Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) Kalau Cinta, Jangan Bohong! 

Teman Baru

           Senin pagi, Cassie ke sekolah dengan perasaan yang ceria. Kata-kata I hate Monday tak berlaku untuknya. Tentu aja ini mengundang pertanyaan dari Risty, Carol dan Nora. Jam istirahat, ia langsung diseret ketiga sohibnya ke kantin.

            “Cas, apa sih yang bikin lo senang hari ini?” tanya Carol.

            “Apa Dava mau pulang ke Indonesia?” tebak Nora.

            Cassie menggeleng sambil tersenyum. “Tebak lagi, dong!” pancingnya.

            “Aha! Pasti tentang cowok yang nabrak mobil lo, kan?” tebak Risty.

            Cassie berdehem sebentar. “Iya. Dia ke rumah gue. Ternyata dia diam-diam nanya Pak Dudi alamat rumah. Dia tulus mau mengganti rugi mobil. Tapi gue tolak uangnya.”

            “Kenapa?” tanya mereka serempak. Mereka menganggap Cassie terlalu bodoh, menolak uang pengganti kerusakan mobilnya.

            “Kan gue udah cerita mamanya itu lagi butuh biaya. Mamanya hari ini harus dioperasi. Jadi menurut gue, mamanya lebih butuh uang itu dari pada gue. Apa lagi, papanya udah nggak ada.”

            “Cas, lo percaya gitu aja? Lo nggak takut orang itu hanya ngarang cerita?” tanya Risty dengan suara meninggi. 

            “Lo pikir gue bego? Sabtu dan minggu gue di rumah sakit bareng dia.”

            “Apa?” tanya mereka berbarengan dengan kaget.

            Cassie mengangguk-angguk. “Ceritanya sih ponselnya ketinggalan. Dia sempat cerita mamanya dirawat di rumah sakit. Jadi gue ke rumah sakit buat balikin ponselnya,” cerita Cassie. “Kasihan banget dia. Dia diputusin cewek yang selingkuh sama sahabatnya sendiri. Malah ceweknya bakal segera tunangan sama selingkuhannya. Dan parahnya lagi, ceweknya itu berhubungan dengan cowok yang jelas-jelas udah punya pacar di sini.”

            “Gila!! Seandainya gue jadi cewek si cowok yang selingkuh itu, gue pasti habisin cewek itu. Nggak tahu malu banget, sih!” marah Carol dengan nada emosi.

            “Gue gorok sekalian!” tambah Risty.

            “Udah! Lama-lama kalian jadi kriminal banget,”keluh Cassie. Lalu, ia menoleh ke arah Nora. “Ra, tumben Rian nggak nongol?”

            “Waktu istirahat dipakai buat ulangan matematika. Nanti kalau kita udah masuk, mereka baru istirahat,” jelas Nora.

            “Ra, lo pernah nggak, stress pacaran sama Rian? Secara dia itu banyak dikerubuti cewek-cewek. Kakak kelas lagi,” tanya Risty.

            Nora tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalau gue udah berani menerima cinta dia, gue harus siap dengan konsekuensinya. Gue ngerti kok posisi dia.”

            “Elo, Cas? Lo malah long distance sama Dava. Nggak takut Dava selingkuh?”

            Cassie terdiam. “Yah, dulu sih sering takut banget. Tapi, selama gue dan dia sama-sama jaga hati dan komunikasi, gue percaya sama dia,” jelas Cassie. “Kalo kalian berdua? Kapan nih punya pasangan?” tanya Cassie tak bermaksud meledek.

            “Gue sih tetap setia nungguin Kak Bayu,” kata Carol sambil terkekeh. 

            “Cie, setia sama Kak Bayu,” ledek Risty diikuti tawa Cassie dan Nora.

***

            Pulang sekolah, Cassie langsung berlari menuju gerbang. Ia ingin cepat-cepat menuju rumah sakit. Setelah menemukan mobilnya, ia segera masuk. “Rumah sakit, Pak!” seru Cassie pada supirnya.

            “Ya, Non.”

            Sepanjang perjalanan, Cassie terus melihat jam tangannya. Gara-gara diberi pelajaran tambahan, Cassie harus pulang jam satu. Biasanya pulang jam dua belas.

            Sesampainya di rumah sakit, Cassie langsung turun dan menuju ruang operasi, setelah sebelumnya menanyakan suster yang ia temui. Sampai di depan ruang operasi, ia tak menemukan Levon atau siapa pun di sana. Bahkan lampu di luar ruangan operasi juga padam. Cassie pun bingung.

            Saat seorang suster keluar dari ruang operasi, ia segera bertanya pada suster itu. “Siang Sus, numpang tanya. Pasien yang operasi jam dua belas kok nggak ada, ya?”

            “Oh, operasinya sudah selesai. Operasinya dimajukan jadi jam sembilan pagi.”

            “Oh. Sekarang pasien di mana?”

            “Kamu bisa ke lantai tiga. Beliau di kamar 302.”

            “Terima kasih, Suster. Permisi!” kata Cassie yang segera berlalu. 

            Cassie menaiki lift menuju lantai tiga. Ia pun keluar dan berhenti di kamar 302. Masalahnya, ia tidak berani masuk. Ia tak mengenal siapa-siapa selain Levon. Akhirnya ia memilih duduk di bangku yang disediakan di luar kamar.

            Tak lama kemudian, Levon keluar. Saat melihat Cassie, Levon terkejut. “Cassie?” tanyanya.

            Cassie menoleh dan berdiri dari duduknya. “Sorry gue telat.”

            “Kenapa lo nggak langsung masuk aja? Lo udah lama di sini?”

            Cassie menggeleng. “Gue takut lo nggak ada di dalam. Gue kan nggak kenal siapa-siapa. Nggak enak, kan kalau tiba-tiba masuk dan bilang temannya Levon?”

            Levon tertawa. Ia mempersilakan Cassie kembali duduk dengan tangannya. “Gue ngerti, kok. Lagian operasinya dimajukan. Oh ya, kok lo bisa tahu mama gue di kamar ini?”

            “Tadi nanya suster.”

            “Oh! Eh, lo pasti belum makan siang, kan? Kita makan, yuk!” ajak Levon sambil berdiri.

            “Mama lo gimana? Kan baru selesai operasi.”

            Levon tersenyum. “Lo pikir orang operasi nggak dibius? Dan apa lo pikir orang baru selesai operasi besar langsung sadar?”

            Cassie terkekeh menyadari ketololannya.

            “Nggak apa-apa, kok. Ada adik gue di dalam. Yuk!”

            Cassie masih bergeming. Terpaksa Levon menarik tangan Cassie. Wajah Cassie memerah. Saat Dava menggandeng tangan Cassie, Cassie tak pernah semalu ini. Levon sendiri tampaknya tidak menyadari hal itu.

            Sampai di kantin rumah sakit, Levon baru melepaskan tangan Cassie. Sepertinya bagi Levon, hal menggandeng tangan biasa-biasa aja, tapi beda buat Cassie.

            Setelah memesan makanan, mereka duduk di tempat biasa mereka duduk. 

            “Lev, maaf ya. Setiap kita ketemu, selalu pas jam makan siang. Malah ditraktir terus sama lo.”

            “Justru gue yang minta maaf karena hanya bisa traktir lo makan di kantin rumah sakit.”

            “Kok gitu?”

            “Anggap aja traktiran gue semua buat ngelunasin hutang gue yang udah nabrak mobil lo.”

            Cassie tertawa. “Ya elah, lo masih aja permasalahin itu? Gue aja udah lupa. Lagian, rusaknya nggak seberapa, kok. Nggak rusak-rusak amat.”

            “Lo baik banget. Cowok lo harusnya beruntung punya cewek kayak lo.”

            Cassie mengerutkan keningnya. “Harusnya?”

            “Maksud gue, cowok lo harus bersyukur punya cewek kayak lo.”

            “Oh,” keluh Cassie. “Oh ya, kapan lo bakal balik kerja?”

            Levon menggeleng. “Kayaknya gue nggak akan balik lagi ke sana. Gue mutusin untuk di sini aja.”

            Cassie kaget. “Terus kerjaan lo?”

            “Kalau masalah itu, gue bisa cari di sini. Gue nggak bisa ninggalin mama sama adik gue. Sepertinya waktu gue mutusin ke luar negeri kemarin, itu kesalahan besar. Selain mama jadi sakit, adik gue jadi sering bolos sekolah demi jagain mama.”

            “Lalu bos lo?”

            Levon tersenyum. “Dia marah! Marah banget waktu dengar gue resign. Dia nggak bisa maksa gue. Tekad gue udah bulat. Gue akan bertahan di sini.”

            Cassie tertawa. “Kata-kata terakhir lo kayak lagu favorit gue.”

            “Oh ya? Yang mana?”

            “Lagunya Sheila On 7 yang judulnya Bertahan Di sana. Itu lagu favorit gue. Setiap hari selalu dengerin lagu itu di mobil. Mungkin supir gue udah bosan banget kali dengernya.”

            “Lagu itu pasti ditujukan buat cowok lo, ya?”

            “Iya. Sebenarnya itu lagu kesukaan dia. Dia pernah nyanyiin buat gue.”

            Cerita Cassie terpotong saat pelayan kantin mengantarkan pesanan mereka. 

            “Gue pengen denger cerita pertemuan lo sama cowok lo atau kisah lainnya.”

            “Mm.. biasa aja sih,” ujar Cassie. “Jadi waktu gue kelas sepuluh, gue telat ke sekolah. Padahal ada upacara. Jadi terpaksa gue harus dihukum berdiri di depan. Untungnya aja ada kakak kelas yang terlambat juga. Jadi gue nggak malu sendiri doang,” jelas Cassie sambil terkekeh.

            “Lalu?”

            “Lalu kami kenalan pas dihukum itu. Dia sekelas sama kakak sepupu gue. Semenjak itu dia mulai pedekate dan kami jadian. Yah, nggak banyak yang menarik, sih.”    

            Levon hanya tersenyum. “Menarik,” jawabnya pendek. “Benar-benar kisah cinta di sekolah.”

            “Kalau lo gimana?” tanya Cassie. Lalu ia menggigit bibirnya. “Maaf, kalo nggak mau cerita nggak apa-apa, kok.”

            Levon tersenyum lagi. “Singkatnya aja, ya,” ujarnya. “Gue kenal dia dari sahabat gue itu. Kami beda sekolah. Gue tahu dia nggak tertarik sama gue, anehnya dia nerima gue jadi pacarnya. Sekeras apapun gue berusaha tetap aja nggak pernah benar di matanya.”

            “Lev, lo nggak usah cerita lagi. Gue ngerti, kok.”

            Levon hanya tersenyum. “Habisin makanan lo, keburu nggak enak lagi kalau udah dingin. Ntar gue anterin lo pulang.”

            “Nggak usah. Gue dianter supir.”

            Levon mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia pun melanjutkan makannya bersama Cassie. Diam-diam Levon melirik Cassie. Ia pun tersenyum sendiri.

Selesai makan, Levon mengantar Cassie sampai ke parkiran mobilnya.

            “Terima kasih, Lev. Gue pulang dulu,” pamit Cassie sebelum masuk ke mobil.

            “Ya. Terima kasih juga udah mau datang.”

            Cassie tersenyum sambil mengangguk. “Mm... gue kapan-kapan boleh ke sini lagi, kan? Gue kan belom ngobrol langsung sama mama lo.”

            “Anytime. Gue tunggu kedatangan lo.”

            Cassie tersenyum lagi. “Ok. Bye,” pamitnya sambil membuka pintu mobil dan masuk. Lalu ia menurunkan jendela dan melambaikan tangannya pada Levon. Levon juga balas melambai dan mengawasi hingga mobil Cassie keluar dari gerbang rumah sakit.

***

Mama Cassie membuka pintu, saat bel berbunyi. Ia tersenyum melihat siapa yang mengunjunginya. Ia mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu.

            “Ada apa, Kak Rani?” tanya beliau pada Rani, kakaknya.

            “Ini Rin, gue mau memberikan ini,” ujar beliau sambil menyerahkan sebuah undangan. “Maaf, tiba-tiba. Kami juga baru tahu dua minggu yang lalu. Jadinya buru-buru mencetak undangannya.”

            “Jadi Nadia akan menikah? Kapan dia kembali dari Singapura?”

            “Besok pagi dia akan sampai dengan calonnya. Aku merasa senang, akhirnya anak itu akan segera menuruti keinginanku yang udah pengen banget punya cucu.”

            “Cassie pasti juga senang. Kami pasti hadir.”

            “Ya sudah kalau begitu, Rin. Masih banyak undangan yang mau kusebar. Sampai jumpa, ya.”

            “Iya, Kak.”

            Mama Cassie mengantarkan kakaknya hingga ke depan pintu. Saat itu berpapasan dengan Cassie yang baru aja pulang. 

            “Mama? Tante Rani?”

            “Hai, Cassie. Aduh, maaf, Tante lagi buru-buru. Tante jalan duluan, ya!”

            “Ya, Tante.”

            “Ma, emangnya ada apa, sih?” tanya Cassie ketika Tante Rani sudah menghilang dari pandangannya.

            “Cuma menitipkan undangan. Kamu sendiri dari mana?”

            “Habis jenguk mamanya Levon, kok,” jawab Cassie dengan riang. 

            “Ya sudah. Kamu sudah makan?”

            “Sudah, Ma. Cassie capek banget, mau istirahat sebentar. Cassie ke kamar dulu, ya.”

            “Iya.”

            Cassie merebahkan tubuhnya di kasur. Baru aja akan terlelap, ponselnya berbunyi. Dengan enggan ia menjawab juga ponselnya tanpa melihat siapa penerimanya.

            “Hallo.”

            “Cas, kok lo tadi buru-buru pergi, sih? Padahal kami mau ajak makan di kafe. Ada apa, sih?”

            Cassie tertawa. “Elo, Ris. Sorry deh, gue udah keburu janji nemuin Levon di rumah sakit.” 

            “Gue jadi curiga sama lo. Kenapa lo jadi sering ketemu si Levon-Levon itu? Penasaran sama tampang cowok itu. Sekali-kali gue ikut lo ketemu dia, ya? Siapa tahu bisa gue gebet,” kali ini giliran Carol yang bersuara.

            “Boleh aja, sih. Tapi tunggu mamanya keluar dari rumah sakit dulu. Kan nggak enak ngumpul di rumah sakit. Bisa-bisa kita diusir.”

            “Iya. Gue juga alergi sama rumah sakit.”

            “Kalian lagi bareng?”

            “Iya ini masih di kafe. Baru aja selesai makan siang. Tadi kita tuh khawatir sama lo. Kirain ada apaan. Nggak tahunya ketemu cowok cakep,” omel Risty. “Ya udah, deh. Sampai ketemu besok. Bye.”

            “Bye.”

***