Contents
(TAMAT) Printemps a Paris
6: Namanya Francoise
“Julie, turunlah. Makan malam sudah siap” teriak Séb dari luar kamar, dengan bahasa Prancis yang sebetulnya masih belum kumengerti benar. Kira-kira begitulah maksudnya. Sedari tadi, aku memang tidak keluar kamar karena sibuk mengatur koper dan tasku untuk dikeluarkan isinya dan dimasukkan ke dalam lemari. Aku belum melakukan itu dari kemarin karena kau tahu, kan? Aku tidur terus selama 14 jam.
“Okey! J’arrive!” hanya itu jawabku kemudian cepat-cepat merapikan diri untuk bergabung dengan mereka dibawah. Ada dua orang lagi yang belum aku kenal di rumah ini, Alain dan anak perempuannya, Françoise, dan aku sedikit was-was dengan peringatan Didier tadi siang bahwa aku harus sedikit tenang menghadapinya. Duh, seperti apa sih gadis itu? Ohya, mungkin lebih baik jika aku tidak usah banyak tanya lagi karena dengan menuruni tangga kayu ini, aku akan berjumpa dengannya. Hatiku berdebar ketika kulihat semuanya sudah berkumpul di meja makan.
“Allô..” sapaku sambil melambaikan tangan.
“Salut”
“Coucou!” dan semuanya menjawab balik sapaanku. Tambah lagi kosa kataku, Coucou dan salut, rupanya adalah sapaan khas orang Prancis selain Allô, bonjour dan bonsoir.
“Ayo! Bergabung!” kata Alain. Aku sudah tahu sosoknya dari foto. Segera kusalami dirinya seraya memperkenalkan diri. Alain, lebih kurus dan lebih tampan dibanding dalam foto. Ramahnya bukan main dan kurasa itu diwariskannya kepada Sébastien. Mata kecilnya menempel begitu saja di wajahnya yang lebar. Tentu saja yang mendominasi wajah Alain adalah hidungnya yang besar dan menggunung. Kau tahu hidung besar milik Gérard Depardieu pemeran Obelix dalam Asterix the movie? Ya, seperti itu hidung Alain.
“Ayo duduk, Julie. Kita makan bersama!”
“Merci”
“Julie, c’est Françoise” kata maman “Françoise c’est ta soeur, Julie” lanjutnya dengan bahasa Prancis. Tadi siang maman bilang padaku, dia akan berbahasa Prancis denganku jika berkumpul ramai-ramai begini untuk mengindari salah paham antara keluarga karena mereka tidak mengerti bahasa Indonesia. Aku setuju dengan itu. Sebetulnya tidak masalah jika maman bicara Prancis saja padaku karena aku sedang berusaha menerima diriku sebagai orang Prancis juga! Ha, suatu kemajuan yang baik bukan?
Françoise-dilafalkan frangsoaz-, bergeming. Dia tidak menanggapi uluran tanganku dan hanya menatapku sekilas. Astaga! Meski wajah itu hampir secantik Lee Lee Sobieski, tapi aku menyayangkan kenapa rautnya begitu dingin dan judes! Serentak semua yang ada di meja makan itu terdiam, hanya saling pandang. Kulihat maman menundukkan kepalanya, tak berani menatapku. Sementara itu kulihat, suaminya mendelik.
“Françoise!” bentaknya, membuat semua yang ada disitu kaget. Rupanya gadis itu mengerti jika papanya marah dengan kelakuannya. Dengan gerakan malas-malasan, gadis itu menyambut tanganku lalu cepat-cepat ditariknya kembali.
“Julie” aku menyebut namaku pelan dan masih termanggu dengan sikap perempuan ini. Sambil makan, kupandangi dia dan aku segera paham maksud Didier tadi siang, bahwa aku harus sedikit tenang jika berhadapan dengannya. Rupanya begini.
“Françoise, jika kamu tidak kemana-mana, temani Julie mendaftar kursus bahasa di Sorbonne, ya. Kamu tahu tempatnya, bukan?” tanya Sébastien mengawali kebisuan diantara kami.
“Non, je peux pas!” jawab Françoise singkat. Aku tahu artinya, dia tidak bisa atau tidak mau menemaniku.
“Tapi..”
“Je te dis, je peux pas! Tu comprends ?” kata Françoise “Jika kamu mau, kamu saja yang menemaninya, Séb” tukasnya, tajam. Sejenak, Françoise dan Sébastien saling bertatapan tajam. Aku jadi merasa tidak enak. Dalam hati aku ingin mengatakan pada mereka bahwa aku bisa kesana sendiri tanpa ditemani siapapun. Yeah, aku kan bisa pergi dengan bantuan peta. Meskipun belum yakin, sih.
“Ajaklah dia jalan-jalan sekaligus untuk mengakrabkan dirimu dengannya, Françoise. Mungkin sikapmu akan berubah padanya jika kau kenal dia. De toute façon, elle est notre soeur, saudara perempuan kita” kata Séb melunak, meski kulihat sikap itu agak sedikit dipaksakan.
“Kata siapa?” serang Françoise, berapi-api “Aku tidak pernah punya saudara lagi selain kamu dan Didier!!”
“CUKUP, FRANÇOISE!!” bentak Alain “Kalau kamu tidak mau menemani Julie juga tidak apa-apa, tapi Papa harap kamu bisa jaga sopan santunmu di meja makan ini” kata Alain, kemudian menoleh padaku,
“Maafkan dia, Julie, dia hanya belum bisa menerimamu sebagai..”
“Bukan belum bisa, Papa” potong Françoise “Tapi TIDAK BISA. Papa harus tahu bedanya antara belum bisa dan tidak bisa!”
“Papa bilang, kamu HARUS bisa!!”
“Sudahlah, Alain” kata Maman “Biarkan dia tenang dulu”
“Oke!” Françoise berdiri “Merci beaucoup à tous , kalian telah berhasil membuat nafsu makanku hilang” kata Françoise dingin dan dia meninggalkan meja makan, meninggalkan makan malam yang sengaja dirancang keluarga Riquet untuk menyambutku. Oh, itu sangat buruk. Kulihat Alain meradang dan itu sangat jelas teridentifikasi dari wajahnya yang memerah menahan amarah. Dia berdiri.
“FRANÇOISE!!” teriaknya. Maman memegangi tangan suaminya, menyuruhnya duduk kembali. Alain mengatur napasnya dan beberapa detik kemudian, amarah itu telah terkendali.
“Maafkan kami, Julie” ujar Alain pelan. Aku mengangguk pelan dan melirik maman yang menatapku sendu. Aku lihat ada sesuatu di mata maman. Mata itu, penuh ketidakberdayaan. Aku mengerti, maman pasti sedang kebingungan menghadapi situasi yang tidak diharapkan ini. Julie adalah anak kandungnya, sedangkan Françoise adalah anak suaminya. Mana yang harus dia bela?
“Sudahlah, aku saja yang mengantar daftar kursus nanti” kata Séb, melanjutkan makannya.
“Tapi kamu kan harus kuliah. Seharusnya memang Françoise. Dia bisa melakukannya sepulang sekolah” kata Alain.
“Jadwal kuliah bisa kuatur, Papa, jangan khawatir” katanya. Semua melanjutkan makan malam yang dingin itu dalam diam. Tiba-tiba Didier memegangi tanganku seolah menyatakan jika aku tidak usah terlalu memikirkan kakak perempuannya itu. Kau tahu, aku hampir saja menangis karena kejadian ini. Kini aku paham, bahwa Françoise ternyata tidak menyukaiku, bahkan sejak awal ketika maman menghembuskan isu bahwa dia akan membawa anak kandungnya dari Indonesia dan tinggal dengan keluarga Riquet.
Oh, tentu saja, jauh di lubuk hatiku sebenarnya tidak bisa menerima. Namun aku kembali merenung dan berusaha menyadari posisiku di sini. Pikiranku melayang ke Jakarta dan ingat bahwa aku pernah menghadapi situasi seperti ini. Aku pernah dibenci oleh teman sekelasku Nabilla dan kawan-kawannya hanya karena aku anak broken home, korban perceraian orangtua, minderan, kuper, kurus, dekil dan satu lagi, tidak modis! Nabilla mulai membenciku dari kelas satu hingga kelas tiga SMA dan selama itu pula, aku berjuang melawan penindasan yang dilakukan Nabilla dan teman-teman ganknya dengan menunjukkan prestasi-prestasi belajar yang membuat mereka makin tidak menyukaiku. Kini, meskipun aku sudah pernah tahu bagaimana rasanya dibenci, tapi dibenci oleh orang yang tinggal serumah dengan kita, oh, sedihnya bisa berlipat-lipat kali.
Kamu tahu, kesedihan itulah yang tengah aku rasakan sekarang.