Contents
Misi Menikahi Suami
04. Debat Kusir
“Aku enggak pernah merebut Mas Al dari kamu atau wanita manapun.”
Andin terdiam. Ia tidak menyangka setelah Aldebaran meninggalkannya berdua saja dengan wanita ini, ternyata bukan kata-kata dari Andin yang pertama kali terlontar.
“Kapan kamu berhenti bekerja di perusahaan Mas Al ... Elsa?”
Bibir Andin gemetaran ketika ia berhasil menyebutkan nama wanita itu. Wanita yang ia tahu adalah asisten pribadi Aldebaran.
“Dari sekian banyak pertanyaan, itu yang pertama kali harus kamu tahu?”
Andin menatap mantap Elsa. “Ya. Aku harus bertanya dari awal.”
“Aku rasa kamu tahu kalau aku dan Mas Al kenal dari SMA.”
“Aku rasa kamu belum jawab pertanyaan aku.”
Elsa tersenyum lantas sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Andin. “Aku rasa Mas Al terlalu melebih-lebihkan soal kamu yang pendiam.”
Andin ingin sekali menerjang wanita itu, ingin mencakar habis wajah cantik nan mulus milik Elsa, tetapi ia tahu kalau dirinya harus menahan diri.
“Aku hanya berusaha mempertahankan suamiku.”
“Aku enggak mau memperpanjang apalagi mempersulit masalah ini. Kamu tahu, kami sangat menghargai kamu. Bisa saja kami menikah, tapi aku enggak ingin sungguh-sungguh menjadi yang kedua karena aku tahu di hati Mas Al hanya ada aku, yang pertama dan satu-satunya.”
Perut Andin melilit, matanya memanas, tetapi ia tidak mau kalah. Meski hatinya teriris-iris Andin harus mempertahankan rumah tangganya.
“Kalau memang begitu, kenapa sebutan nyonya Aldebaran Alfahri bisa berada di tanganku?”
Senyum di wajah Elsa lenyap. “Ya. Aku juga mempertanyakan itu. Sedari awal sungguh mempertanyakan itu. Kamu tahu, ketika Tante Rosa akan menjodohkan kamu dengan Mas Al, Mas Al menolak lalu mengajakku ke rumah. Memperkenalkan aku sebagai calon istrinya.”
“Kenapa aku yang bersanding di pelaminan sebagai istrinya?”
“Kenapa? Aku juga mempertanyakan itu. Kenapa dia?”
“Orang tua selalu tahu yang terbaik untuk anaknya.”
“Lalu kenapa Mas Al enggak bisa memalingkan hatinya dariku?”
“Karena kamu enggak bisa melepaskan dia.”
Elsa memberikan satu senyum tipis. “Kami enggak sepicik apa yang ada di kepala kamu Andin, tapi memang kami saling mencintai.”
Andin bangkit dari sofa. “Cinta? Kalian menyebutnya sebagai cinta? Cinta itu enggak pernah menyakiti pihak lain!” sentaknya menunjuk Elsa yang kemudian itu berdiri.
“Aku juga enggak pernah mau berada di posisi ini!”
“Dia suamiku!”
“Apa yang kamu mau pertahanankan Andin? Ego kamu? Bagaimana kamu bisa terus bersama dengan lelaki yang bahkan selalu memikirkan wanita lain saat bersama kamu? Saat menyentuh kamu?”
“Jaga bicara kamu!”
“Kenapa? Apa perlu aku panggil Mas Al untuk membenarkan semua yang aku ucapkan? Mau sampai kapan kamu menahan Mas Al?”
Refleks Andin meraih pajangan porselen di atas meja. Mencengkeramnya erat hingga ia pun merasakan sisi pajangan itu melukai telapak tangannya.
“Kamu mau melemparkan benda itu ke arahku? Silakan Andin, silakan. Sebagai wanita, aku juga enggak mau berada di posisi ini, tapi kamu enggak bisa bayangkan apa yang selama ini aku dan Mas Al lalui.”
“Kalian, kalian enggak bisa melakukan ini padaku!”
Elsa meraih tasnya dari sofa. “Terserah kamu mau percaya atau enggak, tapi aku enggak pernah menahan Mas Al. Bahkan sampai detik ini pun, aku enggak pernah meminta dia untuk meninggalkan kamu. Dia berjalan atas kesadarannya sendiri. Dia yang datang padaku.”
Pajangan porselen yang di genggam Andin terlepas ketika Elsa pergi meninggalkannya. Tangan Andin yang gemetaran menyentuh dadanya, ia bisa merasakan degup jantungnya mulai menggila.
“Seharusnya pernikahan ini enggak pernah terjadi. Aku minta maaf karena melibatkan kamu.”
Spontan Andin berbalik menatap Aldebaran dan Elsa yang sudah berada di ambang pintu.
“Aku salah karena membiarkan semua orang percaya kalau kita telah lama bercerai dan aku sudah menikah lagi dengan Elsa.”
Runtuh sudah dunia Andin. “Kamu bicara apa, Mas?”
“Ya, kamu enggak salah dengar. Setelah kondisi ginjal mama memburuk sejak dua tahun lalu, aku minta Elsa untuk mengundurkan diri, aku mengatakan kalau aku sudah menceraikan kamu dan—“
“Jadi, ini alasan kamu enggak pernah lagi mengizinkan aku untuk ikut semua kegiatan kantor kamu, Mas?”
Tanpa ragu Aldebaran mengangguk. “Ya, Elsa yang menggantikannya karena memang seharusnya begitu.”
“Jahat kamu, Mas!” pekik Andin yang tidak sadar sejak kapan ia mulai menangis.
“Aku enggak mau memperpanjang masalah ini. Mulai hari ini aku akan keluar dari rumah ini.”
Andin menyeka air matanya. “Enggak, Mas! Untuk apa aku tinggal di sini? Toh kamu juga enggak pernah anggap aku sebagai istri kamu, 'kan?”
“Ya.”
Tidak banyak bicara lagi, Andin berlari ke kamarnya, tergesa ia mengeluarkan koper dari lemari, memasukkan pakaiannya ke dalam koper lantas keluar dari kamar.
“Aku keluar dari rumah, tapi jangan kamu harap aku akan setuju untuk bercerai dari kamu, Mas!”
***
“Ndin.”
Andin berhenti melipat pakaian-pakaian yang baru ia angkat dari tiang jemuran. Ia tersenyum lantas bergeser untuk mempersilakan ibu asuhnya duduk di sebelahnya. “Kenapa Bunda?”
“Hampir dua minggu kamu menginap di sini, kamu sama Al enggak lagi bertengkar, 'kan?”
Senyum Andin lenyap, ia ragu, tetapi ia menggeleng. Rasanya belum siap untuk menceritakan semuanya. Andin cemas kalau-kalau bundanya ikut memikirkan masalah ini. “Enggak, Bun. Mas Al itu ke luar kota. Andin takut di rumah sendirian. Mas Al juga kasih izin Andin untuk sementara tinggal di sini, kok, Bun.”
Wanita bernama Sofie yang dipanggil bunda oleh Andin juga anak-anak panti meraih tangan Andin, mengusapnya pelan. “Kamu tahu enggak, dulu, sewaktu Mama Rosa bilang ingin sekali menjodohkan kamu dengan anaknya, berkali-kali Bunda tanya sama beliau, apa yang buat beliau yakin betul mau menjodohkan kamu dengan anaknya. Bunda bahagia sekaligus cemas kalau-kalau kamu akan kesulitan nantinya karena kamu bukan berasal dari kalangan yang sama dengan beliau.”
“Bunda, Mama Rosa selalu baik sama Andin.”
Bunda Sofie mengangguk. “Iya. Bunda tahu. Almarhumah itu sayang sekali sama kamu. Almarhumah bilang, kamu adalah wanita yang tepat untuk anaknya, kamu bisa menjaga anaknya, menyayangi anaknya sepenuh hati.”
Beban dalam dada Andin kembali membesar, haruskah ia menceritakan segalanya tentang masalah rumah tangganya bersama Aldebaran.
“Andin, kamu selalu tahu kalau Bunda senang kamu mau berbagi beban atau masalah kamu, Nak.”
“Bun.”
Bunda Sofie melepaskan tangan Andin lantas merogoh saku lalu mengeluarkan selembar kertas yang sudah dilipat. “Maaf, Bunda lancang sudah membuka surat ini Andin.”
“Surat?”
Bunda Sofie mengangguk. “Surat ini datang dua hari yang lalu. Bunda minta maaf karena enggak langsung kasih ke kamu. Bunda, Bunda bingung Andin.”
Andin membuka lipatan kertas itu. Padahal baru judul surat yang ia baca, tetapi surat itu terlepas dari tangannya. Tubuhnya membeku, Andin tidak bisa bernapas.
“Surat putusan cerai?” cicitnya.