Contents
Misi Menikahi Suami
03. Berengsek Betul!
Andin tahu ia masih sadar, tetapi tubuhnya terasa semakin melayang ketika ia menjulurkan tangannya menarik punggung wanita yang tiba-tiba berdiri lantas berbalik. Andin limbung hingga ia terhuyung menabrak vas bunga di atas meja.
Entah apa yang menurut Andin lebih mengejutkan, wajah wanita itu atau suara denting dari vas yang jatuh barusan. Andin kehilangan kata-kata atau malah ia memang merasa tubuhnya mengerdil, perlahan lenyap dilahap sesuatu yang menelannya bulat-bulat.
“Berengsek! Jadi, ini alasannya? Kamu enggak perlu cari-cari alasan! Cukup kasih tahu kalau kamu selingkuh, Berengsek!” jerit Wina.
Andin mengerjapkan mata. Suara Wina berhasil menyelamatkannya. Ia mencengkeram erat pinggiran meja, bibirnya masih terkatup rapat-rapat dengan mata terpaku pada Aldebaran.
“Kenapa dia ada di sini? Bukannya dia sudah berhenti sejak bertahun-tahun lalu?” desak Wina menuntut penjelasan.
Andin beruntung memiliki Wina yang ternyata memiliki satu pemikiran yang sama dengannya. Andin yang tidak perlu bicara karena Wina telah menanyakan hal serupa dengan apa yang ingin ia tanyakan.
“Jawab!” desak Wina lagi.
Seorang lelaki masuk menerobos kerumunan yang entah terkumpul sejak kapan. Lelaki itu berdeham berkali-kali lalu berkata, “Kalian bekerja lagi, ini urusan pribadi yang enggak perlu ditonton. Bubar.” Pegawai yang berkerumun di ambang pintu perlahan membubarkan diri walau setengah dari mereka masih memasang telinga. Lelaki itu menutup pintu lalu menarik tangan Wina cukup keras. “Pelankan suaramu. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin.”
“Rendy?” cicit Wina tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Rendy menelan bulat-bulat kerinduan yang ada di dalam hatinya. Ia melepaskan tangan Wina karena takut akan menarik wanita itu ke dalam dekapannya. “Duduk dulu, kita selesaikan ini baik-baik.”
“Kamu, kamu bekerja di sini?” tanya Wina lagi.l
Rendy mengangguk. “Ya, aku asisten pribadi Al.”
“Asisten? Sejak kapan? Lalu wanita itu siapa? Untuk apa dia di sini kalau bukan karena pekerjaan? Oh, jadi benar apa yang dikatakan resepsionis tadi? Kamu ... pelakor?” cecar Wina dengan nada tinggi.
“Hei! Jaga bicaramu!” Aldebaran yang sedari tadi diam akhirnya tidak sanggup menahan emosinya. Ia mengangkat gagang telepon di atas mejanya. “Halo, siapa yang membiarkan orang asing masuk seenaknya ke kantor hah?”
Ada satu keheningan aneh ketika Aldebaran membanting gagang telepon hingga jatuh menggelantung dari meja.
Wina melirik Andin yang tampak semakin pucat. Ia yang memang bukan siapa-siapanya Aldebaran saja sakit hati mendengar ucapan lelaki berengsek itu, apalagi dengan Andin?
“Kita selesaikan ini baik-baik. Aku mohon semuanya duduk dulu,” bujuk Rendy putus asa.
Beberapa petugas keamanan masuk ke ruang kerja Aldebaran. Mereka dengan cepat menarik tangan Andin juga Wina.
“Maaf, Pak. Mereka bilang kalau mereka keluarga Bapak, jadi—“
“Usir mereka dari kantor! Jangan biarkan mereka menginjakkan kaki di sini!!”
***
Andin tidak tahu mengapa air matanya tidak turun membasahi pipi. Andin juga tidak tahu mengapa ia tidak bisa mengumpat seperti yang sedari tadi Wina lakukan. Andin juga tidak mengerti mengapa ia tidak berontak seperti Wina pada saat tadi ia diusir oleh petugas keamanan dari perusahaan milik suaminya sendiri.
“Aku selalu bertanya sama Tuhan, kenapa aku enggak dapat suami baik seperti Aldebaran? Kenapa Tuhan hanya berikan kamu kehidupan yang lebih baik? Sekarang aku tahu jawabannya. Aku enggak akan setegar kamu,” tutur Wina tanpa bisa menatap Andin.
Andin masih tidak mengalihkan pandangannya ke arah pagar bata yang dirambati tanaman hingga menutupi hampir seluruh permukaannya. Tempat nyaman yang biasanya ia gunakan sebagai waktu mengobrol sore hari dengan almarhum Mama Rosa, menunggu Aldebaran, sang suami pulang bekerja.
Ah, suami, sebentar lagi tidak akan menjadi suami.
“Kita tinggalkan rumah ini. Kalau kamu enggak mau kembali ke panti, kamu pulang ke rumahku saja.” Lagi-lagi Andin diam dan hati Wina semakin sakit karenanya. “Kamu itu terlalu baik atau tolol, sih? Apalagi yang menahan kamu? Apa Andin?” tanya Wina yang kali ini tidak bisa lagi menahan air matanya.
Kenangan-kenangan indah yang menentramkan hati harus terkoyak dan tidak bisa Andin genggam lagi. Andin harus menerima kenyataan itu. Andin mengerti, hanya saja ... Andin ... Andin takut.
Suara deru mobil yang mendekat membuat Andin tersentak hingga rasanya seluruh tulang yang menyangga punggungnya ikut menegak. Rasa tidak nyaman yang sedari tadi menghantam dada dan membuat jantungnya berdentam-dentam membuat tenggorokannya semakin tersekat.
Berbeda dengan Wina yang merasa insting menyerangnya terpancing. Wina menarik tangan Andin, setengah menyeret wanita itu untuk menyambut suami kurang ajar yang tidak tahu tentang apa itu arti sebuah pernikahan.
Berengsek betul!
“Kita enggak bisa ikut campur,” ucap Rendy ketika ia, Aldebaran juga seorang wanita berjalan mendekati ambang pintu.
“Ikut campur? Kamu—“
Rendy menarik Wina ke dalam dekapannya, menutup bibir Wina dengan telapak tangan, menariknya paksa masuk ke dalam mobil, tidak peduli Wina terus berontak. “Kamu selesaikan urusan kamu!” tegas Rendy.
Terlebih dahulu Aldebaran memandang Andin yang masih tertunduk lesu seperti anak kucing yang kehujanan lalu tercebur ke dalam selokan.
“Kita bicara di dalam,” titah Aldebaran lalu masuk.
Andin masih tertunduk diam ketika wanita itu melintasinya. Aroma parfum yang langsung ia kenali merebak di rongga hidungnya. Aroma yang selalu ia cium ketika hendak mencuci pakaian kerja suaminya. Aroma yang ia pikir mampir di kemeja sang suami karena sekretarisnya memang menyukai wewangian.
Kepala Andin terangkat, perutnya melilit, rasa panas merambat—membakar dadanya. Andin gemetar, meraba leher, dagu, bibir dan matanya. Berpikir mengapa ia tidak bisa bersuara? Mengapa ia tidak bisa menangis?
“Andin, duduklah.”
Andin mengerjapkan mata, suara Aldebaran dan matanya yang tajam membuat tubuh Andin otomatis bergerak mengikuti kemauannya. Andin duduk tepat berhadapan dengan Aldebaran. Persis seperti pesakitan yang siap menghadapi hukuman mati.
“Semua enggak akan begini kalau kamu bisa menerima semuanya. Aku sudah katakan, aku akan berikan segalanya. Aku akan pergi dengan diam. Bahkan, aku enggak akan membawa apa pun dari rumah ini,” ucap Aldebaran, tetapi rasanya bukan itu yang ingin Andin dengar.
Aldebaran menepuk lembut bagian kosong dari sofa yang tepat berada di sebelahnya. Wanita itu tanpa malu-malu berpindah duduk di tempat yang Aldebaran tepuk, seolah semuanya telah terencana.
“Kamu juga tahu kalau seorang lelaki bisa menikah lagi tanpa persetujuan dari istri pertamanya.”
Andin bangkit, dari sekian banyak kalimat pedas yang dari kemarin Andin dengar, kalimat ini adalah yang paling menyayat hatinya. Andin bahkan tidak tahu apakah sungguh lelaki yang ada di hadapannya adalah Aldebaran Alfahri?
“Tapi aku enggak melakukan itu. Aku ingin memulai hidup baru dengan cara yang membahagiakan. Semuanya sudah diproses. Surat perceraian kita sudah masuk. Kamu enggak perlu datang ke sidang. Diam saja menunggu hasil putusan cerai.”
“Mas, aku perlu bicara berdua saja dengan dia. Apa, apa kamu bisa keluar?”