Try new experience
with our app

INSTALL

Dalam Ribuan Hari Tentang Melukai 

6. Berulang Kali

Belajar terbang dengan sayap yang patah.

--------------

“Adneka, Ayah udah berapa kali bilang jangan membenci mama kamu.”

“Adneka ... kamu dengar Ayah?”

Adneka menjatuhkan air matanya saat itu. “Ayah gak pernah ngerti. Aku gak pernah benci mama, Yah. Tapi mama yang benci Adneka. Mama yang benci kita berdua, Yah.”

“Sebenci apa pun mama kamu sama kita berdua. Gak seharusnya kamu selalu mengatakan kalau kamu cuma mau hidup sama Ayah. Kalau gak ada Ayah, cuma mama kamu yang bisa jaga kamu, Adneka.”

“Tapi ayah bohong.”

Iya, Adrian—ayahnya memang selalu mengatakan itu dan Adneka tidak akan pernah percaya. Buktinya kalau ayah bisa lihat sekarang, ia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, padahal mereka berada di satu rumah yang sama.

Di mana Katerina? Di mana wanita itu? Hanya Agneta keola yang dipedulikan olehnya. Hanya anak penyakitan yang disayangi oleh mamanya.

Adneka memeluk boneka katak pemberian ayahnya. Sangat erat hingga rasanya ia menyakiti dirinya sendiri dengan jari tangannya yang menggores kulit. Adneka terus berjalan mundur ketika di belakangnya ada kolam renang.

Rumah yang Adneka tinggali sekarang memang lebih besar dari rumahnya dahulu dengan ayah. Tetapi Adneka bahkan lebih merasa kesepian. Sangat merasa ketakutan tanpa ayah.

Lalu Adneka menjatuhkan dirinya ke air beserta dengan boneka katak yang ia peluk.

Makin dalam makin banyak air yang masuk ke hidung dan mulutnya. Tapi Adneka tidak peduli kalau ia harus mati di sini. Detik ini juga karena ia tahu tidak akan ada yang peduli.

Kecuali ayah.

Ayah pasti akan sangat marah mengetahui kematiannya nanti.

Tetapi sebelum kesadaran Adneka habis, ia masih merasakan tubuhnya ditarik ke atas dan cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat Adneka membuka mata. Suara-suara panik, ketakutan, dan lega seolah-olah bercampur menjadi satu saat mereka tahu kalau Adneka masih tertolong.

Hanya saja itu bukan suara mamanya. Apalagi suara ayah yang sudah tidak bisa Adneka dengar lagi.

“Non Agne!” teriak Bi Yiza khawatir dan mencoba membantu Adneka bersandar. “Alhamdulillah ya Allah. Gak terlambat.”

Sementara Pak Ridwan, sopir pribadi keluarga itu tampak basah seluruh tubuhnya padahal masih mengenakan pakaian lengkap. Tapi beliau lebih bersyukur karena masih bisa menyelamatkan nyawa manusia yang tidak seharusnya pergi.

“Non Agneta?” tanya Pak Ridwan memperhatikan anak majikannya yang belum memunculkan suaranya. “Non baik-baik saja, kan?”

Bi Yiza pun sudah memberikan handuk untuk menyelimuti tubuh Adneka yang terlihat begitu lemas. Napas Adneka mulai teratur walaupun ia kini masih berada di tepi kolam renang. Matanya memperhatikan Bi Yiza dan Pak Ridwan yang menantikan dirinya berbicara.

“Kenapa gak biarkan aku mati aja, Bi?”

Bi Yiza terkejut mendengar permintaan anak majikannya. “Saya gak mungkin biarin Non niat bunuh diri gini. Dosa, Non Agne.”

“Adneka, Bi.”

“Ya, Non?” tanya Bi Yiza bingung.

“Namaku Adneka, Bi.” Jawaban Adneka begitu pelan namun masih terdengar oleh Bi Yiza dan juga Pak Ridwan yang sekarang terkejut mendengar itu. “Nama saya Adneka, Pak Ridwan.”

Adneka tersenyum melihat ekspresi Bi Yiza dan Pak Ridwan yang sekarang masih bertanya-tanya. Bi Yiza yang tersadar lebih dulu membantu anak majikannya itu untuk berdiri.

“Ayo, Non, sekarang duduk di dalam. Di luar gini dingin nanti malah sakit.”

Mereka semua berjalan perlahan sambil menuntun Adneka yang baru saja ingin bunuh diri. Apalagi tentang pengakuan cewek itu yang baru saja didengar oleh dua orang tua di dekatnya.

Bi Yiza mengusap rambut Adneka yang basah. “Tapi Ibu gak pernah kasih tau Bibi tentang Non Adneka. Dan pas saya panggil pakai nama Non Agne juga Non Adneka gak marah.”

“Benar.” Pak Ridwan menyahut. “Non Adneka juga bukannya tampil di TV, kan? Dan namanya Agneta. Bapak gak salah lihat dan dengar.”

Seharusnya sekarang Adneka menangis mendengar penuturan itu. Tapi ia tidak bisa mengeluarkan air matanya, hanya senyuman tipis dengan penuh kesakitan. “Pak Ridwan yang bukan orang tua saya bisa sadar kalau yang muncul di berita-berita itu saya. Sementara mama ... saya jadi Agneta aja dia gak peduli.

“Kalau tadi saya mati juga mama malah senang.” Adneka kembali melanjutkan ucapannya. “Ya kan, Bi? Benar kan, Pak?”

* * *

Hari ini Luka sedang datang ke tempat salah satu production house yang pernah bekerja sama dengannya. Mereka sedang mengadakan acara makan malam bersama dengan para tim dan artis-artis. Luka sendiri pun sudah berada di sana dan perhatiannya langsung tertuju kepada Raffa berni yang sedang asyik mengobrol dengan orang-orang di tempat itu.

Luka yang diajak berfoto bersama pun tampak menerima dengan perasaan tidak begitu senang. Ia harus segera berjalan untuk berbicara dengan Raffa. Akhirnya kesempatan pun datang saat Raffa berbalik badan dan melihat keberadaan Luka di sana.

Cowok itu memberikan salam ke Luka. “Lo datang juga, Ka. Gue pikir lo sibuk syuting.”

“Lo juga,” balas Luka cepat. “Sibuk promosi film baru.”

“Ah iya, film gue bareng Agneta keola.” Raffa tampak tersenyum seolah-olah tidak ada masalah dengan berita yang waktu itu tersebar di media sosial.

Luka menaikkan alisnya bingung namun ia tetap ingin berbicara dengan Raffa. “Gue ketemu Paula, sepupu lo.”

“Di mana?” tanya Raffa penasaran. “Kok lo bisa ketemu dia? Dia kan bukan artis, gak pernah juga datang ke tempat syuting kalau bukan karena mau ketemu gue.”

“Gue masuk sekolah umum dan ternyata bareng Paula.” Luka menjawabnya lagi. “Dan sama partner akting lo juga. Agneta.”

Raffa mengangguk. “Gue udah tau kalau Paula sama Agneta memang satu sekolah.”

Raffa yang terlihat santai malah makin membuat Luka kebingungan harus memulai percakapan dari mana untuk membahas Agneta. Ia meneguk pelan air di gelas yang sedang dirinya pegang. Beruntungnya Raffa tidak langsung pergi dari sekitar Luka.

“Bukan maksud gue mau ikut campur, tapi ... lo pacaran sama Agneta?” tanya Luka merasa menyesal setelahnya ketika melihat tawa yang tercipta dari Raffa.

“Nggak,” balas Raffa sambil membenarkan jaket yang sedang dipakai cowok itu. “Tapi gue suka sama dia.”

“Lo suka sama dia?” ulang Luka terkejut mendengarnya.

Raffa mengangguk. “Tapi berita yang tersebar kemarin sebenarnya memang bukan gue yang lakuin itu. Gue tau Agneta yang gak sengaja upload videonya. Dan kalau mereka semua tau kenyataannya, Agneta malah tolak gue.”

“Tapi, Raf, lo yakin naksir sama cewek yang suka cari masalah? Agneta bahkan gak cuma buat skandal di kariernya, tapi juga di sekolah. Gue yang murid baru aja tau kalau Agneta dan sepupu lo sering ribut, Raf.”

“Lo yang gak kenal dia, Ka.” Raffa menggeleng sangat tidak setuju dengan pandangan Luka terhadap Agneta. “Dia itu cewek paling baik menurut gue. Dia bahkan gak tenang kalau lihat orang lain kesusahan. Dan selama gue syuting sama dia kemarin, dia terlalu banyak salah, Ka. Ya kayak ... dia baru akting pertama saat itu.

“Gue sih gak ambil pusing. Tapi yang buat gue amazed setiap kesalahan aktingnya selalu ada kata maaf berulang kali. Berulang kali sampai semua tim produksi merasa kebingungan sendiri.”

Raffa sudah ingin pergi dari Luka, tapi kata-kata terakhirnya membuat terngiang-ngiang di pikiran Luka. “Mungkin Paula yang buat masalah sama Agneta. Gue tau sepupu gue kayak gimana. Dia senang lihat orang lain menderita.”

Mana mungkin Agneta seperti itu?

Luka sangat tidak percaya.

* * *