Contents
Cinta Lelaki Misterius
Bab 7
7
Cinta lelaki Misterius
Bab 7
Mobil yang ditumpangi Al dan Andin melaju cepat membelah jalanan yang relative lenggang.
Sedari tadi Al hanya terdiam memandang ke arah jendela, begitupun Andin yang masih merasa aneh dengan sikap Al, ia sibuk dengan pikirannya sendiri, menerka-nerka apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan sahabat terbaiknya selama enam bulan belakangan ini.
"Al kenapa ya? Sikapnya akhir-akhir ini suka berubah-ubah. Apalagi tiap kali kita berdebat soal cinta dan obsesi. Kenapa sih? Dia selalu meminta aku untuk memikirkan perasaan apa yang tengah aku rasakan untuk Nino? Padahal jelas itu rasa cinta. Aku mencintai Nino dan ingin hidup bersamanya. Dan itu sudah terjadi jauh sebelum aku mengenal Al. Jelas aku lebih paham akan apa yang aku rasakan dari pada Al yang hanya menilai berdasarkan apa yang ia dengar dariku," batin Andin menggerutu.
"Tapi sikap dia hari ini aneh banget. Apa jangan-jangan Al ... " Andin terdiam sejenak, melirik lelaki tampan di sisinya.
"Ah, nggak mungkin, nggak mungkin lah Al cemburu. Kalau dia cemburu itu artinya dia punya yang rasa lebih sama aku. Sedangkan aku tau banget, Al adalah sosok yang sangat jauh dari kata cinta dan asmara. Dia nggak mungkin semudah itu jatuh cinta, apalagi sejak awal dia tahu kalau aku mencintai Nino," lanjut Andin dalam hatinya, mencoba menepis kemungkinan-kemungkinan yang sempat bermunculan di benaknya.
Sedangkan di sisi lain, Al justru tengah sibuk merutuki dirinya sendiri.
"Kalau sudah begini siapa yang mau kau salahkan, Al? Kamu sudah tahu konsekuensinya sejak awal, tapi tetap nekat untuk terus melanjutkannya.
Kamu tahu mencintai akan berujung menyakitimu, tapi kamu abaikan segala nasihat dari hati nuranimu.
Dan kini, saat kau semakin merasa tersakiti, siapa yang akan kau salahkan? mau menyalahkan keadaan? Sungguh keadaan sama sekali tak bersalah.
Semua salahmu sendiri, Al. Kau takut akan panasnya api, tapi kau nekat bermain-main dengan api unggun dengan alasan ia dapat menghangatkan. Dan saat kini kau terbakar, kepada siapa kau akan mengeluh, Al?"
Batin Al penuh sesal.
"Tetap tenang, Al. Ingat selalu untuk mencintai tanpa mengharapkan balas kasih. Untuk terus memberi tanpa mengharapkan balas budi.
Fokus mencintai Andin dengan memberikan yang terbaik untuknya, menjaganya agar dia selalu baik-baik saja, jangan pernah mengharapkan balasan, karena itu hanya akan membuatmu terluka," lanjut Al menasihati dirinya sendiri.
"Al," panggil Andin.
"Hem?"
"Kamu kenapa sih?"
"Aku? Kenapa? Aku nggak apa-apa, kok," sahut Al sembari mengalihkan padangan.
"Tapi nggak biasanya kamu bersikap seperti ini, Al! Just tell me, what's wrong?" tanya Andin sembari meraih tangan Al dan menggenggamnya.
Sejenak Al merasakan getaran aneh dalam hatinya, getaran yang selalu ia rasakan saat merasakan sentuhan Andin. Entah mengapa, gadis di hadapannya benar-benar berhasil membuatnya jatuh cinta.
"Aku nggak apa-apa, Andin," sahut Al pelan seraya melepas tangannya dari genggaman Andin. Ia tak ingin terlalu terlena dalam hubungannya dengan Andin. Takut ia akan semakin berharap dan semakin sakit saat nanti kenyataan akan tak sesuai dengan harapan.
Melihat sikap penolakan Al, Andin tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Ia kembali terdiam dan termenung.
Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai tujuan, karena memang jarak tempat tinggal mereka yang tak jauh dari Rumah Makan Gudeg Yu Djum.
"Makasih ya, Pak, pembayaran sudah melalui aplikasi," ucap Al sesaat sebelum turun dari mobil.
"Iya, Mas, makasih," sahut Driver kemudian melaju pergi setelah memastikan penumpangnya turun dengan selamat dan tak meninggalkan suatu apapun.
"Aku duluan ya, Ndin. Makasih atas traktirannya, aku tunggu traktiran selanjutnya," ucap Al berusaha tampak baik-baik saja.
"Iya, sama-sama," jawab Andin yang masih diselimuti perasaan aneh atas perubahan sikap Al.
Melihat Al dan Andin yang baru datang, Pak Angga yang kebetulan sedang berada di kostan segera menghampiri.
"Mas Al, Mbak Andin," sapanya sopan.
"Eh, pak Angga, udah makan belum?" tanya Al ramah.
"Sudah, Mas. Oiya, ada tamu untuk Mas Al," jelas pak Angga membuat Al mengerutkan keningnya.
"Tamu untuk saya? Siapa, Pak?"
"Mbak Michi, Mas."
"Michell? Ngapain dia kesini?" batin Al bertanya.
"Oh ya, Pak. Sekarang di mana Michi?"
"Ada di depan, Mas. Tadi Bapak minta untuk tunggu di situ," ucap Pak Angga sambil menunjuk rumah yang ditempati Al di seberang sana.
"Ya sudah, makasih ya, Pak infonya, biar aku temui dulu," sahut Al.
"Sama-sama, Mas.''
Kemudian Al pun segera berlalu untuk menemui Michi.
"Michi? Siapa ya?" batin Andin masih dengan memandang punggung Al yang semakin berlalu.
"Mbak Andin, mari masuk, sudah malam," ajak pak Angga ramah.
"Iya, Pak. Tapi saya mau nanya sesuatu sama Bapak."
"Apa itu, Mbak?"
"Michi itu siapa?" tanya Andin lugas.
"Oh, Mbak Michi, dia temannya Mas Al yang kebetulan sedang ada urusan kerjaan di Yogya. Tadinya yang mau nempatin kamar 14 itu, tapi nggak jadi sebab Mas Al kasih kamarnya ke Mbak Andin," sahut Pak Angga membuat Andin sedikit terhenyak.
"Jadi sebenarnya kamar yang saya tempati sudah terbooking?"
"Iya, bahkan sudah lama dipersiapkan sama Mas Al untuk Mbak Michi," jawab Angga mengalir begitu saja.
"Jadi siapa sebenarnya Michi ini? Apa dia berteman dekat dengan Al? Sampai Al harus menyiapkan tempat untuknya selama dia berada di Yogya," batin Andin bertanya-tanya.
"Terus sekarang Michi tinggal di mana, Pak? Kan kamar 14 saya tempati?" tanya Andin.
"Oh, soal itu Mbak Andin tenang aja, Mas Al sudah pinjamkan apartemennya yang kebetulan kosong," sahut Angga membuat Andin terkejut seketika.
"Apartemen? Al punya apartemen di sini?" tanya Andin membuat Angga gelagapan.
"Ehm ... Anu, Mbak ... Itu ... Maksud saya Apartemannya Pak Rendy, iya mbak apartemennya pak Rendy, maaf saya salah ngomong mana mungkin mas Al punya apartement, hehe," ucap Al terbata sembari menepuk pelan mulutnya dengan menggunakan tangannya.
"Jadi yang benar punya Al atau Pak Rendy sih pak?" tanya Andin sekali lagi meyakinkan.
"Ya jelas punya pak Rendy mbak Andin, nggak percaya silahkan tanya mas Al mbak, oh iya mbak tapi saya pamit dulu ya mau masuk ke dalam, tadi lupa lagi rebus air takut asat airnya, permisi mbak," pamit pak Angga kemudian pergi dari hadapan Andin.
"Ini sebenarnya ada apa sih? Kenapa pak Angga jadi aneh begitu dan terkesan menutup-nutupi? Sebenarnya Al ini siapa? Siapa juga Rendy ini, apa hubungannya dengan Al? aku seperti menangkap bahwa Al dan pak Rendy ini mempunyai hubungan kedekatan, tapi apa ya? Dan Masa iya seorang penjaga rumah sampai punya apartemen segala? Aku harus tanyakan langsung pada Al," gumam Andin kemudian menyebrang dan berjalan ke arah rumah di mana Al berada.
Namun langkah Andin terhenti sejenak, saat melihat Al dan Michi tengah asyik mengobrol. Entah mengapa, ada rasa tak rela saat melihat Al terlihat akrab dengan wanita lain. Rasa yang baru disadarinya, sebab ini kali pertama ia melihat Al bersama dengan wanita selain dirinya.
Merasa kesal, Andin membatalkan niatnya untuk menemui Al dan memutuskan untuk kembali ke kostan, sejenak untuk membersihkan diri, sholat dan istirahat. Namun, hal itu tak justru membuat hatinya tenang. Ingatan tentang ucapan Pak Angga juga bayangan tentang Al yang tampak asyik bercengkrama dengan Michi benar-benat mengusik pikirannya.
Ia bahkan mengabaikan chatt Nino yang masuk dan mengajaknya untuk bertelepon dengan alibi malas membahas cewek yang selalu dicemburuinya.
Merasa tak kunjung tenang, Andin memutar otak dan berpikir untuk mencari alasan agar bisa menemui Al. Hingga matanya jatuh pada sebuah novel berjudul "Kembali Terang" yang ia pinjam dari Al dua minggu lalu dan belum sempat ia kembalikan.
Dengan cepat Andin mengambil novel itu dan kembali berjalan menemui Al yang masih asyik berbincang dengan Michi.
"Al," panggil Andin dari jarak dua meter, membuat Al dan Michi menoleh bersamaan.
"Andin?" gumam Al pelan hampir tak terdengar.