Contents
(TAMAT) Kalau Cinta, Jangan Bohong!
Sungguh Sakit
Tamu-tamu sudah berdatangan ke rumah Nadia. Dava dan Nadia sendiri juga terlihat tengah berbincang-bincang dengan beberapa teman mereka.
Levon, Risty dan Bayu tiba juga di sana. Saat bersalaman dengan Dava dan Nadia, Levon dapat merasakan tatapan penyesalan di mata Dava. Levon sebenarnya ingin menghajar Dava. Bukan karena ia merebut Nadia darinya, tapi menghajarnya untuk Cassie. Sementara Nadia terlihat bahagia.
“Hei, terima kasih kalian mau datang. Kalian senang-senang aja, ya! Kami bertemu yang lain dulu,” kata Nadia sambil menggandeng Dava pergi.
Risty menatap Nadia dan Dava dengan pandangan jijik. Ingin sekali ia melepas higheelsnya dan menghajar keduanya. “Senang-senang katanya?”
“Sabar, Ris,” ujar Bayu.
“Kak Nadia benar-benar nggak tahu diri, Kak. Lihat dia! Nggak ada perasaan bersalah, malah terlihat sangat bahagia. Gila, ya?” semprot Risty dengan suara pelan.
“Udah, udah. Oke?” Bayu mencoba menenangkan adiknya yang emosi.
“Levon? Risty?” tegur seseorang di belakang Levon.
Mereka menoleh dan mendapati tatapan kaget mamanya Cassie. Wajah Beliau terlihat sangat pucat. “Tante?”
“Kalian... kalian kenapa bisa di sini?”
“Kak Nadia mantannya Levon, Tante. Dan kami diundang,” jawab Risty.
“Tapi... kalian nggak ada yang kasih tahu Cassie, kan?” tanya Mama Cassie dengan nada cemas.
“Tante, kami nggak mungkin sejahat itu. Kami sadar, Cassie pasti sedih kalau tahu semua ini,” jawab Levon berusaha menenangkan Mama Cassie. “Kami sepakat merahasiakannya dari Cassie.”
Mama Cassie tampak bernapas lega. “Tadinya Tante hampir memberi tahu Cassie kalau Nadia akan tunangan dan menikah. Ketika Tante membaca nama Dava di undangan, Tante juga sedih. Tante nggak kuat kalau harus memberi tahu Cassie.”
“Tante, nggak apa-apa. Tante nggak salah.”
“Tante juga nggak bisa menyalahkan keluarga Nadia yang memang nggak mengenal Dava. Nadia sendiri mengetahui Dava dan Cassie bersama. Kenapa...” Mama Cassie tak kuat melanjutkan kata-katanya. Mata beliau berkaca-kaca.
Risty merangkul Mama Cassie. “Tante jangan nangis. Mungkin memang Dava nggak ditakdirkan buat Cassie. Tante yang sabar, ya! Suatu hari Cassie akan dapat yang lebih baik dari pada Dava.”
Mama Cassie mengangguk-anggukkan kepalanya. Mencoba menahan kesedihannya. Beliau menatap Levon yang justru cemas menatapnya. “Kamu sendiri? Kamu nggak sakit melihat Nadia bersama yang lain?”
Levon menggeleng sambil tersenyum. “Levon bisa menerima semua ini, Tante. Seperti kata Risty, Nadia bukan ditakdirkan untuk Levon.”
“Apa kamu tahu Cassie dan Dava bersama?”
“Levon nggak tahu, Tante. Tiga hari yang lalu Levon baru tahu dari Risty. Kebetulan Risty adiknya teman Levon di Singapura, Bayu.”
Bayu segera menyalami Mama Cassie. “Bayu, Tante.”
“Baiklah. Tante berterima kasih sama kalian.”
“Sama-sama, Tante.”
“Ayo, kumpul semua! Udah mau acara penukaran cincin,” kata Mama Nadia seraya menghampiri mereka.
Dava dan Nadia menuju ke arah tengah ruangan. Semua tamu yang hadir melingkari kedua pasangan tersebut. Mama Nadia pun menuju ke arah mereka dengan sebuah bantalan yang berisi cincin pertunangan mereka. Nadia mengambil salah satu dan memasangkannya ke jari manis Dava dengan senyum bahagia. Saat Dava akan memasangkan cincin yang satunya lagi ke jari manis Nadia, gerakannya terhenti. Wajahnya pucat. Matanya tertuju ke arah pintu depan dengan kaget.
“Cassie?” desisnya.
Semua menoleh dengan kaget ke arah pintu depan. Cassie tegak di pintu dengan mata berkaca-kaca. Bahkan Mama Cassie hampir jatuh kalau tak ditahan Levon.
Dava kembali meletakkan cincin ke bantalan itu. Ia menuju ke arah Cassie dengan langkah pelan.“Cassie…”
Cassie hanya menatap Dava tajam dengan mata berkaca-kaca. “Aku ke sini bukan untuk menganggu acara kamu. Aku hanya ingin mengembalikan ini,” kata Cassie sambil menyerahkan sebuah kotak beludru merah pemberian Dava. “Ini cincin yang pernah kamu kasih ke aku. Aku kembalikan.”
Dava menerimanya dengan tangan bergetar. Cassie pun berbalik pergi. Dava spontan menahan tangan Cassie. “Aku bisa jelasin semua ini!”
“Aku nggak butuh penjelasan apapun. Lepasin tangan aku!” tegas Cassie tanpa menoleh ke arah Dava. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya yang siap tumpah.
“Kamu harus dengar dulu!”
Cassie berbalik dan menatap marah. Belum sempat ia membalas kata-kata Dava, ia terbelalak melihat Levon, Risty dan Bayu berada di sana. “Kalian? Kenapa kalian bisa ada di sini?” Air mata Cassie mulai mengalir.
Levon mendekati Cassie. “Nadia adalah mantan gue yang gue ceritain,” jelas Levon yang membuat Cassie kaget.
“Elo, Ris?”
“Gue…”
“Lo udah tahu, tapi lo nggak bilang sama gue? Lo masih anggap gue teman atau bukan sih, Ris?” marah Cassie di sela-sela tangisnya.
“Cassie, gue...”
“Cassie, Risty hanya…” Mama Cassie mencoba menjelaskan kedatangan Risty. Tapi kata-katanya tertahan melihat kemarahan Cassie.
“Mama juga! Mama nggak tahu kan, kalau Cassie ngelihat undangan itu di kamar Mama? Kalian semua jahat !” seru Cassie. Ia kembali menatap Dava. “Aku kecewa sama kamu dan Kak Nadia!!” seru Cassie yang kemudian berlari pergi.
“Cassie!” seru Levon sambil berlari mengejarnya.
“Sebenarnya ini ada apa?” tanya Mama Nadia yang tak mengerti kondisinya.
“Tante nggak tahu? Anak Tante udah merebut Dava dari Cassie! Cassie dan Dava sudah bersama selama dua tahun. Maaf kalau aku kasar, Tante!” seru Risty yang membuat Nadia terisak hebat di pelukan mamanya yang terkejut.
“Kak Nadia, maaf kalau Risty harus mengatakan ini. Kalau Kak Nadia punya hati, Kakak nggak akan nyakitin Cassie yang tulus sayang dan percaya sama kakak.”
Kemudian Risty menoleh ke arah Dava. “Lo udah lihat? Lo udah puas sekarang? Lo sama Kak Nadia bukan hanya nyakitin Cassie. Tapi, nyakitin kami semua! Lo sama Kak Nadia benar-benar menjijikkan!” marah Risty sambil menarik Bayu pergi.
Dava hanya bisa menunduk. Sedangkan Nadia, ia terus menangis dipelukan mamanya. Ia tak menyangka pestanya bisa kacau seperti ini. Disaksikan tamu pula.
Sementara itu, Levon mendapati Cassie menangis di taman yang tak jauh dari perumahan Nadia. Ia duduk di sebelah Cassie.
“Cas…”
Cassie langsung memeluk Levon dan menangis sepuasnya. Levon hanya bisa membelai rambut Cassie untuk menghiburnya. “Cas, lo jangan sedih. Lo harus kuat.”
“Kenapa semua jahat sama gue? Kenapa Dava dan Kak Nadia tega sama gue? Salah gue apa?”
“Lo nggak salah apa-apa. Dava yang bodoh. Lo harusnya terima kasih karena Tuhan nyadarin lo, kalau Dava nggak baik buat lo. Kalau dia tulus sama lo, dia nggak mungkin khianatin lo sama Nadia.”
Cassie mendongak. “Kenapa lo masih bisa kuat begini? Gue tahu hati lo pasti sakit.”
Levon tersenyum. “Seperti yang gue bilang tadi. Pertama, Tuhan nyadarin gue. Kedua, gue anggap Nadia memang bukan jodoh gue. Ketiga, gue beranggapan kalau dia nggak pantas buat gue.”
Cassie melepaskan pelukannya. Ia menatap Levon dengan tatapan tak percaya. “Kok gitu? Bukannya kita yang nggak pantas?”
“Itu lah salahnya kita. Saat kita gagal dalam suatu hubungan, kita selalu beranggapan kalau kita nggak pantas untuk pasangan kita. Sekarang kita balik aja. Kita anggap mereka yang nggak pantas buat kita. Selain bisa menghibur diri, kita nggak akan terlalu lama sakitnya.”
Cassie mengangguk tanda mengerti.
Levon mengangkat dagu Cassie, lalu dengan kedua jempolnya ia menghapus air mata Cassie sambil tersenyum manis untuknya. “Gue antar lo pulang, ya!”
“Gue nggak siap pulang sekarang.”
“Lalu lo mau ke mana?”
Cassie tampak berpikir. “Gue... Gue boleh nginap di rumah lo?”
Levon terkejut. “Tapi, besok lo harus sekolah. Lo bermaksud bolos?” tanya Levon yang diangguki Cassie. “Dengarin gue! Lo nggak bisa menghindar terus-terusan. Lo juga nggak boleh marah sama tante. Tante nggak salah. Tante hanya nggak mau lo terluka dan sakit kayak gini. Risty juga begitu. Lo ngerti?”
Cassie mengangguk. “Iya, gue tahu gue salah. Gue butuh satu hari aja, Lev. Nggak lebih.”
“Ya, sudah. Kalau begitu, gue ambil mobil dan ngabarin mama lo biar nggak khawatir. Lo tunggu di sini dan jangan kemana-mana!!”
“Ya.”
“Satu lagi! Hapus air mata lo. Lo jelek kalo nangis kayak gitu.”
Cassie pun tersenyum malu-malu. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya walaupun air matanya tak mau berhenti mengalir. Sementara itu, Levon kembali ke rumah Nadia untuk mengabari mereka semua dan mengambil mobilnya.
***
Leon pulang ke rumah dengan keadaan lelah. Ia habis bermain basket dengan teman-temannya. Saat ia masuk ke kamarnya, ia kaget melihat Levon ada di dalam kamarnya sedang berkutat dengan laptopnya.
“Kakak kok ada di kamarku?” tanya Leon curiga.
Levon menoleh. “Kamar kakak ditempati sama Cassie.”
Leon terkejut. “Cassie? Cassie tinggal di sini? Ngapain?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang.
Levon menghela napas berat. Ia memutar kursinya menghadap Leon. “Tadi Cassie ke pesta pertunangannya Dava.”
“Dava tunangan??” tanya Leon semakin terkejut.
“Kamu kenal Dava?” pancing Levon.
Leon tersadar ia telah keceplosan. “Sekedar tahu aja, kok. Mm... emang Dava tunangan sama siapa, Kak?”
“Sama mantan kakak.”
Mata Leon semakin membesar. “Jadi calon suami Kak Nadia itu Dava? Kenapa Kak Nadia bisa setega itu? Dia kan…” Leon kembali bungkam.
Levon tersenyum. “Nggak apa-apa. Kakak udah tahu semuanya. Cewek yang dari dulu kamu taksir itu Cassie, kan?”
“Kakak tahu dari mana?” tanya Leon yang hanya digelengi Levon. “Oh…Risty, kan?”
“Emangnya kenapa kalau Risty?”
Leon hanya mendengus kesal. Risty emang nggak bisa jaga rahasia. Dasar cewek! Ia bangkit dari duduknya dan menuju kamar mandi. Levon sendiri hanya tersenyum dan kembali melanjutkan tugasnya.
Suasana makan malam membuat Leon bungkam. Jujur ia gerah melihat Cassie lama-lama. Bukannya ia benci, tapi ia gelisah. Apa lagi Levon sengaja menempatkan Cassie duduk di depan Leon. Alhasil, Leon hanya bisa makan dengan diam.
“Cassie, makan yang banyak, ya!” pinta Mama Levon sambil tersenyum.
Cassie mengangguk. “Terima kasih, Tante,” kata Cassie. “Mm... Tante, maaf kalau Cassie ngerepotin, sampai nginap di sini lagi.”
Mama Levon tersenyum. “Levon udah cerita semuanya. Tante maklum, kok. Kamu harus kuat dan tabah. Jangan lemah seperti itu. Kalau kamu terlihat sedih dan lemah, bukan hanya kamu yang sedih. Tapi mama kamu, Tante, Levon dan juga Leon.”
Leon hampir aja tersedak mendengar perkataan mamanya. Ia langsung meraih gelasnya dan minum. Levon tersenyum geli melihat tingkahnya.
“Ya, Tante. Cassie akan coba.”
Mama Levon tersenyum lagi. Kali ini beliau menoleh ke arah Leon. “Leon, dulu kamu satu sekolah dengan Cassie, kan? Kamu kenal Cassie?”
Leon tidak jadi menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Mm… hanya sebatas tahu. Dulu pernah sekelas.”
Cassie menatap Leon. Ia teringat kata-kata Risty. Mm... Leon tahu nggak ya, kalau aku udah tahu semuanya? Tentang perasaan dia ke aku? Saat Leon balas menatapnya, Cassie langsung menunduk dan melanjutkan makannya.
“Cas, besok gue bakal ajak lo jalan-jalan. Mungkin sedikit refreshing bisa membuat lo lebih tenang,” kata Levon.
Cassie menoleh dan mengangguk sambil tersenyum.
Selesai makan malam, Cassie duduk di teras rumah Levon. Ia menatap bintang yang berhamparan di langit dengan indahnya. Tiba-tiba aja air matanya mengalir.
Dava, aku nggak ngerti kenapa kamu tega nyakitin aku seperti ini. Kalau kamu tunangan dengan gadis lain, aku mungkin nggak sesakit ini. Tapi, kamu tunangan sama Kak Nadia, kakak sepupu aku sendiri.
“Lo lagi ngapain?” tanya sebuah suara.
Cassie menoleh. Ia cepat-cepat menyeka air matanya. “Nggak ngapa-ngapain. Hanya lihat bintang.”
Leon duduk di sebelahnya. “Lo ingat Dava lagi?”
“Iya. Rasanya sakit banget.”
Leon mengangguk-angguk. “Gue ngerti kok perasaan lo. Gue tahu hati lo sakit banget. Lo udah lama jadian sama Dava.”
“Thank’s, Leon,” ucap Cassie sambil tersenyum.
Leon mengangguk dan tersenyum. Cassie terkejut. Untuk pertama kalinya ia melihat Leon tersenyum. Senyum yang tulus dan tanpa terpaksa.
“Gue baru pertama kali lihat lo senyum begitu. Gue pikir lo itu orang yang cuek, dingin dan penyendiri. Ternyata lo juga care banget, ya?”
Dipuji begitu oleh Cassie, pastinya Leon jadi malu. Ia menunduk dan tersenyum sendiri. Ia mencoba menguasai dirinya dan mengangkat wajahnya kembali. “Bukan hanya lo. Risty juga berpendapat seperti itu. Bedanya dia bisa dekat sama gue.”
Cassie tersenyum. “Risty memang sangat pandai bergaul. Gue juga salut banget dia bisa temenan sama lo. Gue aja nggak bisa temenan sama lo. Gue takut sama lo. Lo kelihatan galak.” Terpaksa Cassie harus memberikan alasan seperti itu. Ia tak mau menyakiti Leon kalau berkata yang sesungguhnya bahwa ia tak mengingat Leon.
“Galak?”
Cassie mengangguk. “Jadi, lo jangan beranggapan gue nggak mau temenan sama lo. Gue hanya takut.”
Leon mengulurkan tangannya. “So, will you be my friend?”
Cassie terperangah. Ia pun menyambuti tangan Leon dan tersenyum. “Sure!”
Di belakang mereka, Levon tersenyum sendiri. Kakak lega. Akhirnya kamu bisa mengatasi semuanya.
***