Try new experience
with our app

INSTALL

Asihan Kembang Setaman 

1. Karyawan (Luar) Biasa

“Kamu yakin kita akan melakukannya di sini?”

“Yakin,” jawab seorang perempuan berusia tiga puluh tahunan singkat.

“Tapi aku enggak yakin, ini di kantor lho.”

Seorang lelaki yang usianya tak berbeda jauh dengannya terlihat cemas dengan apa yang akan mereka lakukan.

“Kan dari tadi kamu yang pengin, kenapa sekarang malah ragu sih,” ketus si perempuan yang sekarang malah marah betulan. Lelaki tersebut memasang wajah bingung, karena dirinya sendiri pun tidak yakin akan melakukan hal ini di toilet kantor.

Sejam sebelumnya, mereka berdua berencana ingin melakukan ninaninu di toilet kantor karena gairah di dalam diri mereka sudah tidak tertahankan. Awalnya semua itu bermula setelah selesai rapat, keduanya yang niat mendiskusikan laporan malah terjebak obrolan antar sesama pasangan yang kesepian. Jadi akhirnya mereka sepakat untuk merealisasikan istilah FWB (Friend With Benefit). 

Dan tibalah sekarang saatnya mereka melancarkan rencana untuk saling mengisi kekosongan hati dengan saling berbagi kehangatan dalam tanda kutip. Namun, entah kenapa lelaki tersebut mendadak tidak enak hati. Alasan utama karena ini masih di kantor, ia takut kalau masih ada orang yang bekerja karena lembur. Ditambah lagi, ini toilet untuk karyawan perempuan yang bisa dipastikan akan selalu ada saja orang masuk.

Andai si perempuan ini mau melakukannya di toilet laki-laki mungkin akan berbeda cerita.

“Ayo dong, mas!” Perempuan tersebut mulai menggoda dan melancarkan aksinya.

“Sabar, jangan buru-buru nanti malah berisik.” sahutnya pelan.

Ternyata rasa takut dan cemas si lelaki ini kalah dengan rasa gejolak syahwat yang luar biasa. Keduanya diburu oleh waktu, dengan cekatan keduanya pun saling melepaskan pakaian yang mengganggu pemandangan mata dan imajinasi lainnya.

“Aku enggak kuat,” erang si perempuan.

“Sabar, pemanasan dulu,” minta si lelaki yang tangannya sungguh lincah sekali.

Saat keduanya sedang asyik bercumbu tiba-tiba lampu toilet mati. Mereka langsung menghentikan aksinya.

“Lho kok mati?”

“Enggak tahu,” perempuan itu melepaskan rangkulan tangannya dan celingukan memikirkan keadaan.

Namun, nampaknya sang lelaki tidak peduli. Ia lebih ingin melanjutkan kegiatan mereka dibanding harus pusing memikirkan lampu yang padam. Justru momen ini sangat pas karena mereka bisa leluasa melakukan apa saja di bilik toilet tersebut.

CTAK!

Terdengar bunyi kunci yang langsung membuat mereka terkejut.

“Eh ada orang yang masuk?” bisik perempuan itu, dan lelakinya menggeleng.

“Enggak mungkin ada yang masuk,” jawabnya sambil berbisik juga.

Hening.

Mereka berdua diam sejenak untuk memastikan tidak ada orang yang masuk.

Setelah ditunggu beberapa saat, keadaan memang sepi. Mungkin karena mereka sedang berbuat dosa jadi selalu terbawa perasaan was-was dan merasa selalu ada yang memperhatikan.

“Ayo, mas! Kita teruskan,” ajak si perempuan yang tidak bisa mengendalikan diri. Mereka pun kembali melakukan hal tak senonoh itu seakan semua akan baik-baik saja.

Deru napas keduanya saling berpacu seperti kuda yang dipaksa berlari kencang, di tengah-tengah suara desahan kecil itu sayup-sayup terdengar suara seseorang berbicara. “Mana milikku ….”

Perempuan yang terbuai dalam permainan panas tersebut membuka matanya, mencoba memusatkan pendengaran.

Mana milikku …,” lagi-lagi suara itu terdengar tapi si perempuan menghiraukannya sampai dia tersentak setelah terbayang sesuatu.

“Tunggu dulu! Sekarang hari apa?” tanyanya menghentikan permainan yang hampir di puncak itu.

“Hari … kamis,” jawab lelaki tersebut dengan napas terengah dan enggan menghentikan permainannya.

“Kamis? Kamis … kamis … astaga,” pekik si perempuan mengagetkan lelaki tersebut. “Ada apa?”

Si perempuan yang setengah telanjang ini langsung panik, ia buru-buru mencari pakaiannya yang dilempar sembarang tadi.

“Hey, ada apa? Kenapa berhenti … kamu nyari apa?” Lelaki di hadapannya keheranan.

“Celaka … celaka, aku kelupaan sesuatu.” ucapnya tak terkontrol. Ia memakai pakaian asal dan mencoba membuka ponselnya. Dilihat sekarang sudah hampir jam tujuh malam. “Tuhkan.”

Lelaki itu menatapnya penuh tanda tanya, ia heran dengan apa yang terjadi kepada rekan kerjanya ini. Hatinya pun sedikit dongkol karena permainan nanggung itu malah membuat dirinya harus terpaksa melanjutkan sendiri.

“Kamu mau apa?” tanya perempuan itu tatkala melihat rekannya ini bermain sendiri.

“Aku menuntaskan yang harus dituntaskan,” ejeknya tapi perempuan tersebut tidak peduli. Ada hal yang harus segera ia kerjakan kalau tidak akan ada sesuatu yang terjadi.

CTAK!

Tiba-tiba lampu yang semula padam kini menyala kembali. Keduanya diam mematung.

Embusan hawa dingin mulai terasa. “Cepat pakai bajunya,” perintah si perempuan.

Lelaki itu mengangguk dan langsung memakai pakaiannya. Saat menunggu selesai, terdengar suara pintu toilet yang terbuka. Sepertinya ada orang yang masuk ke sana.

Suara hentakan alas sepatu dengan lantai toilet terdengar dengan jelas, langkah lambat seseorang itu terus maju ke arah bilik tempat mereka.

BRAK!

Satu per satu bilik toilet dibuka oleh orang tersebut.

Si pasangan tidak tahu malu ini mulai panik, takut ketahuan. Suara langkah orang tersebut terus terdengar, seperti sedang bolak-balik mencari sesuatu sampai akhirnya orang tersebut berhenti tepat di depan pintu tempat mereka berada.

“Ssst,” perempuan tersebut mengisyaratkan agar tidak mengeluarkan suara, telunjuk lentiknya pun menempel di bibir si lelaki agar ia bisa diam juga.

Keduanya melirik ke bawah pintu yang memiliki celah terbuka, niatnya ingin memastikan sesuatu tapi ternyata mereka berdua tidak melihat ada kaki manusia berdiri ataupun bayangannya.

DEG!

Keduanya mulai merasa takut, pikiran aneh mulai bermunculan di dalam benak mereka. Takut ada orang yang tahu dan takut digrebek di tempat, nanti bisa-bisa nasib karir mereka di kantor tersebut tinggal di ujung tanduk.

SHHH! Embusan angin menerpa tubuh mereka, terutama bagian belakang leher yang berhasil membuat merinding.

Hening.

Tidak ada suara apapun sekarang, mereka kira mungkin sesuatu yang diduga manusia itu sudah pergi.

Namun dugaan mereka melenceng saat keduanya sadar ada yang mengintip dari belakang mereka.

Si perempuan dan lelaki ini menengok berbarengan. “Aaa …”

“Hihihi….”

Mereka terkejut saat melihat ada kepala perempuan dengan wajah busuk menyeramkan tertawa di dekat dekat langit-langit toilet, hanya kepalanya saja.

“Hihihi, mana milikku,” ucap sosok tersebut dengan suara serak dan tawa yang melengking secara bersamaan. “Mana milikku.”

Sosok itu terus menuntut sesuatu entah pada siapa.

“Ma-maaf nyai saya lupa,” ucap si perempuan yang membuat lelaki di sampingnya terkejut.

“Apa!” geram sosok tersebut.

“Tidak bisa seperti itu,” lanjutnya langsung membuka mulut dengan lebar sekali sampai lidahnya menjulur panjang dan mengeluarkan darah dan bau busuk.

“Ampun nyai ,,, ampun,” mohon perempuan tersebut sambil berlutut dengan hormat.

“Ka-kamu apa-apaan?” Lelaki tersebut semakin keheranan melihat si perempuan itu berlutut seperti gerakan menyembah dan karena hal tersebut rekannya ini langsung mundur dan keluar dari bilik toilet meninggalkan orang yang entah sedang melakukan apa.

Sosok tersebut terlihat begitu murka, dengan mata menyala merah ia pun mengatakan sesuatu.

“Kamu sudah melanggar perjanjian, maka terimalah akibatnya.…”

 

***

Beberapa hari kemudian .... 

 

“Mira … Almira,” panggil seorang perempuan yang berada di bilik kerja sebelahnya.

Gadis yang sedang fokus bekerja itu tidak menggubris rekannya karena sedang fokus mengerjakan laporan yang harus selesai sebelum jam makan siang ini.

“Mir … Mira!” teriak rekannya ini sampai menarik perhatian karyawan yang lain.

“Sssst!” Beberapa orang menyuruhnya jangan berisik, karyawan perempuan itu membalas dengan senyum yang sedikit dipaksakan. “Maaf … maaf, silakan lanjutkan.”

Sementara itu orang yang dipanggill tidak kunjung menoleh ke arahnya, karena agak kesal akhirnya perempuan tersebut mematikan paksa tombol power di layar monitornya.

“Ya ampun, Intan!” Akhirnya ia berhasil menarik perhatian gadis yang bernama Almira itu. Bukannya merasa bersalah sudah mengganggu rekannya, perempuan tersebut malah membalas dengan menjulurkan lidah.

“Syukurin, elo sih dari tadi gue panggil enggak nyaut-nyaut.”

Almira tidak menjawab, hanya raut wajahnya saja yang bisa mengekspresikan rasa kekesalannya.

“Ck, ngapain sih elo ngerjain itu mulu dari tadi sampai temen sendiri enggak dipeduliin,” protes Intan sambil melipat tangannya di dada.

Almira menghela napas berat, ia menoleh ke arah teman kerjanya yang cerewet ini. “Aku lagi kerja, Intan. Ini laporan buat Pak Adam harus udah selesai.” Gadis itu terlihat sekali menahan amarahnya.

Intan nyengir kuda, ia merasa tidak sepenuhnya salah karena memang merasa ada hal yang harus diobrolkan juga.

“Ah bodo amat sama kerjaan lo, gue punya berita penting le–”

“Enggak bisa gitu dong, Tan.” Almira memotong kalimat yang diucapkan Intan.

“Kamu tahu sendiri kemarin aku sakit dan enggak bisa ngantor. Dan kamu juga tahu Pak Kirman nelponin aku terus nanyain laporan ini,” lanjutnya kemudian.

“Laporan yang deadline-nya masih minggu depan ini malah dimajuin jadi harus selesai sebelum jam makan siang ini. Kamu tahu kenapa alasannya?”

Intan menggeleng.

“Karena Ibu Mela tidak ada, dan aku harus menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya beliau kerjakan,” paparnya dengan wajah tertekan.

Laporan yang deadline-nya masih minggu depan itu memang pekerjaan milik Almira sendiri, sedangnya yang dikumpulkan nanti adalah milik atasannya yang mendadak tidak masuk kerja.

Almira ingin sekali melawan karena ia disuruh mengerjakan pekerjaan orang lain itu di saat dirinya sedang terbaring lemah di rumahnya.

Gadis yang bekerja sebagai salah satu staff keuangan di kantornya itu terus-terusan dihubungi oleh Pak Kirman yang menjabat sebagai kepala bagian keuangan di sana.

Intan terlihat tidak peka dan tidak peduli dengan penderitaan yang dialami oleh rekan kerjanya ini, karena ada sesuatu hal yang lebih penting dari pekerjaan kantor.

“Simpen dulu bentar Mir,” cegah Intan saat melihat Almira yang akan kembali bekerja. Emang ada apa sih?”

Gadis itu terlihat semakin kesal, bukan tanpa alasan ia seperti itu. Semua yang dilakukannya ini tak lebih dari rasa tanggung jawab dirinya sebagai karyawan, ia tidak mau dicap leha-leha dan suka mencari alasan untuk mangkir atau terlambat mengerjakan sesuatu. Hal lain yang menyebabkan ia harus fokus dengan pekerjaannya karena sekarang ia sudah mengantongi surat peringatan kedua.

Ada rasa kesal dan kecewa karena ia mendapatkan surat cinta itu tanpa sebab yang jelas,

Surat peringatan pertama didapatkannya karena sering terlambat masuk dan sering absen mendadak padahal tidak memiliki jatah cuti, Nah yang kedua ini sangat aneh karena surat peringatan kedua ini ia dapatkan karena kelamaan sakit.

Sungguh rasa kecewa yang luar biasa.

Padahal selama ini ia sudah berusaha menjadi karyawan yang baik sampai rela lembur pun dibayar dengan tanda loyalitas tanpa batas saja. Almira selalu datang sebelum karyawan yang lain tiba, dan pulang selalu menjadi karyawan terakhir sampai pak security saja hapal.

Lalu kenapa ia harus mendapatkan surat peringatan sampai dua kali seperti itu.

“Ya elah biasa aja dong mukanya,” protes Intan yang malas sekali melihat wajah Almira yang jutek seperti itu.

Intan kembali ke mejanya sebentar, ia menoleh ke arah catatan yang ditempel di dinding bilik kerjanya. “Nih, dengar Mir. Gue punya kabar penting yang nyambung sama alasan kerjaan elo yang mendadak ini.”

“Hah, maksudnya apa?” Almira masih belum mengerti.

“Ye, lemot banget sih … Nih!” Intan memberikan catatan kecil tadi kepada Almira.

“Ini apa?” tanya gadis itu bingung, Intan tidak menjawab. Perempuan itu malah sibuk membenarkan anak rambut yang berantakan sata melihat ke cermin yang berasa di dekat monitor kerja miliknya.

Almira lalu memperhatikan kembali tulisannya dengan seksama tapi sayang ia tidak mengerti. Tulisan itu berisi tulisan aksara jawa kuno yang tidak dimengerti olehnya. “Ini tulisan apa, Tan?”

Intan langsung mengambil kembali kertas tersebut dengan paksa. Ia pun lalu melihat tulisan dengan serius dan mengatakan, “Ini kertas bukan sembarang kertas.”

Mendengar Intan yang seperti mempermainkan dirinya, Almira memilih kembali bekerja saja daripada menanggapi rekannya yang suka terkena sugar crush mendadak.

“Ih, Mira… Sini dulu bentar,” Intan menarik lagi tangan gadis tersebut agar kembali memperhatikannya. “Oke. sebenarnya lo mau ngomongin apa sih,” ucapnya sedikit membentak.

“Ei, biasa aja dong ngomongnya enggak usah pake urat kayak gitu," gerutu Intan yang berhasil membuat Almira kembali membuang napas kasar. Tak lama kemudian ia  menyandarkan punggungnya di kursi menunggu Intan menjelaskan segala hal yang belum ia ketahui tersebut.

“Ketas ini adalah kertas yang ditemukan saat kejadian yang menimpa Ibu Mela kemarin.”

“Emangnya Ibu Mela kenapa?”

TUK! Kening Almira dijitak pelan menggunakan pulpen yang tak jauh dari jangkauan Intan.

“Elo itu sakit apa mati sih kemarin. Emang enggak bisa lihat grup sebentar, hah?”

Almira sangat bingung, perasaan dirinya tidak pernah melewatkan berita atau pemberitahuan yang ada di grup kantornya tersebut.

Karena penasaran ia pun segera mengambil ponselnya yang ada di laci meja dan langsung melihat ke pesan grup.

Almira menggulir pesan sampai ke paling atas di mana terakhir kali ia membalas chat  sebelum sakit. Perlahan Intan membacanya dengan hati-hati agar tidak kelewatan sedikit pun.

“Hah, ya ampun.” Almira langsung menutup mulutnya sendiri.

“I-ini kabar betulan ‘kan, bukan bercanda,” ucapnya masih tidak percaya.

“Serius lah, masa ada kabar orang mati dijadikan bercandaan,” tegas Intan. “Kita enggak masuk acara prank-prank yang biasa ada di sosmed kok. Ini real benar - benar asli," ucapnya sambil menyalakan monitor miliknya.

Almira terdiam, ia masih belum menyangka dengan kabar buruk yang menimpa atasannya tersebut. Ibu Mela, orang yang dikenal sebagai atasan baik ini diberitahukan sudah meninggal dunia.

Gadis ini sedikit mengumpat, menyalahkan dirinya karena sampai melewatkan hal penting ini. Andai saja ia tahu lebih awal, mungkin secara pribadi dia bisa mengucapkan belasungkawa terhadap keluarga yang ditinggalkan atau bahkan menghadiri pemakaman orang baik tersebut.

“Ini kejadian saat aku sakit ya, Tan,” ucap Almira lesu.

“Ya lah. Makanya elo jangan kelamaan sakit jadi deh ketinggalan info.”

Almira tidak marah disebut seperti barusan karena yang lebih ini adalah kabar buruk yang baru saja di terimanya.

“Terus hubungannya sama kertas yang kamu kasih ke aku, itu apa emangnya?”