Try new experience
with our app

INSTALL

ARMADILLO 

CHAPTER #1 - MOS

My prized possession

One and only

Adore ya

Girl, I want ya

The one I can't live without, that's you, that's you

You're my special little lady

The one that makes me crazy

Of all the girls I've ever known, it's you, it's you

My favorite, my favorite, my favorite

My favorite girl, my favorite girl

Ratusan pasang mata menatap kagum saat sosok lelaki mengakhiri nyanyian dan petikan gitarnya dengan sempurna. Cowok yang kini sedang beranjak dari kursinya itu begitu memukau, mempesona dan menghipnotis ratusan pasang mata yang sedang menatapnya di atas panggung. Gemuruh riuh tepuk tangan membahana memenuhi gedung aula serbaguna SMA Bina Harapan. 

Kalian harus tahu, bukan hanya tepuk tangan yang bergemuruh dalam ruangan itu, tapi juga teriakan melengking dari cewek-cewek yang sejak awal sudah heboh menyaksikan penampilan sosok cowok itu dengan menyerukan namanya.

"RAKA... I LOVE YOU!!!" Teriak kompak dari setiap sudut ruangan itu. Siapapun yang dengar mungkin akan budek sesaat.

Bukan hanya suara dan keahliannya memainkan gitar saja yang berhasil menghipnotis semua orang, tapi juga parasnya yang tampan sudah pasti menjadi daya tarik nomor satu bagi cowok bernama Raka itu.

"Tepuk tangan sekali lagi untuk Raka Ganoza yang sudah mau menghibur kita meskipun secara terpaksa!" seru Farhan dan langsung disambut gemuruh tepuk tangan siswa-siswi baru.

Baru saja Farhan mau mempersilahkan Raka turun dari atas panggung, tapi batal karena dia melihat Bimo sedang berjalan menghampiri seorang siswi baru yang tertidur di barisan paling belakang.

Bimo berjalan santai menuju barisan paling belakang dan mendapati siswi baru yang sedang tidur pulas. Ketika cowok berkaki panjang itu sudah sampai di depannya, dia mencoba membangunkannya sambil menepuk bahu cewek berkepang dua itu. Hingga tiga kali Bimo menepuk bahu siswi itu tapi belum juga bangun. Bimo perlahan jongkok disampaing tubuhnya, matanya melirik ke arah badge name siswi itu, seketika timbul niat jahilnya. 

"DISA PUTRI VIRANDIES!!!" Teriak Bimo dengan lantang tepat ditelinganya.

Sontak cewek yang bernama Disa itupun bangun dan langsung berdiri tegap, "Siap, Kak!"

"Apanya yang siap?" tanya Bimo dengan tatapan melotot.

Disa memperhatikan sekelilingnya yang sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan bingung. Tapi akhirnya dia tersadar lagi-lagi dia tertidur tidak tahu tempat dan waktu.

Celaka dua belas, bakalan kena hukum ini mah. Runtuknya dalam hati. 

Disa kembali mengedarkan pandangannya lagi dan mendapati semua mata sudah fokus menatap kearahnya dengan tatapan tegang dan cemas.

"Pulas banget ya tidur lo. Berasa putri tidur?" tanya Bimo dengan tatapan intimidasi.

Degup jantung Disa saat ini berdetak kencang dan tangannya mulai berkeringat. Dengan kepala menunduk dia menjawab Kakak kelasnya itu, "Maaf, Kak, nggak sengaja."

"Jangan nunduk! Liat gue!"

Cepat-cepat Disa mengangkat kepalanya dan menatap Bimo. Ditatapnya manik mata cowok bertubuh tinggi itu dengan wajah memelas. Berharap  ada belas kasihan dari cowok yang ada dihadapannya saat itu.

"Kenapa lo tidur? Habis begadang, apa ngeronda??" Lagi-lagi Bimo melotot, dan nada suaranya tegas.

Disa menggit bibir bawahnya, ini pertama kalinya cewek bertubuh mungil itu dibentak oleh orang yang tidak dia kenal. Sudah badan kecil, dibentak pula, Disa merasa tubuhnya semakin mengecil di tempatnya saat ini.

Bagaimanapun juga, ini murni ketidaksengajaan. Semua karena tugas kerajinan tangan dari Panita MOS yang harus selesai dan dibawa hari ini juga. Jelas saja dia harus begadang menyelesaikannya karena dia memang tidak mempunyai bakat untuk membuat kerajinan tangan, apalagi yang harus jadi dalam semalam. Batinnya membela diri.

Disa memutar otak mencari alasan yang pas untuk menjawab pertanyaan Bimo. Mustahil jika dia harus menjawab dengan jujur, sementara yang lain juga mendapat tugas yang sama tapi tidak ada yang tertidur selain dirinya. Cari mati namanya.

Semua mata masih menatap dua orang itu, menunggu kelanjutan hukuman apa yang akan Bimo berikan ke Disa. Kalau kemarin ada yang datang terlambat dan dihukum membersihkan toilet, ada yang tidak memakai dasi saja dihukum mengepel koridor sekolah. Entah hukuman apa yang akan Disa dapatkan dari Bimo. Dalam hati dia berdoa supaya Bimo kerasukan Malaikat dan tidak menghukumnya.

***

Keesokan harinya, hari terakhir MOS.

Disa merasa tubuhnya seperti habis digebukin warga satu kampung. Gara-gara tertidur kemarin saat MOS, dia jadi dihukum membersihkan ruang aula yang mereka gunakan kegiatan MOS. Bimo benar-benar tidak membiarkan dirinya lolos dari hukuman. Tidak peduli bagaimanapun usahanya memelaskan wajahnya, Bimo tetap memberikan dirinya hukuman.

Si Kakak kelas itu malah melarangnya pulang sebelum aula itu benar-benar bersih. Meskipun sudah dibantu dengan beberapa temannya dan beberapa panitia, tetap saja dia mendapat bagian paling banyak untuk membersihkan aula. Mulai dari mungutin sampah, menyapu, buang sampah sampai membakar sampah. Untungnya tidak sepaket disuruh ngepel, kalau sampai itu terjadi mungkin hari terakhir MOS dia tidak akan hadir karena terkapar di tempat tidurnya.

Hari ini, MOS ditutup dengan upacara bendera dan sudah berakhir sejak sepuluh menit yang lalu. Di hari terakhir MOS ini, setiap siswa-siswi disuruh membawa cokelat untuk diberikan kepada siapa saja yang ingin mereka berikan sebagai tanda persahabatan, perkenalan, ucapan terima kasih atau permintaan maaf. Kata kakak-kakak panitia, mau kasih buat gebetan juga tidak apa-apa sih.

Disa masih menggenggam cokelatnya, sejak tadi malam dia berpikir keras mau ngasih cokelat itu ke siapa. Namun, pagi tadi dia teringat Ruri, seorang teman baru yang selama tiga hari ini satu kelompok dengannya. Ruri juga sudah menolong dan membantunya kemarin menyelesaikan hukuman dari Bimo. Dia bersyukur ada Ruri yang menemaninya hingga akhir menyelesaikan hukumannya.

Matanya celingukan mencari sosok Ruri, tapi tidak ditemukannya sosok Ruri di tengah lapangan,. Dia berjalan ke pinggir lapangan berharap menemukan gadis itu disana.

Tiba-tiba tali sepatu Disa terlepas, dia jongkok untuk mengikatnya. Ketika sudah selesai mengikat tali sepatunya, Disa berniat untuk kembali melangkah mencari sosok Ruri. Namun di hadapannya sekarang ada sosok seorang cowok yang entah dari mana datangnya. Cowok yang dilihatnya kemarin ada di atas panggung sambil memegang gitar. Raka.

Raka menatapnya datar, tapi langsung ke manik-manik mata Disa. Hanya tiga detik, namun dia bisa melihat dengan jelas warna mata Disa, cokelat pekat. Cowok bertubuh tinggi itu mengalihkan tatapannya ke arah tangan Disa yang menggenggam cokelatnya erat-erat. Seakan-akan cokelatnya mau dicuri atau dirampas dan bawa kabur  seperti yang biasanya dilakukan Novan, Kakaknya.

Tanpa disadari, tubuh gadis itu sudah terpana dengan ketampanan wajah Raka yang dengan jelas bisa dia lihat dari jarak sangat dekat seperti ini. Disa menatap mata cowok itu lurus-lurus, dia merasakan ritme detak jantungnya tidak seperti biasanya. Hanya satu yang terlintas dalam kepalanya, ganteng banget, banget, banget!

"Mau ngasih gue cokelat juga?" Tanyanya tiba-tiba hinga membuat Disa cengo seketika.

Disa masih diam di tempatnya, lalu gerakan mata wajah Raka yang menunjuk cokelat ditangannya itu menggunakan dagu menyadarkannya.

"Oh, ini.. ini buat..."

Belum sempat Disa menyelesaikan kalimatnya, cowok itu sudah ngeloyor pergi.

Disa sempat ingin memanggilnya, tapi batal begitu menyadari segerombolan cewek-cewek seangkatannya dengan teriakan melengking sedang berlari ke arahnya. Mereka berlari seperti banteng, mengejar Raka dengan ganas. Disa langsung menyingkir, kalau tidak, dia pasti sudah jatuh terkena serudukan gerombolan cewek-cewek itu.

Disa menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, memiringkan kepalanya dan tersenyum penuh arti. Tatapan matanya mengikuti arah langkah kaki Raka yang kian menjauh. Dia masih saja terpana, tapi sedetik kemudian dia menghela nafas yang dalam.

Raka cakep banget. Tapi keliatannya dingin banget, gumamnya.

***

Saat Disa masih berpikir dan senyum-senyum sendiri dengan matanya yang masih terus tertuju pada sosok Raka, bahunya ditepuk oleh seseorang.

“Senyum-senyum mulu, awas kesambet lho!”

Disa menoleh dan mendapati Ruri sedang menertawainya. Wajahnya memerah karena malu.

"Ngagetin aja sih, lo! Chat gue kenapa nggak dibalas?”

Ruri nyengir kuda, “Sorry, gue belum ada megang handphone dari tadi. Hehehe...”

“Hmm, baiklah. Nih, coklat buat lo. Makasih ya kemarin udah bantuin gue." Disa menyodorkan cokelat yang dari tadi dipegangnya.

Jelas saja Ruri menerimanya dengan senang hati, siapa yang bakal menolak kalau dikasih cokelat, apalagi cokelat adalah cemilan favoritnya Ruri. Begitu Ruri melihatnya, ternyata itu coklat praline yang bentuknya imut dan lucu-lucu, sampai-sampai rasanya tidak tega untuk dimakan.

“Aaaa, thank you cantik! Gue tuh suka banget sama coklat praline tau ngak.” Dipeluknya Disa sebentar lalu memberikan cokelat yang dia bawa juga. "Nih, cokelat buat lo juga, dari gue." Sambungnya sambil menyodorkan cokelat yang dia keluarkan dari dalam tasnya.

"Yakin nih buat gue? Nggak pengen lo kasih ke siapa gitu?" Disa menggoda Ruri, alis matanya dia mainkan turun naik.

"Harusnya gue yang nanya, ini cokelat beneran buat gue apa bukan?" Ruri terkekeh diakhir kalimatnya.

“Beneran dong, buat siapa lagi!” Disa tersenyum menyeringai.

“Oh, kirain mau ngasih ke Raka juga. Habis tadi gue perhatiin lo ngeliatin dia dari jauh sambil senyum-senyum nggak jelas,” ledek Ruri sambil menahan tawanya.

Belum sempat Disa membalas ledekan Ruri, tiba-tiba ada tangan lain yang muncul menyodorkan cokelat di hadapan Disa. Dua gadis itupun mendongak bersamaan untuk melihat si pemilik tangan itu.

"Ini buat lo."

Disa terkejut, "Kak Bimo?"

"Sorry, buat hukuman yang kemarin," ucapnya sambil tersenyum, manis sekali. Ekspresi wajah yang berbeda dari hari kemarin, tatapan mata yang melotot dan wajah jutek.

"Oh, iya nggak apa-apa, Kak. Lagian emang salah gue kok," ucapnya sambil tersenyum kaku.

"Tapi itu jadi buat lo pulang malam. Maaf ya, Disa."

Saat Bimo menyebut nama Disa itu nadanya terdengar menggemaskan, sampai-sampai membuat Ruri terkekeh dan menyikut Disa.

Bimo akhirnya sadar ada Ruri di samping Disa, dia tau gadis itu kemarin juga ikut membantu menyelesaikan hukuman bersih-bersih aula. "Oh, iya, makasih lho kemarin udah bantuin Disa juga."

"Iya, sama-sama, Kak. Disanya udah bilang makasih kok tadi. Nih dikasih cokelat," sahut Ruri sambil nyengir kuda dan menerima sikutan kecil dari Disa.

Disa tersenyum walau agak dipaksakannya. Agak aneh menurutnya, Bimo yang dari hari pertama dia tahu sangat galak dan jutek, tiba-tiba jadi baik dan memberikannya cokelat. Padahal kemarin dia sempat dongkol karena Bimo menahannya tidak boleh pulang, meskipun hukumannya sudah selesai dia kerjakan. Pokoknya harus tunggu sampai Bimo bilang sudah boleh pulang. Alhasil dia baru sampai dirumah pukul tujuh malam.

Disa tahu sih, marahnya kakak kelas saat MOS itu cuma acting, iya cuma acting, tapi bikin nyeri hati juga kalau tiba-tiba kena omel dari mereka. Gerak dikit dijutekin, senyum dikit disinisin, serba salah deh pokoknya. Tapi mau bagaimana lagi, kakak kelas memang selalu benar, adik kelas selalu salah. Kalau kakak kelas salah, ya balik lagi ke awal, kakak kelas selalu benar. Ckckck.

"Nih cokelatnya. Dimakan ya! Gue ke sana dulu." Bimo mengambil tangan kanan Disa dan meletakan cokelat yang dihiasi pita berwarna merah itu ditangannya.

Sebelum pergi, Bimo tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepala Disa, membuat Disa bukannya terpana tapi malah mengerutkan keningnya. 

Apaan sih, pake kedip-kedipin mata segala. Sok manis, padahal jelas-jelas kemarin Bimo jutekin dia, ngomel-ngomelin dia, dan sekarang tiba-tiba muncul memberikannya cokelat, ditambah lagi bersikap sok baik setelah kemarin dia dibentak-bentak. Bahkan Bimo tidak memberikannya istirahat. Ketika dia sudah selesai menyapu, setiap kali dia mau duduk untuk mengumpulkan kembali kekuatannya, Bimo sudah menyuruhnya lagi mungutin sampah, membuang sampah dan membakarnya. Pokoknya Disa tidak akan lupa bagaimana Bimo menyiksanya kemarin.

Disa mendengus kesal.

“Ceileh yang dapat cokelat dari Kak Bimo, si ketua OSIS yang cakep tapi jutek. Hahaha...” Kali ini Ruri tidak bisa menahan tawanya untuk mengejek Disa.

TUK!

Sebuah jitakan mendarat mulus di kepala Ruri membuatnya meringis kesakitan sambil memegang bekas jitakan dari Disa. “Sakit tau!”

Tiba-tiba sebuah chat masuk di handpone Disa.

Jangan bengong kayak tadi lagi, imutnya nggak nahan! Sekali lagi sorry buat kemarin. Sengaja, gue jutekin. Supaya pertemuan kita nempel terus di memory kepala lo! –Bimo

Mata Disa melotot seperti telur dadar, mulutnya bahkan menganga saking tidak percaya kakak kelasnya yang kemarin bersikap jutek itu mengiriminya chat.

Tunggu dulu, dari mana orang itu mendapatkan IDnya Linenya. Seingatnya, dia belum pernah memberikan ID Line-nya kepada siapapun di sekolah ini kecuali Ruri. Belum sempat Disa berpikir, apalagi menaruh rasa curiga kepada sohib barunya itu, Ruri tiba-tiba mengguncang lengannya.

"Dis, liat deh! Itu kok rame banget ya?"

Disa memasukan kembali handpone ke dalam saku bajunya lalu menoleh ke arah yang ditunjuk Ruri. Kepalanya goyang sana sini supaya bisa melihat apa yang sedang dikerumuni cewek-cewek itu. Ternyata Raka, cowok dingin yang langsung tenar seanteroan sekolah.

"Kenapa sih ganteng banget?" Gumam Disa pelan, tapi Ruri bisa mendengarnya dengan jelas.

Lagi-lagi Ruri menangkap ekspresi aneh di wajah Disa. Sejurus kemudian Ruri langsung mencubit pipi Disa dengan pelan, tapi terasa nyeri di pipi gadis itu hingga membuatnya meringis kesakitan. Sengaja, biar dia tersadar dari mesem-mesemnya itu.

Disa protes, "Kok dicubit sih?"

"Mau ikutan ngasih Raka coklat juga ngak? Mumpung cokelatnya belum gue makan nih." Ruri menyodorkan kembali cokelat yang diterimanya dari Disa tadi.

Ditanya begitu Disa semakin senyam-senyum tidak jelas, matanya membentuk bulan sabit dan pipinya berubah merah merona. Ruri hanya geleng-geleng kepala sambil menertawakan teman barunya itu.

Matanya kembali memperhatikan sosok Raka yang kini jadi alasannya semangat datang ke sekolah. Dari jauh cowok itu terlihat kewalahan dan terasa sesak dikerumuni cewek-cewek yang ingin memberikannya cokelat. Raut wajahnya terlihat cuek, tak acuh, dan tidak peduli dengan sekelilingnya, bahkan dari semua sodoran cokelat tidak ada satupun yang dia sentuh.