Try new experience
with our app

INSTALL

Cinta Lelaki Misterius 

Bab 2



Cinta Lelaki Misterius


Bab 2


"Kamar 14, Mas? Bukannya kamar itu mau ditempati teman kamu?" tanya pak Angga heran, mengapa gadis asing yang hanya membayar separuh itu diberikan kamar yang istimewa? Yang bahkan telah disiapkan sejak lama untuk seorang temannya yang akan bermukim selama beberapa waktu di Yogyakarta.


"Nggak apa-apa, Pak, mungkin sudah menjadi rezeki Andin, di samping itu Andin lebih membutuhkan kamar itu dari pada temanku," ucap Al bijak.


Pak Angga mengangguk tanda mengerti, sudah menjadi hal biasa baginya menyaksikan manusia berhati malaikat di depannya melakukan hal serupa.


"Kalau begitu aku pamit ya, Pak," pamit Al.


"Iya, Mas. Kamu hati-hati, ya."


"Iya, Pak." Al tersenyum manis ke arah lelaki yang berada di hadapannya, lelaki yang ia anggap paling layak mendapatkan penghormatannya.


"Sejak dulu aku selalu menjaga hati untuk tidak mencintai seorang wanita, bahkan cenderung menghindari mereka karena tak ingin membuat kecewa. Tapi entah mengapa ketika aku bertemu Andin untuk pertama kalinya, aku merasakan suatu getaran aneh yang tak dapat kuingkari," batin Al tersenyum kecil sembari berjalan menuju rumah besar di seberang kostan.


Sedangkan Pak Angga, ia terus memperhatikan punggung Al sembari membatin

"Ah, waktu terasa begitu cepat berlalu, sekarang kamu sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang sangat membanggakan, Al. Sayangnya, kamu belum bisa berdamai dengan takdirNya."


*****

Klek klek


Andin membuka pintu kamar yang mulai saat ini menjadi tempat berteduhnya.


Dan betapa terkejutnya Andin saat melihat isi dalam kamar berukuran 4x6 tersebut, nampak sebuah ranjang berukuran sedang lengkap dengan sprei dan bed covernya yang berwarna pink menghiasi ruang kamar itu. Di sisi lain, sebuah meja rias, lemari pakaian dan kamar mandi di dalam menambah lengkap fasilitas dalam kamar kost itu.


Andin duduk di kursi depan meja rias, sejenak ia tertegun menyaksikan fasilitas kamar yang bak hotel.


"Kamar sebagus ini, selengkep ini, semewah ini, aku sewa hanya dengan membayar lima ratus ribu rupiah? Mustahil ... Ini sangat mustahil, mana mungkin dengan semua fasilitas ini hanya dibandrol seharga 1 juta per bulan? ini nggak mungkin sih ...," gumam Andin tak percaya.


Andin kini berjalan pelan menuju jendela kamarnya yang terletak di lantai 2,

"Masya Allah pemandangannya indah sekali," gumam Andin kagum atas apa yang dilihatnya dari balik jendela kamar itu.


Hamparan sawah yang luas, dengan tanaman padi yang sepertinya baru saja ditanam sungguh memikat hati Andin untuk berlama-lama ada di sana.


"Ini indah sekali," batinnya mengagumi.


Cukup lama Andim berada di balik jendela itu, menikmati senja yang hampir berganti malam.


"Sebelum aku mulai kuliah, aku harus mencari pekerjaan paruh waktu, setidaknya, mulai saat ini aku harus berjuang untuk hidupku kedepannya, aku harus tetap kuliah demi masa depanku, tapi aku juga harus bekerja untuk bisa bertahan hidup," tekad Andin dalam hati.


Pikiran Andin mulai berkelana, mengingat ia yang sengaja memilih kuliah di salah satu universitas mahal yang terkenal di Yogya, alasannya begitu klise, hanya karena Andin ingin supaya ayahnya merasakan apa yang dirasakan ibunya saat menyekolahkan Andin dulu.


----Flashback----


"UII ... aku mau kuliah di sana," pinta Andin acuh tanpa memperhatikan kondisi ekomoni papanya.


"Kamu nggak pengen coba di universitas lainnya, Nak? Universitas Pembangunan Nasional misalnya atau Universitas Negeri Yogyakarta? Gimana?" tawar Papa Andin.


"Nggak, aku cuma mau di Universitas Islam Indonesia," ucap Andin kekeuh.


Papanya–Surya Lesmana, tertunduk lesu, ia sangat ingin memberikan yang terbaik untuk anak semata wayangnya, terlebih mengingat selama ini ia belum berbuat apapun untuknya. Namun, kondisi ekonomi yang serba pas-pasan membuatnya merasa terbebani dengan permintaan Andin.


"Gini aja, Papa hanya perlu membiayai kuliahku, untuk tempat tinggal dan biaya hidup aku selama tinggal Yogya, aku akan berusaha sendiri, aku akan cari kerja demi bisa tetap bertahan hidup sampai aku selesai kuliah.


Jadi aku sudah meringankan kewajiban Papa terhadapku, dengan membebaskan Papa dari tanggung jawab atas kelangsungan hidupku. Asalkan Papa janji akan membiayai seluruh biaya kuliahku," paksa Andin keras kepala tanpa mengindahkan tawaran Papanya.


"Kamu nggak mau tinggal disini aja, ndin?" tanya sang Papa lagi, jujur ia sangat berharap bisa dekat dengan Andin–anak semata wayangnya. Walau di sisi lain ia tahu, kecil kemungkinannya putrinya itu akan bersedia.


"Maaf, aku nggak bisa," jawabnya singkat.


Andin memang tak dekat dengan Papamya, sejak berumur tiga tahun, Mama dan Papanyab sudah bercerai, Andin ikut ibunya pulang ke Surabaya, sedangkan sang Papa tak lama kemudian menikah lagi dengan wanita simpanannya, yang hingga kini mereka tak dikarunia anak.


"Baik, Andin, Papa bersedia, Papa akan membiayai kuliahmu," ucap sang Papa berusaha menenangkan anaknya.


"Oke, kalau begitu aku akan kabari Papa lagi nanti, segera aku akan mendaftarkan diriku di UII," ujar Andin yakin.


Setelah itu, Andin gegas berpamit pada sang Papa.


"Kamu akan tinggal di mana, Andin?" tanya Pak Surya penasaran.


"Biar menjadi urusanku aku akan tinggal di mana, Papa pikirkan saja gimana caranya untuk membiayai kuliahku," sergah Andin seraya berjalan meninggalkan kediaman sang Papa.


Pedih dirasakan Surya, tapi ia tahu, inilah konsekuensi dari kesalahannya di masa lalu.


- Flashback Off -


Di sisi lain, Al yang hendak pergi untuk mengurus kepulangannya merasa bimbang, ia tengah merenung dalam diam, merasakan dilema antara tetap tinggal atau kembali ke tempat yang seharusnya.


Dan di tengah lamunannya, tiba-tiba ponselnya berdering pertanda ada panggilan masuk.


[ Kapan Mas Al kembali ke Jakarta? ]

tanya seorang lelaki paruh baya yang merupakan orang terdekat Al.


[ Entahlah, aku hanya masih ingin berada di sini,] jawab Al membuat lelaki di seberang sana sedikit bertanya.


[ Ada apakah gerangan yang membuat kamu betah berlama-lama di Yogya? ]


[ Aku hanya mengikuti kata hatiku, Pak Rendy. ]


[ Oke, jangan berlama-lama di sana, kamu tau? Saya selalu mengkhawatirkan kamu, saya hanya tidak ingin trauma itu mengganggu mental kamu lagi.] ucap Pak Rendy memperingatkan.


[ Ya, aku tau, Pak Rendy. ]

Jawab Al singkat, kemudian mengakhiri panggilan.


Rendy–salah satu orang kepercayaan Al yang menyayangi Al bagai anaknya sendiri.


Mendengar Pak Rendy yang memeringati, kini mata Al menerawang jauh, mengingat kejadian menyeramkan yang dialaminya sewaktu usianya baru beranjak 10 tahun. Sebuah peristiwa naas yang membuatnya menjadikan Yogya sebagai tempat yang sangat enggan untuk dikunjunginya.


Namun lamunan Al seketika hilang, saat Ia mendengar percakapan seseorang di telepon dengan nada suara seperti sedang menahan amarah.


Al mengintip dan mencuri dengar percakapan dari balik pagar rumah besar tempat ia tinggal.


"Andin?" gumamnya sedikit terkejut mendapati ternyata suara itu milik raga Andin.


[Jadi kamu tetap memilih bersama dia dan melawan orang tuamu? dengan tak mengindahkan permintaan Papa Mamamu, begitu? Di mana otak kamu, Nino?] seru Andin menahan emosinya


......



[Iya aku paham, tapi secinta itukah kamu dengannya hingga kamu lebih rela meninggalkan keluargamu demi cewek itu? Ayolah, Nino, Jangan sampai cintamu membunuh logikamu!] bentak Andin lagi.


.......


"

[Ah, sudahlah, Nino aku nggak ngerti cara berpikir kamu,] sergah Andin menutup telepon antara dirinya dengan seseorang di seberang sana.


Panggilan berakhir.


"Menyebalkan ... menyebalkan ...," teriak Andin kesal.


"Sudah tau orang tuanya melarang, bukannya segera memutuskan hubungannya dengan cewek itu, dia justru bermain api dengan lebih memilihnya. Apa sih bagusnya dia? Masih mending juga aku! Aarrrgghh, tau ah, No! makan aja tuh cinta!" seru Andin kesal


"Jangan pernah menyalahkan cinta, Ndin, cinta itu soal rasa, bukan hanya sekedar logika, cinta itu tentang bagaimana cara kita mencintai, bukan hanya tentang kenapa kita mencinta," celetuk Al yamg tiba-tiba sudah berada di belakang Al membuatnya terkejut


"Al?"