Try new experience
with our app

INSTALL

Ikatan Cinta: Ketika Aldebaran 

2. Ketika Aldebaran Mengomel

Oktober 2005


Aldebaran tahu, Andini versi ABG labil adalah manusia paling ribet di muka bumi. Itu sebabnya dia pasti berpikir seribu kali saat saya berkata ingin ikut dengannya yang akan bermain futsal. Mungkin Aldebaran sudah tahu akan semenyebalkan apa saya saat menunggunya bermain nanti. Namun Aldebaran tetaplah Aldebaran, yang tidak pernah bisa menolak permintaan saya, setidak masuk akal apa pun permintaan yang saya ajukan. Dan percayalah, kali itu saya tidak benar-benar menyebalkan. Kehadiran saya bahkan, saya rasa, membuat Aldebaran menjadi lebih bersemangat.


Dengan tangan yang dipenuhi berbagai camilan yang dibelikan Aldebaran di perjalanan kami ke lapangan tadi, saya menonton Aldebaran menggiring bola di tengah lapang. Sesekali berteriak menyemangati pria itu.


Dengan kaki-kakinya yang panjang, Aldebaran berlari dengan cepat di lapangan. Saling mengoper bola dengan timnya, menggiring bola tersebut ke gawang lawan, lalu ... "YAAA!" saya berteriak penuh kekecewaan saat bola justru mengenai tiang atas gawang bukannya masuk.


Lebih daripada saya, Aldebaran tampak lebih kecewa. Dia menekuk wajahnya sambil duduk lemas di sudut lapang. Wajahnya lalu menoleh pada saya. Seketika saya mengepalkan tangan di depan wajah untuk memberikan semangat. Entah perasaan saya saja atau memang benar demikian, tetapi Aldebaran tampak lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya menunjukkan bahwa dirinya kembali bersemangat. Dia bahkan langsung berdiri dan kembali antusias mengejar bola yang kini tengah berada di bawah kekuasaan musuh.


"Mas Al, semangat!" saya berteriak dengan nyaring. Saya bahkan tidak peduli dengan remahan keripik yang berhamburan dari dalam bungkus keripik di tangan saya.


Setelah beberapa waktu berlalu, permainan selesai. Tim Aldebaran memenangkan pertandingan dengan skor 9-2. Angka yang begitu fantastis, bukan? Selain itu, 5 dari 9 angka tersebut dicetak oleh Aldebaran. Bagaimana bisa saya tidak bangga pada saat itu?


"Mas, capek ya?" Saya menyodorkan air mineral pada Aldebaran.


Aldebaran menerimanya dengan tanggap. Membuka tutup botol air mineral tersebut, menenggaknya sampai setengah, lalu mengguyurkan sisanya ke kepala. Jika saja adegan tersebut adalah sebuah iklan, saya mungkin akan percaya saja.


Sial. Waktu itu, saya tidak merasa bahwa hal itu istimewa. Namun jika diingat lagi sekarang, bukankah itu momen yang menakjubkan?


"Al, siapa? Adek lo?"


Pertanyaan tersebut terlontar dari salah satu teman Aldebaran pada saat itu, Arman. Saya ingat dengan jelas penampilan Arman pada saat itu. Dia memakai kaus tim merah yang sama dengan milik Aldebaran. Rambutnya dibelah dua, mirip dengan gaya rambut vokalis band ST 12, Charlie Van Houten. Ada beberapa jerawat di wajahnya yang berminyak.


"Apaan? Jangan ganggu, ah. Sana lo!" Alih-alih memperkenalkan saya, Aldebaran malah mengusir Arman.


"Pelit amat. Mau kenalan doang juga. Gak bakalan gue culik ini. Gue bukan pedofil ya, Sialan!" decak Arman sebal pada Aldebaran.


Saya terkekeh kecil melihat pembicaraan yang saling terlontar di antara Aldebaran dan Arman. "Halo, Kak. Aku Andin. Bukan adiknya Mas Al sih, tapi Mas Al biasa nganggapnya begitu. Kita tetanggaan." Saya berinisiatif mengenalkan diri saya sendiri pada Arman.


"Owalah, Andin. Cantik tenan, yo?" Tiba-tiba saja logat Jawa pria itu keluar. Saya melongo dibuatnya. Padahal sebelumnya bicara dengan bahasa gaul pada Aldebaran.


"Aku Arman, temennya Mas Al-mu. Paling ganteng dan paling baik di antara temen Mas Al yang lainnya." Arman kembali melanjutkan.


Sontak saja saya terkekeh mendengar penuturan penuh percaya diri yang dilontarkan pria itu.


"Jangan dipercaya, nanti kamu musyrik," tandas Aldebaran. Dengan tanpa belas kasihan, Aldebaran melempar Arman dengan handuknya yang sudah basah dengan keringat. Kemudian menggandeng saya menjauh pergi dari hadapan Arman.


"Weh, juancok!" samar-samar, saya mendengar teriakkan sebal Arman di belakang. Membuat saya menoleh ke sisi saya di mana Aldebaran terkekeh renyah.


***


Setelah Aldebaran berpamitan dengan teman-temannya, kami berdua pergi meninggalkan lapangan futsal yang cukup dikenal di kalangan para siswa dan mahasiswa sekitar.


"Mas, laper enggak?"


"Enggak. Kenapa?"


"Ih, kok bisa sih enggak laper? Padahal belum makan apa-apa dari tadi. Aku nih udah laper banget."


"Padahal segala camilan udah masuk ke perut mungil kamu itu dari tadi?" balas Aldebaran melirik saya.


Saya menyengir lebar mendengar fakta yang dilemparkan oleh Aldebaran tepat di depan wajah saya tersebut. "Hehehe. Iya, laper."


Aldebaran geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya perut segede celengan itu bisa muat banyak makanan. Jangan-jangan bisa melar kayak balon?" gerutu Aldebaran.


Saya tidak menanggapi ucapan Aldebaran. Hanya mengikuti langkah pria itu memasuki warung bakso yang terletak tak jauh sejak kita keluar dari kawasan lapangan futsal.


"Bu, satu mie bakso lengkap dan satu bakso sama tauge sayur aja," pesan Aldebaran pada pemilik warung.


Saya tersenyum kecil. Aldebaran tahu betul bagaimana saya, makanan apa yang saya sukai dan tidak sukai, serta semua hal yang ada pada diri saya sendiri yang bahkan saya sendiri kadang tidak menyadarinya.


Aldebaran duduk lesehan di sisi saya. Meletakkan tas berisi barang-barangnya lalu bersandar pada dinding, terlihat kelelahan.


"Mas, aku enggak tahu kalau Mas Al jago banget main bola. Perasaan dulu selalu kalah. Jatuh lagi jatuh lagi," ucap saya, mengenang masa kecil saat saya menonton Aldebaran bermain bola dengan bocah kompleks dan selalu saja kalah. Fisiknya lemah sekali.


Aldebaran menoleh malas pada saya. "Kamu aja terakhir nonton Mas main bola hampir sepuluh tahun lalu, Ndin. Ya wajar aja banyak perubahan, gimana sih? Mas juga banyak latihan, kemampuan Mas jelas bertambah."


Bertepatan dengan itu, bakso pesanan kami berdua datang. Cepat sekali, batin saya. Mungkin karena tidak ada pelanggan lain yang datang selain dari kami berdua waktu itu.


Aldebaran menyodorkan mangkuk bakso dengan tauge dan sayur ke hadapan saya, sementara mie bakso lengkap dia tarik ke arahnya. Kemudian mengambilkan sendok dan garpu untuk saya dan juga dirinya sendiri. Aldebaran itu, pokoknya, lebih mirip ibu saya ketimbang kakak tetangga yang semestinya.


"Andin, jangan kebanyakan cabenya! Inget lambung kamu yang lemah itu!"


Saya yang tengah menuangkan cabai ke dalam mangkuk bakso seketika mengerucutkan bibir dan menghentikan sendokan kedua cabai ke dalam mangkuk begitu mendengar omelan Aldebaran.


"Sedikit doang padahal," gumam saya sebal.


Aldebaran itu memang mirip ibu saya, selalu saja mengomel dan mengoceh. Apa pun yang saya lakukan, tak jarang salah di matanya. Astaga, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan terhadapnya.


"Jangan pakai cuka!"


Lagi, geraman Aldebaran membuat saya mengurungkan apa yang hendak saya lakukan.


"Kaki kamu ipet dong, Ndin. Kamu ini perempuan. loh."


"Andin, makannya jangan belepotan kayak anak kecil, dong! Pelan-pelan."


"Andin, lap pakai tissue, jangan sembarangan lap pakai baju."


"Andin."


"Andin."


"Andin."


Rasanya saya ingin menceburkan Aldebaran dalam mode mengomel seperti itu ke pusaran arus sungai Ciliwung. Benar-benar!


***