Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) Kalau Cinta, Jangan Bohong! 

Undangan

            Keesokan harinya, Risty menjadi pendiam di hadapan teman-temannya. Selagi yang lain mengobrol sambil bercanda di kantin, ia hanya bisa menatap Cassie dengan pandangan iba. Kemarin, ia, Bayu dan Levon berjanji akan merahasiakan pertunangan Dava dan Nadia dari Cassie.

            Tiba-tiba Cassie menoleh. “Lo kenapa, Ris? Perasaan hari ini lo diam banget?”

            “Nggak apa-apa, kok. Gue hanya nggak enak badan. Semalam gue keluar sama Kak Bayu sampe malam.”

            “Kak Bayu udah pulang?” tanya Cassie, Carol dan Nora serentak.

            Risty memaksakan diri untuk tersenyum. “Iya. Sorry, gue lupa kabarin ke lo semua. Kak Bayu cuma pulang untuk menghadiri….” Risty menutup mulutnya. Hampir saja ia keceplosan.

            “Menghadiri apa?” tanya Carol.

            Risty berusaha memutar otaknya untuk memikirkan sesuatu. “Em... seminar! Ya, seminar.”

            “Seminar? Ngapain dia jauh-jauh hadirin seminar di Indonesia? Penting?” 

            “Gue juga nggak ngerti. Yah... urusan Kak Bayu ini. Gue juga nggak tahu.”

            Carol mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, kakak lo udah punya cewek belum? Tambah ganteng nggak?”

            “Huh!!” seru Cassie sambil mengetok kepala Carol.

            Risty hanya tersenyum. “Kak Bayu masih jomblo, kok. Tambah ganteng juga. Ntar bisa lo gebet, deh.”

            “Serius lo?” tanya Carol dengan mata berbinar-binar. “Lo setuju kalo gue jadi kakak ipar lo?”

            “Itu kalau Kak Bayu mau sama lo!” tegas Risty yang membuat Cassie dan Nora tertawa terbahak-bahak.

            “Ris, gue ikut ke rumah lo, ya. Please!” ratap Carol dengan mata memohon. “Sumpah gue kangen banget sama Kak Bayu. Please...,” rajuk Carol sambil mengatupkan kedua tangannya.

            “Boleh. Kalian semua juga boleh ikut, kok!” sahut Risty yang membuat mereka berseru senang.

***

            Pulang sekolah, mereka menuju rumah Risty dengan mobilnya. Sementara Cassie sudah meminta supirnya untuk pulang.

            “Rumah lo sepi banget, Ris? Nggak ada orang, ya?” tanya Cassie.

            Risty melempar tasnya ke ranjang empuknya. “Biasanya juga begitu, kok. Gue aja malah jarang ketemu orang tua gue,” katanya sambil merebahkan tubuhnya. “Mama dan papa gue kerja pagi, pulang malam. Nggak ada waktu buat ketemu. Makanya kepulangan Kak Bayu sedikit buat gue senang.”

            Cassie, Carol dan Nora saling berpandangan. Mereka sudah tahu kondisi Risty. Ia kekurangan kasih sayang orang tua. Sejak ia lahir, ia diurus seorang suster yang sudah seperti ibu kandungnya. Tak sekalipun kedua orang tuanya menengoknya atau menanyakan kabarnya. Orang tuanya tinggal mentransfer uang ke rekeningnya, selesai sudah.

            Orang tua Risty sama-sama pengusaha. Keduanya mengelola sebuah perusahaan terkenal. Sedangkan Bayu, kakaknya ikut merasakan hal yang sama, sehingga memilih bekerja di luar negeri. Hal itu membuat Risty semakin terpuruk.

            “Mm... Kak Bayu ke mana, Ris?” tanya Nora mencoba mencairkan suasana.

            “Lagi tidur kali. Semalam kan keluarnya sampai malam banget,” jawab Risty sekenanya. Kemudian ia mengangkat tubuhnya dan duduk. “Cas, teman Kak Bayu namanya Levon. Dan Levon kenal sama lo. Berarti yang nabrak mobil lo itu temannya Kak Bayu.”

            Cassie kaget. “Oh ya? Wah, dunia emang sempit, ya.”

            “Orangnya gimana?” tanya Carol bersemangat.

            “Dia tampan banget, Car! Kak Bayu kalah,” ledek Risty sambil tertawa. “Kalian ingat cerita gue tentang kakak ganteng?” tanya Risty yang diangguki mereka bertiga. “Levon orangnya.”

            “Jadi, nggak berpikiran jelek lagi kan sama Levon?”

            “Iya deh, iya.”

            “Jadi Kak Bayu mana?” tanya Carol yang disambut tepukan jidat mereka masing-masing. Carol nyengir tak bersalah. “Ih, wajar kan? Udah lama loh suka sama dia.”

            “Carol setia banget, ya? Padahal dulu Kak Bayu ngejar Kak Cindy, kan?” tanya Nora yang seketika membuat Carol menghela napas. “Maaf, maaf, gue...nggak bermaksud gitu.”

            Carol menggeleng. “Nggak apa-apa kok, Ra. Kenyataannya kan emang begitu.”

            “Mumpung Kak Cindy udah nikah, lo gebet gih tuh Kak Bayu! Tapi, tergantung… kalau Kak Bayu nya mau sama lo.” Risty langsung tertawa terbahak-bahak. Carol segera menimpuknya dengan bantal secara bertubi-tubi.

            “Ris!” panggil seseorang di pintu kamar Risty. 

            Semua menoleh dengan kaget.

            “Kakak? Nggak bisa ketuk pintu dulu apa? Gimana kalo Risty lagi ganti baju?” protes Risty sambil berkacak pinggang.

            Bayu hanya nyengir. “Ada kalian rupanya? Apa kabar semua?” tanyanya dengan senyum mautnya.

            “Baik,” jawab Nora dan Cassie. Sementara Carol, ia hanya bisa bengong.

            “Kok lo nggak jawab gue, Car?” goda Bayu yang sukses membuat Cassie, Nora dan Risty menahan tawa mereka.

            “Ba-baik, kok. Kak Bayu sendiri?” tanya Carol agak gugup.

            “Baik banget,” jawabnya. “Ris, Kakak mau pergi ke rumah Levon. Pulangnya agak malam,” kata Bayu. “Lo mau ikut, Cas? Lo kenal Levon, kan?”

            Cassie tersenyum. “Nggak usah, Kak. Besok aja Cassie ke sana.”

            “Hari ini mamanya Levon keluar dari rumah sakit, loh.”

            “Ha? Bukannya besok?”

            Bayu mengangkat bahu. “Kondisi mamanya udahbaik, jadi diperbolehkan pulang. Minggu depan mamanya bakal menjalani operasi pengangkatan seluruh benjolannya yang ternyata bukan tumor ataupun kanker.”

            Cassie tersenyum lega. “Wah, syukurlah. Titip salam aja buat Levon dan mamanya. Thanks ya, Kak.”

            “Ok. Bye, semua.”

            “Tumben lo diam?” ledek Risty ke Carol yang masih terpana. Padahal Bayu sudah pergi dari tadi. “Hm... ada yang jatuh cinta beneran, nih!” 

            “Apaan sih kalian?” tegur Carol pura-pura marah.

            “Cie!” seru mereka bertiga yang langsung ditimpuk bantal oleh Carol. “Udah ah, gue mau pulang. Sibuk di rumah.”

            “Sok sibuk lo!”

            “Ya udah deh, yuk! Udah hampir siang banget juga. Kasihan Risty ntar kemaleman pulangnya gara-gara nganterin kita,” ujar Cassie segera memakai tas-nya.

            “Santai aja. Ayo, gue antar satu persatu!”

            Risty mengantar Nora duluan, lalu menyusul Carol yang minta diturunkan di depan perumahan. Ia sengaja menahan Cassie karena ada yang ingin ia bicarakan.

            “Cas, ada yang mau gue bicarain sama lo.”

            Cassie menoleh. “Tentang apa?”

            “Lo masih ingat Leon?”

            “Leon?” Cassie mengernyitkan dahinya. “Leon adiknya Levon?” tanya Cassie yang diangguki Risty.

            “Lo benar-benar nggak ingat dia sama sekali?”

            Cassie semakin bingung dibuat Risty. Melihat kebingungan Cassie, Risty menghela napas. Menyerah membuat Cassie ingat dengan sosok Leon.

            “Lo sadar dia pernah satu sekolah bahkan satu kelas sama kita waktu kelas sepuluh?”

            Cassie menganga. “Serius?”

            Risty menepuk jidatnya. “Ampun, Cas! Lo benar-benar nggak ingat? Otak lo encer, tapi lemot kalau ngenalin orang.”

            Cassie memukul lengan Risty. “Ih, nggak usah berbelit-belit. Cerita!”

            “Iya, iya, sabar,” ujar Risty. “Jadi dia pernah suka sama satu cewek di sekolah kita. Tapi, ceweknya udah punya pacar. Dia sih ngelarang gue buat bilang, soalnya gue kenal ceweknya. Lalu nggak tahu kenapa tiba-tiba anak futsal tahu kalau dia suka sama cewek yang ternyata pacar kaptennya.” Risty sengaja menghentikan ceritanya lalu menoleh ke arah Cassie sejenak. Wajah Cassie berubah pucat. “Gue nggak perlu lanjutin cerita gue, kan? Lo tahu kan siapa kapten futsal kita dulu dan ceweknya?”

            “Lo harusnya kasih tahu gue, Ris,” keluh Cassie pelan. “Waktu gue nanya Dava kenapa anggota itu dipukulin, Dava cuma bilang itu hukuman karena buat kesalahan. Itu seingat gue aja tentang Leon. Tapi, gue benar-benar nggak tahu itu Leon dan bahkan nggak ingat sekelas sama dia.”

            “Ya udah, nggak apa-apa. Gue kasih tahu lo karena kami sempat bahas itu. Dan gue juga nggak kuat lama-lama nyimpan rahasia.”

            “Thank’s ya, Ris. Lo udah bisa menjawab pertanyaan Levon selama ini dan nyadarin gue.” Cassie memberikan senyum termanisnya dan dibalas Risty dengan hal yang sama.

            Risty menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Cassie. “Bye, Cas.”

            “Bye. Thanks, ya udah anterin.”

            “Sama-sama.”

            Cassie turun dari mobil Risty dan melambaikan tangannya hingga mobil Risty menghilang dari pandangannya. Sambil menghela napas ia berbalik dan masuk ke dalam rumahnya.

            “Ma,” panggil Cassie setelah di dalam rumah. Karena tak ada yang menyahut Cassie memutuskan ke kamar mamanya. “Ma... Mama.”

            Cassie mengerutkan keningnya karena tak menemukan mamanya. Ia melihat sesuatu di atas meja rias mamanya. Cassie mendekat dan mengambil undangan itu. Dan ketika ia membuka undangan tersebut, ia tak percaya dengan dua nama yang tertulis di situ. 

            Undangan terjatuh dari tangannya. Air matanya ikut mengalir begitu aja. Kakinya terasa lemas tak mampu berpijak. Dengan pelan ia kembali memungut undangan tersebut dan diletakkan di tempatnya semula. Dengan sisa tenaga ia menuju kamarnya dan menangis sepuasnya.

            Dava dan Kak Nadia. Kenapa bisa begini? Kenapa mereka tega? Salah aku apa? Kenapa kamu bisa khianatin aku sama kakak sepupuku sendiri? Kenapa nggak kasih tahu dan mutusin aku? 

            Cassie mengigit jarinya, menahan suara tangis yang siap meledak. Air matanya tak berhenti mengalir. Kenangan-kenangannya bersama Dava terus berputar di benaknya. Bahkan Cassie merasa tak ada yang salah dengan hubungan mereka.

            Kenapa mama juga nggak kasih tahu? Apa aku nggak berhak tahu? Kenapa? Apa mereka berpikir akan lebih baik kalau aku nggak tahu dan terus bermimpi bersama Dava nantinya? 

            Cassie bangkit dari tempat tidurnya dan membuka laci nakas sebelah kasurnya. Ia mengambil sebuh kotak beludru merah. Ia membuka kotak itu perlahan. Di sana ada dua cincin yang melingkar dengan indah. Cassie kembali mengingat peristiwa sehari sebelum Dava berangkat ke Singapura.

 

            “Cas, cincin ini aku beli buat kita. Sampai nanti saatnya, aku janji kita akan memakainya. Kamu mau menunggu aku, kan?” tanya Dava sambil menyerahkan kotak itu.

            Cassie mengangguk sambil menahan tangis harunya. Dava tersenyum dan memeluknya dengan erat. Cassie tak mampu lagi membendung air matanya.

            “Aku pasti tunggu kamu Dava. Aku nggak akan berhenti nunggu kamu.”

            “Aku menyayangimu, Cas. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

            “Aku juga Dava.”

 

            Cassie kembali terisak meningingat semua itu. Kesetiannya, penantiannya semua sia-sia aja. Dava tega mengkhianati dirinya dengan orang terdekat Cassie sendiri.

***

            Sementara di tempat lain, Dava duduk di tepi ranjangnya dengan wajah tertunduk. Kelelahan dan kesedihan terlukis jelas di wajahnya.

            Maafin aku Cassie. Maafin aku. Aku yang salah. Aku bukan sengaja mengkhianati kamu, ini semua di luar mauku. Maafkan aku. Aku tetap menyayangimu sampai kapanpun. Aku tahu, tak ada seorang pun yang akan memberitahumu soal pertunangan dan pernikahanku dengan Nadia. Biarlah berakhir begini aja. Kamu pantas membenciku, Cas. Sangat pantas.

***