Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) Kalau Cinta, Jangan Bohong! 

Tidak Setia

Levon tertidur dengan satu tangan menggenggam tangan mamanya. Saat ia merasa ada yang mengelus kepalanya, ia langsung terbangun dan melihat mamanya tersenyum padanya.
“Ma? Mama udah sadar?” tanyanya pelan.
Mama Levon mengangguk.
“Levon panggil dokter dulu, ya!” pamit Levon.
Tak lama kemudian, Levon tiba dengan dokter dan seorang suster. Dokter langsung dengan sigap memeriksa mamanya. Selesai periksa, dokter melepaskan stetoskopnya dan tersenyum pada Levon.
“Keadaan Mamamu baik-baik saja. Hanya perlu istirahat. Lusa nanti kalau sudah cukup baik, sudah diperbolehkan pulang.”
Levon pun tersenyum bahagia. “Terima kasih, Dok.”
“Ya. Permisi!”
Levon mendekati pembaringan mamanya dan tersenyum senang.
 “Lev, Mama dengar masalah kamu dari Leon. Kamu yang sabar, ya! Mama yakin kamu kuat.”
Levon mengangguk. “Levon udah lupain itu. Bagi Levon, dia hanya masa lalu. Minggu ini mereka akan tunangan.”
Mama Levon tersenyum lagi. “Kamu memang anak yang kuat dan tegar. Mama sayang sama kamu. Percaya sama Mama, Tuhan pasti sudah menyediakan seseorang yang lebih segalanya dari dia.”
Levon mengangguk. “Ma, Levon punya teman baru. Namanya Cassie. Levon pernah nggak sengaja nabrak mobil dia. Levon berencana ganti rugi ke dia dengan uang operasi untuk mama. Tapi, dia nggak mau terima dan menyuruh Levon menggunakan uang itu untuk mama. Levon beruntung bertemu dengan dia. Dia baik. Dia juga udah sering ke sini. Cuma belum sempat ketemu sama mama.”
“Kalau dia datang, kenalkan sama Mama, ya.”
“Pasti.”
Pintu terbuka. Levon menoleh dan mendapati adiknya yang datang. Melihat mamanya sadar, dengan cepat ia menghampiri mereka. “Mama udah sadar?”
“Iya, Leon.”
Leon, adik Levon itu menatap kakaknya. “Kak, ada teman di luar.”
“Siapa?”
“Cewek.”
Levon tersenyum. “Itu pasti Cassie, Ma. Levon akan kenalin Cassie sama Mama,” kata Levon pada mamanya.
Levon keluar dan mendapati Cassie duduk di luar. “Hai.”
Cassie menoleh dan tersenyum. “Hai.”
“Mama gue udah sadar. Yuk, masuk! Mama pengen ketemu sama lo.,” ajak Levon yang langsung menarik tangan Cassie masuk ke dalam.
“Ma, ini yang namanya Cassie,” kata Levon pada mamanya.
Cassie tersenyum gugup. “Selamat siang, Tante. Saya Cassie,” sapa Cassie sesopan mungkin.
Mama Levon tersenyum. “Kamu cantik sekali,” puji Mama Levon yang membuat Cassie tersipu malu. “Terima kasih ya, atas kebaikan kamu.”
“Terima kasih? Tapi, terima kasih atas kebaikan apa, Tante?” tanya Cassie yang disambut senyum geli Levon.
“Kebaikan kamu nggak menuntut Levon yang menabrak mobil kamu. Kebaikan itu juga buat Tante bisa operasi.”
“Kalau menurutku, semua orang pasti akan lakuin hal yang sama, Tante. Andai keadaannya berbalik, Cassie yakin Levon nggak akan nuntut Cassie,” ujar Cassie sambil melirik Levon yang tersenyum.
“Kata Levon, kamu juga sering kemari. Tante senang bisa mengenalmu.”
“Cassie juga, Tante. Cassie juga berharap Tante cepat sembuh.”
“Lusa mama udah boleh pulang,” sahut Levon.
“Oh ya? Syukurlah.”
“Terima kasih. Oh ya, kenalin ini adik gue. Namanya Leon,” ujar Levon memperkenalkan Leon pada Cassie.
Cassie menoleh ke arah Leon. “Salam kenal, ya,” kata Cassie.
Leon hanya mengangguk. “Sama-sama,” ujarnya dengan dingin. “Ma, Kak, Leon mau cari makan dulu.”
“Cas, maaf, Leon emang begitu orangnya. Dia emang terkesan dingin dan cuek,” jelas Levon yang diangguki Cassie. 
“Oh  iya, udah jam makan siang. Mama juga harus istirahat,” ujar Levon. “Kita makan siang dulu, yuk!”
“Nggak usah, Lev. Gue udah makan tadi.”
“Kalau begitu kita ngopi sebentar. Boleh?”
“Mm... baiklah.”
“Ma, kami ke kantin sebentar. Mama istirahat, ya,” pesan Levon yang diangguki mamanya.
“Permisi, Tante.”
“Terima kasih sudah datang, Nak,” ucap Mama Levon yang diangguki Cassie.
Sesampainya di kantin, Levon memesan dua gelas cappucino untuk mereka. Levon mengajak Cassie duduk di pinggir agar nyaman bercerita.
“Ada yang mau gue ceritain, Cas.”
Cassie mengernyitkan dahinya. “Tentang?”
“Leon.” Levon menarik napas panjang dan kemudian menghelanya. “Dulu Leon nggak seperti ini. Dia sama seperti anak-anak lainnya yang hobi bermain, yang pengen jalan bersama teman-temannya. Tapi, tiba-tiba dia berubah. Tadinya gue pikir karena kepergian gue dan bebannya menjaga mama. Baru-baru ini gue tahu penyebabnya.”
“Apa?”
“Tiba-tiba dia dibully tim futsal, waktu Leon diketahui suka sama pacarnya kapten futsal. Sejak itu, dia menjadi pendiam dan tertutup. Itu yang menyebabkan dia pindah sekolah.”
Cassie manggut-manggut. “Pasti berat buat dia. Tapi, dia bahagia di sekolah barunya, kan?”
Levon menggelengkan kepalanya. “Nggak ada perubahan. Kalau menurut gue, mungkin karena dia masih trauma. Gue hanya penasaran siapa sebenarnya cewek itu.”
“Gue yakin, Lev, suatu hari Leon pasti akan menemukan seseorang yang bisa membuatnya melupakan cewek itu. Hanya soal waktu aja.”
“Gue hanya mau dia bahagia. Gue salah, udah membebankan terlalu banyak masalah. Gue pengen dia jalanin kehidupan normal layaknya pelajar. Itu juga yang membuat gue memutuskan untuk tetap di sini.”
“Gue bangga sama lo, Lev,” puji Cassie yang segera meminum kopinya untuk menutupi kegugupannya. Namun tiba-tiba ia berteriak kepanasan. 
Levon mengusap pipinya sambil tersenyum. “Hei, pelan-pelan. Ini bukan es teh manis.”
Cassie terpana dengan perlakuan Levon. Ia mengejap-ngejapkan matanya, memastikan ia sedang tidak bermimpi. Belum selesai satu perlakuan, perlakuan lain membuat wajah Cassie merona dengan sendirinya. Levon mengelap bibir Cassie dengan tissue. 
“Ada bekas kopinya,” jelas Levon seolah mengerti arti tatapan Cassie.
Tiba-tiba seseorang berdehem, membuat keduanya saling menjauh. Ternyata Leon dengan tatapan dinginnya yang seolah-olah sanggup membekukan seisi kantin.
 “Ada apa?” tanya Levon.
“Dokter mau bicara dengan kita berdua. Sekarang!” katanya, lalu melangkah pergi. 
“Lev, kalau gitu gue pulang aja. Lain kali gue ke sini lagi.”
“Maaf ya, Cas, gue nggak bisa antar ke luar.”
Cassie berdiri dari duduknya. Ia tersenyum pada Levon. “Nggak apa-apa, kok. Gue jalan duluan, ya! Bye.”
“Bye.”
Cassie buru-buru menuju ke dalam mobilnya. Ia menenangkan debaran jantungnya yang sedari tadi berdetak dengan kencang. Wajahnya masih bersemu merah, namun ia merutuki dirinya sendiri.
Duh, kenapa sih gue ini?? Kok gue bisa deg-degan kayak gitu. Maaf Dava, maaf.
***
Setelah berbicara dengan Dokter, Levon dan Leon keluar dari ruangan dokter dengan perasaan lega. Mereka mendapat kabar bahwa jaringan benjolan yang diangkat bukanlah Tumor atau Kanker.
“Kakak lega sekarang. Untunglah bukan penyakit serius,” kata Levon yang hanya diangguki Leon. 
Lalu keduanya terdiam. Levon melirik Leon yang sudah bertumbuh besar. Levon merasa dia merupakan seorang kakak yang gagal. Tak pernah ia menanyakan kondisi Leon yang sesungguhnya semenjak ia sibuk kerja di luar negeri. 
“Leon, apa kamu bahagia di sekolahmu yang baru?”
Leon terkejut sebentar. Ia menatap Levon dengan tatapan yang tak dimengerti Levon. Lalu ia kembali melangkah pelan disusul Levon. “Cerita sama kakak kalau ada yang mengganjal pikiranmu.”
Leon masih tetap diam dalam langkahnya. 
“Apa masih tentang cewek itu?”
Leon berhenti dan menatap Levon dengan tajam. “Jangan pernah ungkit itu, Kak! Leon udah anggap itu masa lalu yang nggak perlu Leon ingat lagi.” Leon melangkah pergi setelah mengeluarkan emosinya, meninggalkan Levon yang tertegun.
Kenapa Leon begitu marah? Sebenarnya ada apa? Udah lama dia nggak pernah semarah ini. Levon menghela napas dan memutuskan untuk pulang. 
Levon tiba di rumahnya dengan keadaan yang lelah. Ia turun dari mobil dan mendapati seseorang yang sudah dikenalnya di teras.
“Bayu?” tegur Levon sambil menghampirinya.
Bayu, orang yang duduk di teras itu berdiri sambil tersenyum. “Apa kabar, Lev?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
Levon tersenyum dan membalas uluran tangan Bayu. “Gue baik-baik aja. Lo kapan balik dari Singapura?”
“Kemarin malam gue baru sampe.”
Levon mengajak Bayu masuk ke rumahnya dan mempersilakan Bayu duduk di ruang tamu. 
“Lo masih ingat aja rumah gue.”
“Man, dua tahun di Singapore nggak akan bikin gue lupa sama lo dan alamat lo. Dan lagian lo baru balik dua minggu udah kayak setahun aja. Gila aja lo!” jelas Bayu sambil tertawa. “Oh ya, gue ke sini bawa barang pesenan lo. Untungnya pas lo email gue, gue belom balik,” kata Bayu sambil mendorong sebuah koper besar milik Levon.
“Thanks, Bro.”
“Mm... sebenarnya ada satu hal lagi yang membuat gue harus ketemu sama lo.”
“Apa?”
Bayu menyerahkan sebuah undangan. Levon menerimanya dan membaca undangan itu. Setelah membacanya, Levon menutup undangan itu sambil menghela napas berat. Ia pun tersenyum pada Bayu. Bayu hanya melongo.
“Lo nggak marah membaca itu? Itu…”
“Gue udah anggap ini semua masa lalu. Mungkin kami nggak berjodoh.. Bagi gue, sekarang dia bukan siapa-siapa lagi.”
“Terus lo bakal penuhin undangannya?”
Levon mengangguk mantap. “Gue mau memberi selamat kepada mereka. Gue rasa, hanya itu yang bisa gue lakuin sekarang,” ujar Levon dengan lirih. “Lalu, gimana dengan ceweknya Dava?”
“Gue udah telepon ke rumahnya. Kata pembantunya, dia lagi nggak di rumah. Menurut gue, ceweknya mungkin udah tahu.”
“Kasihan banget. Mungkin dia nggak bisa setegar gue.”
Bayu mengangguk. “Gue masih nggak nyangka kenapa Dava bisa seperti itu sama ceweknya. Gue kenal banget sama ceweknya. Kenal banget malah. Dia teman adik gue dan sepupunya Nadia.”
Levon tersentak kaget. “Sepupu?” tanyanya yang diangguki Bayu. 
“Sama sepupunya aja tega, gimana dengan orang lain?” keluh Bayu. “Oh ya, Natasya marah banget sama lo. Dia bilang bisa-bisanya lo pergi begitu aja ninggalin dia. Dia kan cinta berat sama lo. Orangnya cantik pula. Kok lo nggak mau sama dia?”
Levon tertawa. “Dia memang cantik, baik. Tapi, gue hanya menganggapnya teman gue. Nggak lebih.”
“Apa sudah ada cewek lain?” goda Bayu.
“Bukan begitu. Memang ada cewek yang baru gue kenal. Tapi, gue hanya anggap dia adik gue. Gue masih pengen sendiri aja dulu.”
“Siapa cewek itu?”
“Gue kasih tahu juga lo nggak bakal tahu.”
Bayu tertawa. “Oh ya, Leon apa kabarnya?”
“Leon baik-baik aja. Kalau Risty?”
“Anak itu nggak pernah nggak baik,” kata Bayu sambil ngakak. “Ah, lo kayak pernah kenal Risty aja. Kenal juga cuma lewat telepon. Dan itu udah berapa tahun yang lalu coba? Gue rasa dia juga udah lupa sama lo. Lagian lo telepon juga nggak nyebut nama lo.”
Levon ikut tertawa. “Adik lo sendiri yang langsung ngasih julukan kakak ganteng. Bukan salah gue. Tapi, adik lo pasti orang yang asyik. Di telepon bisa akrab seperti itu. Bagaimana kenal langsung?” 
“Kebetulan! Gue minta adik gue jemput di sini. Ntar lo bisa kenal langsung sama dia. Dia kan kenal sama Leon. Pernah satu sekolah. Pasti dia kaget kakaknya Leon itu kakak ganteng versi dia.”
Levon pun tertawa mendengar celutukan Bayu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Kalau mereka berteman dan pernah satu sekolah, pasti Risty tahu cewek yang dimaksud Leon.
“Nanti bisa minta Risty turun sebentar? Ada yang mau gue tanyain sama dia tentang Leon.”
“Boleh.”
Terdengar suara pagar terbuka. Levon dan Bayu menoleh. Tampak Risty masuk dengan bingung.
“Nah, itu Risty!” seru Bayu. “Ris!”
Risty mendekat dengan wajah yang masih bingung. “Kak, ini kan rumah temennya Risty. Kakak kenal sama kakaknya Leon?”
“Tuh, orangnya!” 
Risty nyengir. “Salam kenal, Kak!”
“Jadi ini Risty yang sering ngobrol di telepon?”
Risty terkesiap. Ia menatap Bayu yang hanya tersenyum geli. Risty kembali memperhatikan Levon dan sama sekali tak mengingat apapun mengenai Levon. Levon sendiri ikut tersenyum geli.
“Kenalin, gue kakak ganteng yang sering lo ajak ngobrol.”
Mata Risty membesar. “Serius? Kakak ganteng?? Ya ampun, akhirnya gue bisa tahu wujudnya.” Risty tampak begitu histeris sehingga Levon dan Bayu tertawa. “Jadi kakak ganteng ini kakaknya Leon? Kok Leon nggak pernah bilang, sih?”
“Hei, udah! Kakak ganteng mau tanyain sesuatu tentang Leon,” tegur Bayu menghentikan Risty yang dinilainya norak.
“Oh, ada apa, Kak?”
“Masuk dulu, yuk! Kita ngobrol di dalam aja,” pinta Levon sambil mempersilakan mereka masuk.
Mereka masuk dan duduk di ruang tamu.
“Mm... Ris, gue pengen tanya sesuatu tentang Leon. Kalian pernah satu sekolah, kan?” tanya Levon yang hanya diangguki Risty. “Yang mau gue tanya, siapa cewek yang bikin Leon patah hati?”
Risty menghela napas. “Kebetulan cewek yang ditaksir Leon itu teman Risty juga. Sejak kelas sepuluh, Leon memang udah naksir sama dia. Tapi, Leon nggak pernah ijinin Risty buat bilang. Soalnya teman Risty udah punya pacar. Risty kasihan juga sih sampai akhirnya ketahuan anak-anak futsal yang langsung bully dia habis-habisan. Tapi, sampai detik ini teman Risty nggak tahu. Atau malah nggak kenal Leon kali. Yang pasti Leon tahu dia nggak mungkin saingan sama Dava.”
“Dava?” tanya Levon dengan kaget. Risty hanya mengangguk dengan wajah bingung.
“Jadi teman lo itu ceweknya Dava? Dava Robertino?” tanya Levon.
“Iya. Sampai sekarang mereka masih jadian. Tapi, Dava lagi kuliah di Singapura.”
“Lev, tadi kan gue udah bilang kalau ceweknya Dava itu temannya Risty. Namanya Cassie,” jelas Bayu.
Levon tersentak lagi. “Cassie?” tanya Levon dengan kaget. 
“Iya. Lo kenal sama Cassie?”
Levon terdiam mendadak. Ia tidak tahu harus bicara apa. Lidahnya serasa kelu. Hatinya terasa sakit. Jadi, waktu Cassie cerita tentang cowoknya, yang dimaksud adalah Dava? Singapura? Nanyang? Kakak sepupu? Harusnya gue nanya saat itu. Dan sekarang ditambah masalah kalau yang Leon suka itu Cassie. Pantas aja Leon cukup emosi sejak kehadiran Cassie.
“Sebenarnya ini ada apaan, sih? Bilang sama Risty!” pinta Risty.
“Ris, Dava bakal tunangan sama Nadia minggu ini.”
“Apa? Dava sama Kak Nadia?? Nggak mungkin!” teriak Risty. 
Bayu memperlihatkan undangan kepada Risty. Risty membacanya dengan mata membesar. Matanya mulai berkaca-kaca. “Kak, kalau Cassie tahu, Cassie pasti sakit banget,” ujar Risty dengan lirih. “Kenapa Dava dan Kak Nadia setega itu sama Cassie?”
Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Ia menoleh ke arah Levon yang sama terpukulnya. “Lo kenapa, Lev?”
“Lo ingat cewek yang gue ceritain tadi? Dia... Cassie,” jawab Levon dengan lirih.
Risty ikut tersentak. “Kakak kenal sama Cassie?”
Levon menoleh dan mengangguk. “Iya. Gue pernah nggak sengaja nabrak mobilnya.”
Risty terkejut. “Jadi…, kakak yang sering diceritain Cassie? Levon?”
“Iya, gue Levon. Maksud lo Cassie cerita tentang gue itu gimana?”
“Cassie sering cerita tentang kakak. Tentang kakak yang nabrak mobilnya. Tentang mamanya kakak yang sedang sakit. Tentang kakak yang baik dan tegar karena dikhianati ceweknya. Berarti... Kakak pacarnya Kak Nadia?”
Levon hanya mengangguk pelan. “Jadi sekarang harus bagaimana?
“Cassie nggak boleh tahu!” tegas Risty.
Bayu menghela napas. “Ya sudah, kita sepakat nggak usah beritahu Cassie. Gue juga nggak bisa bayangin gimana hancurnya dia kalau tahu semua.”
***