Contents
PUNDEN DEMIT
AWAL MULA PERSAINGAN TRIO DEMIT DAN RA NUH
Radio Studio/4 menjadi kacau balau. Bu Blenda berusaha mencari berbagai cara untuk memulihkannya. Namun, kekacauan yang disebabkan oleh Trio Demit semakin tidak sehat. Para karyawan di Stasiun Radio Studio/4 sudah tidak lagi menyembunyikan panggilan mereka terhadap ketiga perempuan itu sebagai produser "Trio Demit". Bahkan, istilah tersebut sering menjadi pembicaraan di warung nasi sekitar. Hampir semua karyawan tidak menyukai Trio Demit karena mereka sering mengganggu suasana kerja bak parasit. Mereka semakin angkuh dan suka menyalahkan orang lain. Meskipun dulunya mereka adalah karyawan yang kreatif dan pintar, walau sikap mereka sering tidak sopan, terutama terhadap petugas keamanan dan office boy. Namun, di depan Bu Blenda, mereka berperilaku manis, meskipun situasi di kantor sangat genting.
Hal ini membuat Bu Blenda semakin marah, dan dia mengumpulkan sembilan orang dari departemen produksi, termasuk tiga produser, yaitu Fatima, Yessy, dan Camelia, serta enam penulis dan asisten produser lainnya, termasuk Ra Nuh. Bu Blenda meminta semua orang untuk memberikan ide-ide baru kepada dirinya, karena program radio Studio/4 sudah tidak diminati. Setiap bulan satu pegawai terpaksa dirumahkan. Ketika Bu Blenda memberikan instruksi dan mengungkapkan kekecewaannya, ketiga produsernya, Fatima, Camelia, dan Yessy, hanya diam. Hanya dua orang yang aktif berdiskusi, salah satunya adalah Ra Nuh. Pada saat itu, produser dengan julukan Trio Demit merasa malu dan harga diri mereka sebagai produser terinjak, mereka menyadari bahwa Ra Nuh memiliki banyak ide. Melihat pertemuan ini akan lebih efektif kalau dihadiri oleh kedua orang yang aktif ini, Bu Blenda meminta yang lainnya keluar. Dia ingin melanjutkan diskusi yang lebih tajam dengan kedua orang ini, Ra Nuh dan Zeno untuk segera menghasilkan ide-ide yang bisa menyelamatkan radio ini.
"Ra Nuh, Zeno, saya ingin mendengar gagasan kalian," tanya Bu Blenda tegas, karena kesal.
"Saya memiliki cerita horor untuk sandiwara radio yang baru, berjudul 'Rumah Meraa'," kata Ra Nuh agak terbata-bata karena gugup.
"Saya memiliki ide untuk program talkshow dengan pemandu pelawak yang diselingi dengan tangga lagu top 10," kata Zeno, melengkapi dua gagasan yang ingin didengar oleh Bu Blenda.
Kemudian, Ra Nuh menjelaskan cerita 'Rumah Meraa' yang pernah dia buat dan ditolak oleh Fatima. Dia menjelaskannya sambil berdiri. Bu Blenda dan Zeno mendengarkan Ra Nuh bercerita dengan penampilan presentasi seperti Fatima. Gestur tubuh yang memperkuat alur dia bercerita. Berkat Ra Nuh selalu memperhatikan dan mempelajari cara Fatima meyakinkan orang lain melalui presentasinya. Bu Blenda pun tampak antusias mendengarkan cerita seram Ra Nuh. Cerita ini penuh dengan kejutan, dan cerita tersebut berhasil meyakinkan Bu Blenda. Dia memerintahkan Ra Nuh untuk segera diproduksi program sandiwara radio ini.
Setelah Bu Blenda memerintahkan agar kedua program ide Ra Nuh dan Zeno segera di eksekusi, dia juga meminta departemen pemasaran untuk melakukan promosi. Dia memiliki strategi pemasaran yang kuat untuk meningkatkan citra Radio Studio/4. Hal ini didasari dari hasil survei lembaga yang menunjukkan jumlah pendengar terus menurun. Bu Blenda tidak akan membiarkan hal ini terjadi sampai hancur. "Kita harus segera bangkit," tegas Bu Blenda dalam rapat. Jika tidak, hal ini akan berdampak buruk bagi bisnis radio Bu Blenda dan terancam kebangkrutan. Beberapa investor pun sudah mencium situasi ini dan berminat membeli Radio Studio/4 dengan harga dibawah pasar. Namun, Bu Blenda memutuskan untuk bertahan hingga titik terendah.
Ra Nuh melihat situasi ini sebagai peluang yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Dia mulai memikirkan cara untuk meningkatkan karirnya.
Program sandiwara radio berjudul "Rumah Meraa" akhirnya memasuki tahap rekaman. "Rumah Meraa" adalah drama horor yang mengisahkan pembunuhan seorang penulis bernama Merra dan arwahnya yang menghantui dan membalas dendam kepada tiga orang yang membunuhnya di sebuah rumah kosong. Bu Blenda yakin sepenuhnya dengan program ini, dia meyakini sesuai dengan selera pendengar. Dia tidak pernah putus asa dalam melakukan uji coba. Bu Blenda sudah merencanakan opsi kedua jika program ini gagal, yaitu memproduksi genre lain yang lebih diminati oleh pendengar.
Beberapa waktu kemudian, tim pemasaran mulai mengudarakan promosi untuk "Rumah Meraa". Promosi ini mulai mendapatkan respons dari pendengar. Mereka sering menelepon untuk menanyakan cerita yang akan ditampilkan, siapa pengisi suara, dan hal-hal lainnya. Seiring dengan penyebaran promosi program sandiwara radio ini, jumlah penelpon ke stasiun radio kepada penyiar semakin meningkat, dan "Rumah Meraa" semakin dinantikan oleh pendengar.
Ketika episode perdana "Rumah Meraa" ditayangkan di Radio Studio/4, promosi lainnya yang menampilkan potongan cerita berhasil membuat pendengar semakin penasaran. Promosi ini dibuat oleh Ra Nuh dan dibantu oleh rekan editor lainnya, dan berhasil menarik perhatian pendengar. Dengan berbagai versi promosi yang masuk ke telinga pendengar, cerita ini semakin tertanam dalam ingatan mereka.
"Jangan lewatkan sandiwara horor terbaru berjudul Rumah Meraa. Mulai Jumat malam tanggal 22 Maret pukul 8 malam. Ingat... jangan mendengarkan sendirian!" begitulah penutupan promosi radio mereka. Kalimat "Ingat... jangan mendengarkan sendirian" menjadi jargon sehari-hari di tengah masyarakat di berbagai kota yang menjadi wilayah jaringan relay radio Studio/4, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Depok, Bogor, Surabaya, dan Manado. Dua minggu setelah promosi radio "Rumah Meraa" mulai mengudara, jargon tersebut mencapai telinga Bu Blenda. Hal ini membuat Bu Blenda menambah anggaran promosi dengan menyewa mobil dan pengeras suara. Seseorang di dalam mobil tersebut memberikan orasi, mengingatkan masyarakat di berbagai kampung.
"Ibu-ibu, adik-adik, ayah, kakek, nenek, Pak RT, Pak Lurah, semuanya, jangan lupa, tinggal tiga hari lagi. Ya, tiga hari lagi! Sandiwara radio horor Rumah Meraa, hanya di Radio Studio/4. Ingat! Jangan mendengarkan sendirian! Ingat ya... jangan mendengarkan sendirian," begitulah orasi yang dilontarkan dari mobil yang berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Mobil tersebut sengaja berjalan pelan, sehingga orang-orang dapat mendengar informasi yang disampaikan dengan jelas. Anak-anak kecil pun berlari mengikuti mobil tersebut, sambil meminta selebaran yang berisi informasi mengenai penayangan perdana "Rumah Meraa". Beberapa media juga menuliskan fenomena ini dengan menuliskan judul berita “Jangan Mendengarkan Sendirian!”. Semua pendengar radio di kota-kota yang menjadi wilayah jaringan relay radio Studio/4, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Depok, Bogor, Surabaya, dan Manado, menantikan tanggal penayangan perdana sandiwara tersebut pada hari Jumat, tanggal 22 Maret 1984 pukul 8 malam.
Keberhasilan "Rumah Meraa" tidak berhenti di situ. Bu Blenda mendapatkan banyak sponsor yang ingin memasang iklan produk mereka di dalam sandiwara tersebut. Mereka berebut kesempatan tersebut, sehingga Bu Blenda dan tim pemasaran menghadapi masalah baru. Meskipun masalah tersebut menyenangkan, semua karyawan di Radio Studio/4 terpaksa meningkatkan ritme kerja mereka. Hingga meminta karyawan yang sudah dirumahkan untuk kembali bekerja.
Komunikasi promosi yang tersebar luas, permintaan iklan yang antri, serta peningkatan pekerjaan administratif mempengaruhi jam kerja karyawan. Beberapa karyawan diminta untuk lembur dan menginap karena pekerjaan yang belum selesai. Bu Blenda menyediakan makanan dan akomodasi untuk memastikan karyawan tetap sehat. Dia juga menjanjikan bonus khusus pada akhir bulan. Dikarenakan peningkatan pemasukan hampir 300%, dibandingkan sebelum radio itu terpuruk.
Satu hari sebelum siaran perdana sandiwara 'Rumah Meraa', Bu Blenda merasa lelah. Dia memutuskan untuk beristirahat di ruangannya. Dia mendekati sofa, dan merebahkan diri. Pandangannya berputar. Serangan migren mulai terasa. Dia menyadari bahwa Menik, asisten pribadinya, tidak ada di mejanya. Karena Menik diperintahkan untuk membantu di bagian administrasi yang sedang kewalahan. Tidak ada yang bisa membantu Bu Blenda. Dia memutuskan untuk memejamkan mata sejenak, sambil mengusap pelipisnya. Di dalam hatinya, dia merasa tekanan darahnya meningkat. Dia baru ingat bahwa dia belum mengonsumsi obat rutin hipertensinya selama tiga hari ini.
Setelah 30 menit, serangan migrennya perlahan mereda. Air mata mengalir di pipinya, karena dia tidak mampu menahan pusing yang berputar-putar. Saat pusingnya semakin berkurang, Bu Blenda menyadari bahwa dia belum berbicara dengan Ra Nuh sama sekali. Seseorang yang menjadi penyebab dari semua kesuksesan yang mereka dapatkan. Meskipun episode perdana belum ditayangkan, Bu Blenda ingin berdiskusi dengan Ra Nuh dan mengungkapkan betapa dia bermimpi memiliki suasana seperti ini sejak dia memiliki stasiun radio tersebut.