Contents
"Halo, Cantik!"
Artikel 7: “Cara Menyelidiki Nomor Telepon yang Mengganggumu”
“JADI, nggak bisa kalau mengecek alamat rumah dari nomor telepon, Pak?” Aku mengusap wajah dengan frustrasi.
“Betul sekali, Ibu,” suara laki-laki di seberang sana menjawab pertanyaanku dengan keramahan khas customer service. “Ada lagi yang bisa kami bantu?”
Lelah, aku langsung menggeleng—lupa kalau customer service itu takkan bisa melihat ekspresiku. Saking frustasinya, aku langsung saja menutup sambungan telepon saat laki-laki itu tengah mengucapkan salam penutup. Semoga saja dia tidak sakit hati.
Setelah meletakkan ponsel ke meja, aku segera memijat kening yang terasa berdenyut. Di kepalaku sekarang sedang terjadi peperangan antara logika vs realita. Secara logika, menurutku telepon hantu itu tidak masuk akal. Aku percaya mahluk halus dan teman-temannya itu ada, tapi pandanganku sedikit berbeda untuk telepon hantu. Sama seperti saat melihat film Ringu, bagian saat Sadako menelepon calon korbannya selalu membuat sebelah alisku terangkat—walau itu tidak mengganggu kenikmatanku menonton film horor legendaris tersebut. Buktinya aku tetap saja menjerit heboh setiap kali adegan hantu berambut ikonik itu merangkak keluar dari televisi.
Itu secara logika.
Oke, mungkin aku sudah membuat kesalahan mendasar dengan bawa-bawa logika dalam hal pergaiban. Lha wong keberadaan hantu saja sudah tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, kan? Jadi, yah, mungkin saja hantu yang bisa pakai telepon itu betul-betul ada dan telepon hantu itu mungkin terjadi. Lagipula, realitanya, Natasha dan Satya juga mencoba menelepon nomor itu tapi tak ada nada sambung yang terdengar. Sedangkan aku....
Lamunanku terputus sampai sana. Otak sialan ini tiba-tiba saja memutar kembali rekaman suara yang selalu berhasil membuatku merinding.
“Halo, Cantik....”
“HUAAA!” Refleks aku menjerit panik dan menutup telinga sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rambut-rambut halus di tangan dan tengkukku mendadak berdiri. Aku merinding. Detik berlalu, tiba-tiba aku ingat kalau.... kalau saat ini aku tengah berada di sebuah kafe di bilangan Jalan Dipati Ukur, dan... ups, wajahku langsung memerah saat melihat beberapa pengunjung kafe—termasuk seorang pelayan yang tengah mengantarkan pesanan—menoleh ke arahku dengan ekspresi mengecam.
“Ah....” Aku meringis malu. Wajahku memanas. “Maaf, maaf....” gumamku gugup sambil memundurkan tempat duduk supaya bisa membungkuk dan menyembunyikan wajah di balik laptop yang tengah menyala. Tak lupa kutarik hoodie oversized sweaterku semaksimal mungkin hingga nyaris menutupi wajah. Semoga saja orang-orang ini segera fokus pada kegiatan mereka masing-masing dan kembali mengabaikanku.
Butuh waktu hampir satu menit hingga aku cukup berani untuk kembali mengangkat wajah dan memindai sekitarku. Hufth, syukurlah! Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya pengunjung lain sudah kembali sibuk dengan urusan masing-masing, dan itu artinya aku bisa fokus dengan pekerjaanku lagi.
Ya, gara-gara insiden semalam dan juga ‘kejutan’ yang kutemukan tadi pagi, pikiranku betul-betul jadi tidak fokus. Walau sudah makan dan memelototi laptop selama berjam-jam, tak ada satu artikel pun yang kuhasilkan. Padahal Natasha sudah mengirim WA, mengingatkanku untuk mengirim sisa artikel paling lambat sore ini.
Karenanya, demi kefokusan kerja, aku memaksakan diri untuk pindah ke kafe langgananku untuk makan siang, minum kopi, dan tentu saja bekerja. Satu jam pertama, semua berjalan lancar dan dua artikelku selesai. Namun saat akan mencicil artikel untuk minggu depan, tiba-tiba saja keisenganku kumat. Penyebabnya karena aku tak sengaja melihat notifikasi kalau artikelku semalam sudah tayang di Hype Bandung dengan judul yang sudah diubah oleh Natasha:
Berani Telepon ke Nomor Ini? Siap-siap untuk Dihantui!
Artikel itu menjadi tajuk utama untuk kategori urban legend dan aku hanya bisa menghela napas panjang sambil mengusap wajah saat melihat judul yang maha menantang itu. Ya ampun.... Bagaimana kalau mendadak banyak yang mencoba telepon ke nomor itu? Bagaimana kalau ternyata ada juga yang diangkat teleponnya dan akhirnya dihantui oleh Pieter? Bagaimana kalau....
Oh?
Artikel ini sudah dibaca sebanyak 2497 kali dan sudah ada 357 komentar? Padahal Natasha baru tiga jam lalu mempublish artikel ini dan, whoaaa.... Saat buka Twitter, aku baru sadar kalau hashtag #teleponhantubandung jadi trending topic Twitter untuk wilayah Bandung.
Wow.
WOW!
Aku tercengang.
Selama enam bulan menulis artikel olah raga, baru kali ini tulisanku ada yang masuk kategori viral. Padahal sebelum ini aku cukup banyak mengupas berita olah raga yang cukup kontroversial—bahkan sampai mengancam keselamatanku, termasuk soal bandar judi olah raga daring yang disinyalir ada di Bandung. Namun seluruh perjuanganku itu langsung dimentahkan oleh artikel asal-asalan yang kutulis dalam keadaan setengah linglung. Alhasil saat ini aku bingung, haruskah aku bangga karena viral, atau justru merasa ironis?
Jemariku lantas bergerak membuka laman Twitter HypeBandung yang menampilkan tautan artikelku. Iseng, kubaca beberapa komentar yang ada di posisi teratas.
Netizen 1: Penulisnya pasti tante-tante kelahiran 80-an nih. Gue pengin liat siapa yang nulis.
Uhuk! Aku tersedak. Jemariku gatal pengin membalas dengan mengatakan kalau umurku baru 24 tahun. Untung aku bisa menahan diri. Untung juga aku selalu menulis menggunakan nama pena, jadi tak ada yang akan bisa menyelidiki tentang aku—kecuali orang dalam Hype Bandung, tentunya.
Netizen 2: Hantunya genit, sukanya sama yang cantik-cantik
Komentar itu membuatku langsung melirik layar ponsel yang gelap dan menampilkan pantulan diriku. Samar terlihat wajah kusut karena kurang tidur dengan lingkar mata kehitaman. Mungkin satu-satunya yang membedakan aku dengan panda hanyalah tahi lalat di ujung mata kiriku—karena aku belum pernah dengar ada panda yang punya tahi lalat. Rambutku pun tak kalah berantakannya karena tidak disisir—dan sedikit lepek karena lupa keramas. Dengan kata lain, aku saat ini—dan mungkin juga hari-hari lainnya—sangat jauh dari kata menarik. Namun teleponku malah diangkat oleh Pieter, dan bahkan dia mengatakan aku cantik.
Cantik, hah? Muatamu picek![1]
Kesal, aku kembali men-scroll komentar-komentar netizen lain.
Netizen 3: Gue coba telpon dan nggak nyambung, gaess!
Netizen 4: Eh bener, nggak ada nada sambungnya!
Nah, kan? Aku terkekeh. Nyaris saja kuingin mengatakan sesuatu semacam “itu artinya kalian kurang cantik”, tapi buru-buru kutahan. Toh nggak ada bagusnya juga dianggap cantik oleh hantu, kan? Karenanya, aku lanjut men-scroll komentar hingga menemukan satu yang menarik perhatianku.
Netizen 5: Ngomong-ngomong, nggak ada yang kepengin nyari ini telepon siapa? Yah, siapa tahu aja ada orang iseng.
Whoaaa!
Seketika aku seperti dapat pencerahan.
Benar juga, kenapa aku tidak mencoba mencari tahu siapa pemilik telepon itu ya? Siapa tahu ada orang iseng yang memang sengaja mendedikasikan satu nomor telepon rumah untuk mengerjai orang lain. Sedangkan suara sapaan itu... Bisa saja berasal dari mesin otomatis yang akan mengangkat telepon secara random. Iya, kan?
Berbekal pemikiran itu aku lantas mencoba menggoogling nomor 710XXXX di internet, tapi nihil—kecuali dari tautan berita Hype Bandung yang notabene adalah tulisanku sendiri. Sepertinya Natasha benar soal mitos ini populer saat internet belum terlalu banyak digunakan. Baru setelah beberapa waktu menggoogling tanpa hasil, akhirnya aku menghubungi 108. Namun tetap saja tak bisa melacak pemilik nomor itu karena operator tidak mau memberikan informasi alamat berbekal dari nomor telepon. Lain halnya kalau aku memberikan alamat, baru operator bisa memberikan nomor teleponnya—itu pun jika alamat tersebut menggunakan telepon rumah.
Hufth....
Lamunanku terputus saat notifikasi ponselku berbunyi. Keningku berkerut saat menyadari kalau siapa yang menelepon.
Lho, Ibuk? []
[1] Matamu buta (B.Jawa)