Contents
Misi Menikahi Suami
01. Kita Harus Bercerai
“Ndin, aku pamit pulang, ya?”
Andin mengusap lembut punggung tangan sahabatnya. Berat melepaskan kepergian Wina karena memang ia merasa kesepian. Setelah Mama Rosa meninggal empat puluh hari lalu. Dunia Andin benar-benar gelap. Bahkan hal paling menyedihkan adalah ia harus mengakui kalau dirinya tidak lagi punya teman bicara.
“Ndin?” Wina yang kembali memanggil lembut Andin membuat Andin refleks melepaskan tangan Wina.
“Maaf, Win. Aku jadi melamun. Iya, kamu hati-hati, ya.”
WIna mengusap lembut punggung Andin. Meninggalkan Andin dalam kondisi seperti ini pun berat Wina lakukan. Ia tahu hubungan Andin dengan sang mertua benar-benar dekat.
“Besok sore aku ke rumah kamu, ya?” lanjut Wina berharap Andin bisa sedikit terhibur.
Andin menggeleng. “Enggak usah. Aku enggak apa-apa.”
“Kalau kamu bilang begini, aku tahu pasti ada apa-apa.”
“Kamu sendiri yang bilang ini adalah fase yang pasti bisa aku lalui, kan?”
Wina menarik nafas dalam-dalam. “Ya sudah kalau begitu. Al di mana? Aku mau pamit.”
Andin menoleh ke arah kamar sang mama mertua. Sejak Mama Rosa meninggal, Aldebaran memang tidur di kamar itu. Bahkan setelah empat puluh hari berlalu, kesedihan tidak sedikitpun berkurang dari rona wajah Aldebaran.
“Nanti aku kasih tahu Mas Al kamu pamit pulang.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku pamit, ya.”
“Iya, hati-hati. Aku antar kamu sampai gerbang depan.”
Berat hati melepaskan tangan Wina. Namun, Andin tidak bisa membiarkan sahabatnya itu lebih lama berada di rumahnya. Udara dingin malam yang menerpa wajah Andin, tidak mampu meredakan kegelisahan dalam hati Andin.
Setelah mobil Wina keluar dari pekarangan rumah, Andin menarik pagar hingga sepenuhnya tertutup lalu menguncinya. Ia berbalik, menatap rumah dua lantai yang sudah hampir enam tahun ini menjadi hunian ternyaman bagi Andin.
Andin kembali melangkahkan kaki menuju rumah. Baru selangkah ia memasuki rumah, kakinya kembali membeku. Keheningan menyergap dirinya. Setiap kenangan bersama Mama Rosa di setiap penjuru rumah membuat Andin sadar kalau betapa dalam ia merindukan Mama Rosa.
Karpet pemadani masih terbentang di ruang tengah. Piring-piring berisi sisa kue juga gelas-gelas kosong juga masih ada di sana. Ia mengambil kantong sampah di dapur kemudian membuang sisa-sisa kue di piring lantas menaruh piring-piring serta gelas kotor di dapur.
Andin menarik napas dalam-dalam kemudian menoleh ke arah kamar Mama Rosa. Ia berharap malam ini, suaminya mau tidur bersamanya atau setidaknya mengizinkan Andin untuk tidur bersama di kamar Mama Rosa. Andin ingin tidur dalam dekapan suaminya.
Derit pelan dari daun pintu yang didorong Andin membuat Aldebaran sontak menoleh lalu bangkit dari sofa malas di sudut kamar.
“Mas, kamu butuh sesuatu?” tanya Andin, “Wina sudah pulang. Piring dan gelas kotor juga sudah aku taruh di dapur. Besok aku bereskan sisanya. Kamu mau makan sesuatu? Tadi aku lihat kamu enggak sentuh apa-apa,” lanjutnya.
Aldebaran diam sejenak. “Bisa kita bicara?”
“Tentu, Mas.”
Aldebaran mendekati Andin. “Katanya, setelah empat puluh hari, arwah orang yang telah meninggal baru benar-benar pergi meninggalkan dunia. Meneruskan perjalanan.”
Andin bingung harus menanggapi Aldebaran dengan kalimat yang bagaimana. Ia hanya mampu terdiam menatap sang suami. Ini kali pertama Aldebaran mau membicarakan hal seperti ini.
“Aku minta maaf sama kamu kalau selama ini aku ada salah dan pasti pernah menyakiti kamu.”
Andin meremas semakin keras jemarinya sendiri. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan ketika mendengar Aldebaran tiba-tiba minta maaf seperti ini. “Mas—“
“Boleh aku teruskan bicara? Aku ingin kamu dengar aku bicara dahulu sampai akhir,” ucap Aldebaran memotong kalimat Andin. “Aku sudah siapkan semuanya untuk kamu. Rumah ini, tunjangan bulanan, serta kepemilikan rumah kos mama di Kemang. Semuanya dalam proses balik nama. Mobil dan sebidang tanah di Kemandoran juga akan aku berikan untuk kamu.”
“Mas, ada apa?”
“Kamu enggak akan pernah merasa kekurangan Andin.”
“Mas.”
“Setelah kita bercerai, kamu bisa menjalani hidup kamu lagi.” Andin diam. Ia mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya, tetapi Andin tidak berani untuk bertanya. “pagi nanti, aku akan mengajukan gugatan. Aku rapikan karpet di ruang tamu, lalu tidur, kamu bisa kembali ke kamar kamu,” lanjut Aldebaran.
“Mas!” panggil Andin bersuara lantang, bahkan ia sendiri terjekut akan volume suaranya. Andin tidak bisa menahan diri ketika Aldebaran hampir berjalan melewatinya.
“Kamu enggak salah mendengar Andin. Ya, kita akan bercerai.”
“Mas,” desah Andin parau tersedak oleh air matanya sendiri.
Aldebaran melepaskan tangan Andin dari lengannya. “Aku tahu kamu juga sadar kalau kita enggak baik-baik saja, Ndin.”
“Mas.”
“Aku mohon sama kamu, jangan persulit keadaan ini. Demi perceraian ini, aku akan berikan semua yang aku miliki. Semua atas nama kamu.”
“Kamu bicara apa, sih, Mas? Kita, kita baik-baik saja.”
Aldebaran menggeleng. “Maafkan aku. Aku tahu seharusnya sedari awal aku enggak pernah melibatkan wanita baik seperti kamu.”
“Apa, apa salah aku, Mas?”
“Kamu enggak salah apa-apa. Ini semua adalah kesalahan aku. Murni kesalahan aku. Seharusnya aku bisa berani jujur sama mama. Seharusnya kita enggak berada dalam situasi ini. Seharusnya aku bilang sama mama kalau aku sudah memiliki wanita yang sangat aku cintai.”
“Wa-wanita? Wanita lain?”
“Aku enggak seperti yang kamu pikirkan Andin. Aku menjaga harkat dan martabat aku sebagai suami kamu. Aku juga sudah berusaha sekuat mungkin untuk bisa mencintai kamu, tapi aku enggak bisa membohongi perasaan aku sendiri Andin.”
“Mas, aku enggak mengerti, kamu bicara apa, sih, Mas? Kamu sedang bercanda, kan? Aku mohon sama kamu, katakana kamu sedang bercanda, Mas!”
Sekali lagi Aldebaran melepaskan tangan Andin dari lengannya. “Aku harap juga begitu, tapi nyatanya enggak. Kita akan bercerai.”
“Mas!”
“Aku juga berhak bahagia. Aku ingin menghabiskan sisa hidup bersama dengan wanita yang aku cintai Andin.”
“Pernikahan kita, semua ini, selama enam tahun, kamu, kamu anggap apa, Mas?”
“Sekali lagi aku minta maaf Andin.”
Andin menyeka air matanya. “Maaf? Aku butuh penjelasan, Mas! Penjelasan. Tolong, Mas, jangan lakukan ini sama aku, Mas.”
“Kita enggak bisa melanjutkan hubungan kita Andin!” balas Aldebaran yang akhirnya tidak bisa menahan emosinya lebih jauh dari ini. Meski Andin tidak akan percaya, sungguh berat mengambil keputusan ini. Namun, Aldebaran tetap akan berada di dalam jalannya. Tidak akan ada yang bisa mengubah pendiriannya.
“Kenapa, Mas? Kenapa?”
“Aku enggak bisa jelaskan sama kamu, Andin! Aku juga sudah berusaha untuk menjaga agar hubungan kita berhasil, tapi, tapi aku enggak bisa bohong sama diri aku sendiri Andin!”
“Bohong? Bohong sama diri kamu sendiri? Memangnya kamu kenapa, Mas?” tuntut Andin teguh meminta penjelasan.
“Aku enggak pernah mencintai kamu Andin! Aku menikahi kamu karena mama yang memintanya! Hanya itu!”