Contents
Menyusul Subang Larang
Menyusul Subang Larang 6. Rabu, Elang, Sasa, dan Tatang
Menyusul Subang Larang 6. Rabu, Elang, Sasa, dan Tatang
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Pagi-pagi, bakda subuh, Siliwangi yang jalan-jalan pagi sendirian di kampung itu melihat perempuan bercadar. Dari belakang, ia merasa mengenal tubuh perempuan itu. Meskipun tidak tahu perempuan itu siapa dan bisa jadi banyak tubuh yang sama, batinnya mengatakan tidak asing. Sontak ia pun terbelalak menduga siapa sosok dibalik cadar itu.
“Dinda Subang Larang,” ucapnya lirih. Ia pun segera melangkah menyusul langkah perempuan itu.
“Dinda Subang Larang!” seru Siliwangi.
Deg, Subang Larang berhenti. Ia merasa kenal dengan suara yang menyapanya. Ia sadar sedang dikenali oleh yang menyapanya. Namun, ia ingat ia sedang bercadar. Dengan cadar ia bisa mengelak dengan mengatakan dirinya bukan Subang Larang. Ia lantas bergegas melanjutkan langkahnya ke pasar, sebuah tugas pertamanya dari juragannya.
Siliwangi lekas mengejar Subang Larang. Ia lantas menangkap lengan belakang Subang Larang. Membuat Subang Larang tertarik ke belakang dan jatuh ke belakang. Siliwangi lekas mendekapnya agar tidak jatuh ke tanah. Jadilah Subang Larang jatuh ke pelukan Siliwangi.
“Kurang ajar! Siapa Anda! Apa Anda tidak tahu saya perempuan bercadar yang tidak boleh disentuh oleh lelaki yang bukan suaminya?” marah Subang Larang sembari dengan kasar melepaskan dirinya dari pelukan Siliwangi. Subang Larang terbawa emosi karena luka hatinya mendalam. Siliwangi sudah sangat merendahkannya sebagai perempuan bermartabat dengan menuduhnya selingkuh. Selain itu, dengan tuduhan itu, membuatnya berkesimpulan rasa cinta Siliwangi kepada dirinya hanyalah bulan.
“Aku tahu kamu Ratu Subang Larang dan kamu tahu aku siapa,” ujar Siliwangi.
“Maksud kisanak, kisanak adalah Gusti Prabu Siliwangi? Mana mungkin Gusti Prabu Siliwangi ada di desa ini? Gusti Prabu Siliwangi di istana! Saya Rara bukan Subang Larang! Permisi, juragan saya sudah menunggu!” Subang Larang terus berkata dengan emosi. Kemudian, melangkah juga cepat-cepat dengan terbawa emosi. Sehingga menunjukkan jelas perempuan itu pergi cepat-cepat bukan sekedar terburu-buru, tetapi sedang marah.
“Iya, pasti, kamu sangat marah kepadaku sekarang ini.” Siliwangi berdiri diam menatap langkah Subang Larang yang menjauh darinya. Kemudian, saat Subang Larang hampir menghilang dari jangkauan netranya, ia lekas mengikuti. Kini, ia diam-diam mengikuti istrinya itu.
Dilihatnya, Subang Larang sedang berbelanja. “Dia berbelanja? Katanya tidak bawa bekal. Oh, ataukah dia masih membawa kantong uang? Ataukah ia menjual perhiasannya? Em ... tadi ia bilang juragan? Bekerja?” batinnya menelaah. Subang Larang akhirnya selesai berbelanja. Siliwangi lekas mengikuti.
Siliwangi melihat perempuan bercadar memasuki sebuah rumah besar saat mentari benar-benar telah menyingsing. Kemudian, ada seorang perempuan tua yang mengintip Subang Larang dengan tatapan tidak suka. Siliwangi mengernyitkan dahinya mengerti jika perempuan tua itu tidak suka dengan istrinya.
“Siapa perempuan tua itu di rumah besar yang dimasuki Dinda Subang Larang? Kenapa ia tidak suka dengan Dinda Subang Larang?”
“Aku jadi khawatir kalau nenek itu akan melukai istriku,” batin Siliwangi kemudian.
Tidak lama setelah masuk ke dalam rumah, Subang Larang tampak ke luar lagi. Namun, hanya sampai di halaman rumah besar. Subang Larang tampak mengambil sapu dan menyapu halaman.
Di sebelah rumah besar ada rumah besar juga. Tampak ke luar seorang perempuan dan laki-laki. Keduanya menatap heran ke rumah besar yang halamannya sedang disapu Subang Larang. Keduanya mendekat.
“Permisi, Nisanak siapanya Tisna dan Esih?” tanya Kusumaningrum.
“Saya pembantu baru. Baru semalam.” Keterangan dari Subang Larang membuat Siliwangi yang sedang mengintip tersenyum karena itu semakin membenarkan jika perempuan bercadar itu adalah istrinya.
“Wah, kok tidak melamar saja di tempat saya? Istri saya sedang butuh pembantu. Pindah sini saja, kan di situ sudah ada Mbok Mira. Saya akan bayar lebih dari bayaran kerja di Tisna dan Esih.”
“Terima kasih, tapi saya sudah di sini. Mohon maaf saya tidak bisa menerima tawaran juragan.”
“Saya juga butuh banyak orang untuk bantu saya berdagang. Punya suami atau anak tidak? Suaminya atau anaknya ada pekerjaan tidak? Kalau tidak ada atau pekerjaannya kurang cocok, kerja ke saya saja. Di saya bayarannya lumayan.”
“Maaf, sepertinya tidak bisa.”
“Oh, ya sudah kalau begitu. Saya akan cari sendiri. Kenalkan, saya Harja dan ini istri saya Kusumaningrum.”
“Saya Rara.”
Siliwangi membatin, “Ini kesempatanku. Aku akan mengajak anak-anak menjadi pembantu di rumah Harja.” Pergilah Siliwangi menemui anak-anaknya yang mulai bersiap untuk berkeliling mencari Subang Larang.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
“Ayahanda Prabu, langit sudah benar-benar terang. Kami akan berpencar mencari Ibunda ke rumah-rumah besar,” ujar Walang Sungsang.
“Tidak perlu.”
“Kenapa, Ayahanda? Ayahanda tidak ingin Ibunda kami kembali?” tanya Walang Sungsang dengan nada sedikit marah.
“Aku sungguh ingin Ibunda kalian kembali. Aku sudah menemukannya. Aku melihat perempuan bercadar. Aku menegurnya sapanya karena aku yakin itu Ibunda kalian. Akan tetapi, Ibunda kalian mengelak dengan sangat marah. Aku tahu itu pasti marah karena aku mengusirnya dengan tuduhan selingkuh. Aku akhirnya ikuti diam-diam. Perempuan bercadar itu menuju ke pasar berbelanja. Setelah itu, masuk ke sebuah rumah besar. Setelah itu, perempuan itu menyapu halaman. Tetangganya menyapanya karena tidak pernah mengetahui dirinya sebelumnya. Perempuan bercadar itu menerangkan kalau ia adalah pembantu baru dan baru semalam. Aku sangat yakin itu pasti Ibunda kalian.”
“Sudah pasti, Ayahanda Prabu! Ananda juga yakin itu Ibunda!” ujar Rara Santang yang tidak sabar untuk menemui Ibundanya.
“Ayo, kalau begitu kita susul Ibunda, Ayahanda!” ajak Kian Santang berbinar dan juga tidak sabar untuk bertemu ibundanya.
“Ibunda kalian sedang sangat marah kepadaku. Pasti Ibunda kalian tidak akan mau pulang. Kalau kita temui begitu saja, aku khawatir, Ibunda kalian malah akan kabur, pergi menghilang dari kita.”
“Lalu bagaimana, Ayahanda?” tanya Walang Sungsang.
“Tetangganya yang menanyakannya itu rumahnya juga besar. Aku dengar dari percakapan mereka jika tetangganya itu juga butuh pembantu. Butuh pembantu untuk istrinya dan beberapa pembantu untuk membantu berdagang. Aku mau mengajak Ananda Kian Santang, Ananda Rara Santang, dan Ananda Walang Sungsang untuk bekerja pada juragan itu. Untuk itu kita kembali dulu ke istana untuk berganti pakaian. Kita akan menyamar. Ananda Surawisesa, urusan istana Ananda yang bertanggung jawab.”
“Baik, Ayahanda Prabu.”
“Ayo, kita segera kembali ke istana! Kalian bertiga sewalah kuda atau kereta biar cepat sampai di istana!” Siliwangi dan Surawisesa naik ke kuda masing-masing. Rara Santang, Kian Santang, dan Walang Sungsang segera menyewa kereta untuk kembali ke istana dengan cepat.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Setelah itu, Siliwangi, Kian Santang, Rara Santang, dan Walang Sungsang datang kembali ke desa di mana Subang Larang berada. Mereka berpakaian sangat sederhana dan membawa buntalan kain berisi baju ganti yang sederhana juga. Selain itu, mereka mengubah wajah mereka dengan menambahkan bulu-bulu wajah agar tidak bisa dikenali terutama oleh Subang Larang. Mereka melakukan hal itu agar bisa mendekat ke Subang Larang yang kemungkinan akan kabur dan menghilang jika didekati dengan terang-terangan.
“Assalammualaikum!” seru Waraki hampir bersamaan.
“Sampurasun!” seru Siliwangi.
Harja yang sedang menyiapkan dagangan beranjak sejenak untuk menghampiri yang menyapa. “Waalaikumsalam. Rampes. Siapa, ada apa?”
“Kami sedang mencari pekerjaan, Juragan. Putriku bisa bersih-bersih dan memasak. Aku dan kedua putraku bisa melakukan banyak hal. Apakah ada lowongan di kediaman, Juragan?”
“Wah, kebetulan sekali! Ada-ada! Kusumaningrum ... Kusumaningrum!” Harja pun memanggil istrinya dengan semangat. “Nama kisanak dan anak-anak kisanak siapa?” tanyanya kemudian. Siliwangi dan ketiga anaknya saling pandang bingung karena belum mengarang nama untuk menyamar.
“Saya Sasa,” celetuk Rara Santang yang telah memiliki ide untuk nama samarannya.
“Saya Tatang,” ujar Kian Santang.
“Saya Elang,” ujar Walang Sungsang.
“Aku siapa ya?” Siliwangi bingung hingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal membuat Harja menatap heran ke Siliwangi. Bagaimana mungkin ada orang tidak tahu namanya.
“Bilang ingatan apa ya?” celetuk Harja.
“Ah, Rabu!” seru Kian Santang sembari menunjukkan dua tangannya dan mengacungkan telunjuknya ke Siliwangi.
“Ah, iya, Rabu!” seru Rara Santang ikutan.
“Rabu?” Siliwangi merasa tidak cocok dengan nama itu.
“Ya udah lah Rabu saja, Ayahanda!” ujar Walang Sungsang.
“Iya deh Rabu saja deh. Nama saya Rabu, Juragan,” ujar Siliwangi. Membuat Harja yang kini menggaruk kepalanya yang tidak gatal lantaran heran.
“Kok nama jadi tawar menawar? Memangnya waktu lahir belum diberi nama?” tanya heran. Siliwangi dan anak-anaknya menjadi nyengir karena penyamaran mereka kurang sempurna tidak dirancang dulu dengan baik sebelumnya.
Ketika itu, perempuan bercadar ke luar ke halaman. Perempuan itu membawa tampah. Ia sedang menampi beras. Siliwangi menjadi menengok ke Subang Larang. Anak-anak pun menengok ke Subang Larang.
Bersambung
Terima kasih
✨❤️❤️❤️✨
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)