tertawa. Menyadari kegaduhan itu, takut terdengar oleh Bu Blenda, mereka langsung menutup mulut mereka dengan tangan dan senang karena Bu Blenda akan ikut serta. Jumlah peserta yang terdaftar dalam ruangan itu bertambah menjadi 13 orang yang turut serta. Bu Blenda dan Mbak Satime, istri satpam di Studio/4, akan ikut serta juga dalam makan malam bersama dan acara 'Debar'.
Ketika malam tiba, di sudut ruangan lain, Trio Demit terlihat bersama di ruang tunggu tamu. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka selama kurang lebih setengah jam. Ketiganya duduk mengitari meja tanpa ada makanan dan minuman. Mereka yang tidak mendaftar untuk acara 'Debar' malam itu. Selain merasa harga diri mereka direndahkan, mereka berharap siaran perdana akan gagal total. Pikiran untuk melakukan sabotase terlintas dalam benak mereka, menggagalkan bagian penyiaran. Namun, semua karyawan departemen penyiaran menjaga siaran perdana Rumah Meraa dengan ketat. Mereka memiliki tanggung jawab besar dalam eksekusi paket iklan yang harus dilakukan dengan tepat waktu.
Trio Demit tidak dapat melakukan tindakan jahat untuk menggagalkan siaran perdana.
"Sialan, harga diri kita hancur oleh anak ingusan itu," geram Camelia.
"Ia, dia sangat pandai mencari dukungan dari Bu Blenda. Bagaimana mungkin ada cerita horor yang dijadikan sandiwara radio!" tambah Yessy.
"Saya punya ide, kita harus membuat Ra Nuh ketakutan saat bekerja di radio ini. Perlahan-lahan hingga dia mengundurkan diri," kata Fatima.
Ketiganya menghisap dalam rokok mereka dan membayangkan apa yang akan mereka lakukan untuk menakuti Ra Nuh. Mereka dengan mudah memikirkan berbagai ide untuk melakukan teror, mulai dari yang ringan hingga yang lebih keras. Fatima menempatkan tangannya di antara mereka bertiga, mengajak mereka untuk sepakat. Camelia dan Yessy kemudian meletakkan tangan mereka di atas tangan Fatima.
"Oke, kita sepakat," kata Camelia.
"Kita sikat," kata Yessy.
“Semoga dia tidak menghilang sebelum kita selesai ya ha ha ha,” sambung Fatima, kemudian mereka meninggalkan kantor bersama dengan meninggalkan puntung rokok dimana-mana.