Try new experience
with our app

INSTALL

Dalam Ribuan Hari Tentang Melukai 

5. Membuatnya Terluka

Aku ingin memeluk seseorang, tapi aku hanya bisa memeluk diriku sendiri.

----------

“ADNEKA!”

Teriakan ayahnya memanggil dari belakang ketika Adneka sedang asyik memainkan air di danau sekitar rumahnya. Ia pun berbalik untuk melihat ayahnya yang paling tampan itu dengan senyuman lebar.

Adneka berlari dengan cepat hingga ia sampai di pelukan ayahnya. Mata Adneka mengarah pada pakaian ayahnya yang sangat rapi yaitu kemeja berwarna biru tua dan di dada sebelah kanannya ada nama Adrian.

Ya, Adrian. Nama papanya yang Adneka sebut tampan sejak tadi.

“Ayah udah pulang kerja?” tanya Adneka manja, ia pun masih memegang tangan ayahnya agar tidak pergi.

“Udah.” Adrian ikut tersenyum setelah memberikan jawaban. “Ayah izin pulang cepat karena putri Ayah yang cantik ini lagi ulang tahun.”

Mata Adneka berbinar mendengar ucapan itu. “Ayah, kita mau rayain ulang tahun aku?”

Adrian mengangguk. “Iya, dong. Ayah harus rayakan ulang tahun putri Ayah bagaimana pun kondisinya. Karena hari ini, hari bahagia kamu.”

Kini Adrian menggenggam tangan putrinya dan mengajak Adneka untuk kembali ke rumah mereka. Di sana sudah ada kue dan hadiah yang sudah beliau belikan untuk putrinya itu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana karena langkah Adneka sendiri sudah seperti berlari saking tidak sabarnya.

Adneka melepaskan tangannya sendiri dari genggaman Adrian dan membuka pintu rumahnya dengan semangat. Ia pun langsung melihat hiasan-hiasan ulang tahun dengan perpaduan antara warna biru dan putih. “Ayah, bagus banget.”

Adrian pun langsung berjalan ke arah kue ulang tahun dan menyalakan lilinnya. Tidak ada orang lagi selain mereka berdua. Tapi suara Adneka dan Adrian sudah cukup untuk mengisi kegembiraan mereka hari ini.

Happy birthday, Adneka. Happy birthday, Adneka. Happy birthday. Happy birthday. Happy birthday, Adneka.”

Adrian yang telah bernyanyi mengatakan kepada putrinya. “Make a wish!”

Adneka mengangguk lalu menutup dan kedua tangannya saling menyatu untuk meminta harapan. “Aku harap Ayah selalu sehat supaya Ayah bisa menjagaku terus. Aku harap Adneka dan Ayah gak pernah berpisah. Adneka mau selamanya sama Ayah.”

Seketika Adrian terdiam mematung mendengar harapan putrinya. Tetapi Adneka tidak pernah menyadari karena dia sibuk meniup api pada lilin ulang tahunnya.

“Ayah, kadonya mana?”

Adrian mendengar pertanyaan itu mendadak tersenyum dan ia pun meraih sebuah boneka cukup besar berbentuk katak. Boneka itu sudah berpindah ke tangan Adneka yang memperhatikan hadiah pemberiannya dengan bingung.

 Boneka itu sudah berpindah ke tangan Adneka yang memperhatikan hadiah pemberiannya dengan bingung

“Kenapa boneka katak, Yah? Memangnya di toko gak ada teddy bear ya?”

Mendengar kebingungan Adneka membuat Adrian harus menjelaskan. “Teddy bear gak punya hal spesial menurut Ayah. Tapi boneka katak malah berhasil buat Ayah ingat putri Ayah ini.”

“Ayah!” kesal Adneka menyadari itu. “Aku bukan katak. Masa Ayah samain sama katak sih? Jorok!”

“Nggak gitu, Adneka. Boneka katak itu lucu, coba perhatikan lagi!” Adrian pun memegang boneka itu dan menghadapkan ke arah putrinya. “Katak itu memiliki sifat juga seperti manusia. Manusia bisa ceria dan penuh bahagia. Katak juga bisa, Adneka. Katak itu hewan yang mampu membuat keceriaan di tempat-tempat yang bahkan berbahaya sekali pun karena mereka merasa mampu dan kuat menghadapi segala cobaan yang akan mereka hadapi.

“Tapi yang menurut Ayah lihat kamu dan katak itu sama-sama ceria dan kuat. Keceriaan dan kekuatan kamu berhasil membuat orang lain juga ikut merasa bahagia dan mampu melawan rasa takut. Sama seperti setiap kali Ayah ikut merasa bahagia hanya lihat putri Ayah tersenyum. Dan Ayah juga mampu kuat menghadapi hari-hari yang mungkin bagi Ayah berat, tapi dengan adanya putri Ayah semuanya terasa mudah.”

“Tapi Adneka ceria dan kuat juga karena ada Ayah di sini.”

Adrian mengangguk paham. “Katak juga ceria dan kuat karena hal sederhana saat mereka bisa nyaman tinggal di satu tempat. Sama seperti kamu yang senang karena Ayah ada di sini dan menyayangi kamu, Adneka.”

* * *

Bunyi tarikan dan embusan napas terdengar ketika ventilator yang menutup hidung serta mulutnya dibuka sebentar. Alat itu kembali terpasang untuk membantunya bisa bernapas lagi agar dia tidak selalu merasakan sesak.

Matanya terbuka perlahan melihat ke setiap sudut ruangan sampai akhirnya ia bisa melihat mata yang menenangkan menatapnya penuh harap cemas. Mamanya. Mamanya yang selalu menunggu dan menjaganya setiap kali ia merasakan sakit.

“Dokter bilang keadaan kamu akan pulih. Tapi kamu juga harus semangat. Jangan sampai menyerah!”

Ketegasan pada ucapan mamanya seolah-olah mengatakan kalau beliau kuat. Padahal ia menyadari ada getaran penuh ketakutan setiap kali kata yang keluar dari mulutnya.

“Agneta!” panggil mamanya sekali lagi mengusap kepalanya yang berkeringat padahal ia sangat kedinginan. “Kamu bisa dengar Mama, kan?”

Dadanya bergerak mencoba mencari udara yang terasa tertahan, penuh sesak, dan begitu menyiksa. Tapi di antara kesakitan yang ia rasakan, ia tetap mencoba tersenyum di balik ventilator yang terpasang lalu mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Berapa pun biaya rumah sakit yang harus Mama keluarkan. Yang terpenting bagi Mama, putri kesayangan Mama. Agneta Mama yang cantik harus sembuh.”

Air mata mamanya kali ini tidak terbendung. Ia mengenal mamanya yang sejujurnya memang tidak pernah terlihat kuat. Apalagi beliau yang menjaganya sejak dulu seorang diri.

“Agneta,” panggil mamanya lagi. “Kita harus sama-sama berjuang ya?”

Untuk kedua kalinya ia mengangguk menjawab keinginan mamanya. Sudah sejak dua bulan yang lalu kondisinya menurun. Ia pun tidak pamit ke semua orang yang dirinya kenal. Tidak ada yang tahu ke mana perginya seorang Agneta keola. Lagi pula mungkin tidak akan ada yang mencarinya.

Yang terpenting sekarang ia harus berjuang melawan penyakitnya sendiri. Demi dirinya dan juga demi mamanya.

“Sekarang kamu istirahat dulu ya,” ucap mamanya yang akan melangkah keluar dari ruangan ini. “Kalau butuh apa-apa langsung panggil Mama atau dokter.”

Sudah tahu letak tombol untuk memanggil ketika dirinya butuh bantuan jadi Agneta hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Lagi dan lagi belum ada suara yang mampu keluar dari mulutnya ketika rasa sakit mengalahkan segala hal yang bisa dirinya lakukan.

Sementara wanita itu keluar dari ruangan putrinya dan akan bertemu dengan dokter yang sedang menunggu di ruangan dokter putrinya itu. Tidak banyak berbasa-basi lagi, beliau ingin segera tahu bagaimana perkembangan kondisi dari putrinya.

“Bu Katerina.”

“Iya, Dok. Bagaimana kondisi Agneta? Apa pernapasannya masih terganggu?” tanya wanita itu lagi dengan suara yang sangat khawatir.

“Agneta masih perlu bantuan alat pernapasan, Bu. Karena penyakit paru yang diderita anak Ibu masih perlu pembersihan apalagi setelah melihat hasil rontgen, keadaannya masih belum benar-benar sehat, Bu. Agneta masih perlu pengobatan lebih lanjut sampai dia sudah bisa bernapas dan tidak merasa sesak lagi.”

Katerina, wanita itu hanya bisa mengangguk saja. Ia tidak mengerti apa yang akan dilanjutkan oleh paramedis, hanya saja yang lebih penting mereka semua bisa membantu Agneta. Membantu putri kesayangannya sembuh dari sakit.

Tetapi satu hal yang paling menyakitkan bagi Katerina. Ia baru mengetahui kalau penyakit itu menurun dari mantan suaminya sendiri. Dari orang yang paling Katerina benci.

Dia bukan hanya membuat Katerina terluka, tapi juga putrinya—Agneta keola.

* * *