Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) A Movie In Our Story 

Funfte Monat

“Cut!!”
Chauncy Geffrey menghampiri kursi-kursi di bawah tenda yang berdiri di salah satu tepi jalan yang dinaungi pepohonan. Ia menghempaskan diri di salah satu kursi kosong dan membiarkan angin München yang akan masuk pada musim gugur menerpa wajahnya. Hari ini begitu melelahkan. Tadi, ia harus mengulang beberapa scene berkali-kali sampai tubuhnya banyak berpeluh. Terutama saat adegan dansa dengan lawan mainnya. Sisa scene untuk hari ini masih banyak. Sehingga kemungkinan besar, waktu istirahatnya akan kian menyempit.
“Kita mulai adegan selanjutnya sepuluh menit lagi. Sekarang, istirahatlah sebentar.” Nuvelle South yang sedang duduk di belakang monitor itu berbicara. Kemudian lelaki paruh baya itu bangkit, dan berjalan mendekati Geffrey. “Kita belum sampai satu minggu sejak awal syuting, namun, aku terkesan dengan aktingmu.”
Geffrey tersenyum dan mengangguk hormat pada Nuvelle. “Danke schön, Herr South.   Saya  akan bekerja lebih keras lagi.”
Nuvelle South menepuk pundak Geffrey sebelum berlalu menghampiri Tami Hiromasa yang sedang duduk memegang papan scene. Lalu membisikkan sesuatu di telinga gadis bermata sipit itu, yang disusul anggukan kepala keduanya.
Tami Hiromasa membuatnya tersenyum di tempat. Gadis itu membuat ingatannya terlempar saat pertama kali mereka bertemu. Menggurat kesan tersendiri baginya pada gadis yang begitu gigih untuk membujuk ia membintangi film ini.
Lalu Tami Hiromasa berdiri. Papan scene yang semula di tangannya berganti dengan alat pengeras suara. “Perhatian untuk semuanya. Kita pindah lokasi untuk adegan selanjutnya. Bersiap-siaplah untuk ke Hofgarten.”
Geffrey menjengitkan alis. Ia enggan bangkit dari kursi dan membiarkan para perias wajah membubuhkan bedak di muka sembari tangannya sibuk membolak-balik lembaran skenario. Mendadak, sudut matanya menangkap sesuatu. Sepasang mata sedang memperhatikan tidak jauh dari tempatnya berada. Sepasang mata cantik yang ia kenal, sekaligus yang begitu ia benci.
“Kau tidak apa-apa?”
Kalimat tanya itu datang dari Ruff. Manajer sekaligus sahabat terbaiknya yang tentu saja sangat memahami situasi ini. Ia begitu mengenal Geffrey yang suatu saat bisa terguncang ketika emosinya tidak seimbang, sehingga dapat memutuskan sesuatu dengan ceroboh. Dan tatapan Aimee pada Geffrey seperti ini bisa saja membuat sang aktor tiba-tiba meluap.
Geffrey mengibaskan tangan, memastikan pada Ruff bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Setidaknya, ia sudah menyungguhkan diri ketika ia membalas tatapan Aimee secara utuh, lalu mengabaikan gadis itu. 
Tidak akan ada tatapan yang ia suguhkan pada gadis itu lagi seperti dulu. Apalagi perasaan. Yang ia tahu, ada saatnya ia bisa membalas gadis itu.
“Chauncy Geffrey, cepatlah bersiap-siap!” 
Geffrey melempar pandangan pada gadis bermata sipit yang sudah berdiri di sampingnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Membuatnya tersenyum simpul. Gadis ini, kalau matanya tak sekecil itu, mungkin saat ini ia sedang mendelik lebar-lebar.
“Kenapa tersenyum seperti itu? Ada yang lucu?” Tami kembali menghujani pertanyaan bernada datar pada lelaki itu. 
Geffrey berdiri sambil mengulum senyum. “Tidak. Baiklah, Ruff akan membantuku berkemas. Santai saja.”
Tami menyimpulkan senyum. Ia yang bergegas menghampiri aktor lain, mendadak menghentikan langkah dan menoleh pada Geffrey. “Oh ya, sebaiknya kau perhatikan aktingmu. Berusahalah lebih fokus agar tak seletih ini.”
“Kau sedang memberi nasihat padaku, atau sedang memperhatikanku?”
“Aku… apa?” Tami membelalak, lalu mengelak. “Aku melakukan hal yang sama pada semua pemain.”
“Benarkah? Padahal aku mengharapkan kau berkata ‘iya’.”
Tami Hiromasa memicingkan mata. Sebuah tanda tanya tergambar jelas di wajahnya.
Geffrey menyeringai. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.  “Tidak. Oh sudahlah, aku akan menaati anjuranmu, Nona Sutradara.”
Tami meninggalkan Geffrey dengan kesal. Ia membalikkan badan dan enggan menatap lelaki itu lagi.
Sebuah senyum menghiasi wajah Geffrey saat matanya menangkap gerak-gerik Tami. Kemudian ia mengemas lembaran skenario yang masih tergeletak di atas meja. Sudut matanya kembali membekuk sepasang mata cantik yang terlihat masih memperhatikan. Mata cantik dengan pemilik yang enggan ia sebutkan namanya.
Ia menatap kembali Tami Hiromasa yang sedang bergegas masuk ke dalam mobil. Perlahan, konsep pembalasan itu tersusun dengan sendirinya.

“Diana, di mana draft baru skenarionya??” teriak Tami dari ruang tamu.
“Ah ya. Sebentar…” sahut Diana dari kamarnya. Lalu, gadis itu keluar dari kamarnya membawa tas ransel dengan tumpukan naskah di tangan, dan menyerahkan pada Tami. “Ini hasil revisinya yang baru kuperbaiki semalam.”
“Kau ingin berangkat sekarang?”
“Iya. Aku harus memperbaiki sesuatu. Sampai jumpa di lokasi.”
“Pass auf!” Tami melambaikan tangan saat Diana meninggalkan ruang apartemen sebelum kembali membereskan barang-barang bawaannya.
Tepat pada saat itu, Aimee keluar dari kamarnya dan menuju dapur dengan penampilan rapi. Gadis itu mengeluarkan sebotol susu dari dalam kulkas dan berjalan menghampiri Tami.
“Kau akan berangkat sekarang juga?”
Aimee meneguk susunya, lalu menjawab, “tidak. Kita pergi bersama saja. Diana sudah pergi?”
Tami mengangguk dengan pandangan dan konsentrasi yang tak teralihkan dari  barang-barang di hadapannya. Saat ini, sudah ada dua tas yang lumayan besar, dan sebuah buku catatan pribadi di sebelah tangan kirinya. “Apa lagi yang belum masuk, ya?” gumamnya sambil berusaha mengingat-ingat. Sedetik kemudian setelah matanya terpejam, ia menemukan jawabannya. “Ah, iya benar!” 
Buru-buru ia melangkahkan kakinya menuju kamar dan menabrak Aimee yang masih memegang sebotol susu di tangannya tanpa bisa dihindari. Buku di tangan Tami jatuh bersamaan dengan tumpahnya susu yang sudah setengah habis dari tangan Aimee. Mereka berdua terkesiap dan segera berjongkok untuk menyelamatkan kedua benda yang nyaris bersatu di atas lantai.
“Ah, Aimee, aku minta maaf. Susu kesukaanmu jadi tumpah…,” gumam Tami sambil memungut buku yang sebagiannya tertimpa tumpahan susu. “Oh ya ampun, bentuk buku ini sekarang membuatku frustrasi.”
Tami merengut sambil membuka bagian-bagian buku yang terselamatkan. Ini buku pribadi yang menjadi satu-satunya saksi kata hati yang belum bisa diungkapkan pada Toshiro Yoshi. Kenapa harus setragis ini?
“Tami, itu ada yang jatuh!” Aimee buru-buru mengamankan sehelai foto yang jatuh tengkurap, lalu mengembalikannya pada Tami dalam keadaan terbuka. “Oh, siapa itu?” tanyanya begitu melihat seseorang lelaki yang terpampang di foto, sementara sebelah tangannya berhenti sebentar dari membersihkan tumpahan susu dengan lap.
“Terima kasih,” balasnya singkat setelah merebut foto itu dari Aimee. “Nanti akan kuceritakan. Sebaiknya kita cepat-cepat agar tidak terlambat ke lokasi.”
Aimee mengangguk tanpa banyak berucap. Ia segera membersihkan lantai dan merapikan barang-barang di hadapannya kembali seperti semula.

“Minuman dataaang!!”
Diana menyeru sambil berlari kecil menghampiri orang-orang di lokasi syuting. Senyum ceria yang tergaris di wajah mengiringi indahnya pemandangan di Olympiapark, meskipun di tangannya ada dua kantong plastik berisi minuman ringan. Hari yang indah ini membuat syuting lebih lancar dari sebelumnya, sehingga membuatnya berinisiatif untuk membujuk salah satu kerabat, agar mengantarnya ke pasar terdekat dan membeli banyak minuman untuk semua kru.
Ia meletakkan kedua plastik tersebut di salah satu tenda dan mengambil dua kaleng minuman dari dalamnya. Matanya menjelajah, mencari seseorang yang membuatnya bersemangat belakangan ini.
“Akhirnya minuman datang. Danke, Diana!” ucap beberapa kru yang menghampirinya dan mengambil minuman dari plastik.
Diana mengangguk senang. Ia kembali memfokuskan penglihatannya mencari orang itu. Ketemu! Matanya membulat dan sebuah senyum melengkung di bibir. Segera dilangkahkan kakinya menghampiri lelaki yang sedang duduk di salah satu kursi sambil berbicara dengan gadis di depannya. 
“Aimee, kau di sini juga rupanya,” sapa Diana saat dirinya sudah berada di dekat Aurich. Ia baru menyadari bahwa lelaki ini sedang berbicara pada Aimee ketika mereka sudah berdekatan.
“Oh, hi, Diana!” balas Aimee ketika tatapan mereka bertemu. “Iya. Kami sedang diskusi perubahan adegan dan tempat yang perlu direvisi. Omong-omong, kau habis beli minuman?” Aimee mengamati dua kaleng di tangan Diana dan kembali melanjutkan, “Kebetulan sekali, aku haus.”
Diana menyeringai. “Kau bisa ambil di tenda dekat monitor,” jawabnya dengan kode dan tatapan penuh arti.
Aimee membuka mulut yang disusul dengan anggukan. Tentu saja ia mengerti maksudnya. Ia segera menatap Aurich, “Aku kehausan. Kapan-kapan kita lanjut bicaranya lagi, ya.”
Aurich mengangguk. “Oke. Danke untuk diskusinya yang menyenangkan.”
“Bitte. Kalian berdua juga. Selamat bersenang-senang!” sahut Aimee sambil  menepuk pundak Diana dan berkedip nakal.
Diana terperangah. Ia buru-buru mengambil alih situasi agar tidak terlihat salah tingkah. “Aurich, ini kubawakan minum. Semoga suka.”
Aurich tersenyum tipis.
Suasana menjadi datar.
Buru-buru ia merutuk pada Aimee dalam hati. Sial, ini memalukan!

“Ruff, itu untuk Geffrey?” tanya Aimee sambil menunjuk dua kaleng minuman di tangan Ruff yang baru diambilnya dari plastik.
Ruff mengangguk.
Aimee tersenyum dan mengambil kaleng minuman itu dari tangan Ruff. “Biarkan aku yang memberinya, ya, tuan manajer yang baik,” ucapnya tanpa menggubris respons Ruff.
Gadis itu langsung menghampiri Chauncy Geffrey yang tengah membaca skenario di sela-sela istirahat syuting di tepi danau Olympiapark yang jauh dari tenda monitor, dengan seorang penata rias di sampingnya yang sedang membersihkan peluh dan membubuhi bedak di wajah. Sesekali lelaki itu memasang wajah terganggu dengan gerakan si penata rias dan terlihat sedang menggumam sebal.
Aimee tertawa kecil di tempatnya. Ia sengaja memberhentikan langkah sebentar sebelum sampai di dekat lelaki itu. Sedikit banyak, lelaki itu masih tidak berubah. Dan ia sangat menyukainya.

Di kursinya, Geffrey kembali mengeluh. Konsentrasinya memudar pada lembaran skenario di tangan karena gerakan seorang penata rias di samping yang sangat mengganggu. Penata rias perempuan yang sepertinya baru berkecimpung di dunia perfilman sehingga terlihat amatir dalam menghadapi aktor di matanya. Benar-benar menjengkelkan.
Ia berdecak. Berusaha mengembalikan konsentrasi dan pandangan matanya pada skenario, mengabaikan si penata rias di sampingnya. 
Tiba-tiba sudut matanya kembali membekuk sosok gadis pirang yang berdiri di dekatnya itu. Otaknya memutar, mencari akal untuk menghindar.
“Kau…” Geffrey berbisik pada si penata rias, lalu melanjutkan, “tolong panggilkan sutradara Tami Hiromasa untuk membawakan minum padaku. Cepat!”
Si penata rias itu beranjak dan buru-buru memanggil Tami Hiromasa yang berdiri tak jauh darinya. Lalu, Tami Hiromasa berjalan menghampiri Geffrey dengan sebotol air mineral di tangannya. “Kenapa memanggilku?”
Geffrey meringis. “Kau tidak lupa dengan perjanjianku untuk menandatangani kontrak film ini, bukan?”
Tami Hiromasa menjengitkan alis. “Perjanjian?” Lalu, mata sipit gadis itu berputar, mencoba mengingat. “Maksudnya perjanjian yang kau sampaikan saat kita masih di Bayreuth, untuk menuruti semua permintaanmu selama proses syuting berlangsung itu? Bukankah aku sudah melakukannya dengan baik?”
“Tentu saja perjanjian itu belum selesai.”
“Maksudnya? Apa yang kau inginkan?”
Geffrey merebut botol minum di tangan Tami dan meneguknya hingga habis separuh. “Aku sudah tidak haus lagi. Sekarang tolong bawakan makanan ringan untuk mengganjal perut. Aku mulai lapar,” sahutnya acuh.
Tami tercengang di tempatnya. Sulit untuk mengerti apa yang dipikirkan lelaki ini.
Sementara di arah jarum jam tiga, Tami menangkap sosok Aimee yang sedang berdiri menyaksikan mereka dengan air muka kecewa. Gadis pirang itu berbalik badan dan berjalan kembali ke tempatnya.
Tami menatap Geffrey yang tampak tak acuh dalam duduknya dan kembali menenggelamkan diri pada lembaran skenario tanpa mempedulikan keadaan. Lalu, lelaki itu mengangkat kepala, kembali dengan tatapan penuh komandonya.
Benar-benar sulit dimengerti. Lebih baik memenuhi apa yang diinginkan Geffrey dan setelah itu mereka tidak akan berurusan lagi.

Angin musim gugur berhembus lagi seiring hari yang akan menyapa malam. Aurich merapatkan mantel sambil mengemasi peralatan syuting di hadapannya. Besok mereka akan berpindah lokasi syuting ke Roberto Beach dan akan mengambil banyak adegan di sana dalam sehari jika memungkinkan. 
“Ada yang perlu kubantu?” Tami Hiromasa berdiri di sampingnya. Gadis itu terlihat menggigil di balik mantel, dengan kacamata minus yang mulai berembun.
“Tidak. Sudah hampir selesai. Tenang saja,” jawab Aurich dengan asap yang keluar dari bibir.
Di belakang Tami Hiromasa, Geffrey dan Ruff berjalan menghampiri mereka. Geffrey mengangkat sebelah tangan. “Kami pulang lebih dulu, ya,” pamitnya.
Tami Hiromasa menoleh ke asal suara, sementara Aurich berseru menanggapi. “Oke. Pass auf . Sampai bertemu besok di Roberto Beach.”
Geffrey mengangguk senang. Lelaki itu menatap sebentar pada Tami Hiromasa, lalu mengembalikan pandangan pada Aurich. “Kau tahu, kau punya asisten sutradara yang mengagumkan. Aku terkesan padanya,” ucapnya pada Aurich dengan mata yang menunjuk secara tersirat pada Tami.
“Maksudmu dia?” Aurich menghadapkan muka pada Tami. “Wah, sepertinya aku mulai mengerti …”
“Aurich,” sela Tami yang mulai mengambil alih situasi. “Kau tahu di mana Aimee dan Diana? Dari tadi, aku belum menemukan mereka,” tanyanya hati-hati. Topik mulai berbelok. Semoga berhasil.
“Kalau tidak salah mereka sudah pulang bersama dari tadi. Kau tidak tahu?”
Tami menggelengkan kepala. Sambil mencuri pandang pada Chauncy Geffrey di sampingnya lewat sudut mata. Lelaki itu masih bersama manajernya dan terlihat enggan beranjak meninggalkan mereka. Oh, apa yang diinginkannya?
“Omong-omong, aku sudah selesai berkemas dan sepertinya akan pulang lebih awal. Tentunya, tidak ingin mengganggu waktu kalian.” Senyum nakal terlampir di wajah Aurich setelah lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. 
Senyum yang membuat Tami terpaku di tempat.

Aurich melangkahkan kaki di pinggiran Marienplantz yang cukup ramai. Penglihatannya menangkap beberapa pemusik jalanan yang menyemarakkan kota dan membuat para pejalan kaki berkumpul melingkari mereka untuk menikmati alunan musik yang dimainkan. Lelaki itu mengikuti arus seperti para pejalan kaki lainnya. Merapatkan diri pada lingkaran yang terbentuk. 
Lagu yang pertama terdengar olehnya adalah Fur Elise karya Beethoven. Sebuah alunan musik klasik yang sangat terkenal itu membuat para pengunjung Marienplantz yang sedang berpasangan seperti terlempar pada saat pertemuan pertama mereka. Beberapa dari mereka ada yang terlihat ingin berdansa di tempat. Oh, jelas-jelas pemandangan menyebalkan baginya yang hanya datang sendiri.
Ia merogoh saku mantel dan mengeluarkan kepingan koin setelah para pemusik itu menghentikan lagu pertama mereka. Salah seorang yang menjadi vokalis di sana mengangguk hormat dan tersenyum. “München ist sehr schön. Vielen Dank. ”
“Ja, bitte,” balasnya ramah sebelum meninggalkan tempat.
Pada waktu yang berdekatan, pandangan lelaki itu terhenti pada seseorang gadis yang sedang duduk sendiri di dekat jendela sebuah kafe di salah satu gedung Marienplantz. Bahkan dari jauh pun, gadis itu terlihat jelas sedang termenung dengan pandangan kosong. Seperti banyak pikiran yang mampir di kepalanya.
Kemudian, Aurich masuk ke dalam kafe. Memesan secangkir teh panas sebelum menghampiri gadis yang mengambil posisi duduk di dekat jendela itu. “Kau sendiri?” sebuah kalimat tanya sekaligus bentuk sapaan keluar dari bibirnya.
Gadis itu mendongak dengan kedua mata membulat begitu menatap lelaki di hadapannya. Jelas sekali, gadis ini tak bisa menghindari kekagetannya, sehingga berbalik tanya, “Kau… kenapa tahu aku di sini?”
Aurich mengangkat bahu. “Kebetulan aku sedang jalan-jalan dan menemukanmu di sini. Boleh bergabung?”
Gadis itu mengangguk dan mempersilakan Aurich yang masih berdiri untuk duduk di hadapannya. Bibirnya masih terkunci. Seperti enggan berkata lebih dulu.
“Aimee, kenapa wajahmu murung begitu? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Aurich sambil memperhatikan gadis di hadapannya.
Aimee menatap Aurich. Pikirannya yang kalut seperti tidak mendukung untuk membuat banyak alasan. “Apa? Oh, tidak. Tidak apa-apa,” jawabnya sambil menyesap secangkir kopi hangat. Lalu, kembali menatap Aurich dengan memasang senyum seperti biasa.
“Kukira, kau dan Diana sudah pulang. Aku tidak menyangka kau justru sendirian di sini,” lanjut Aurich lagi.
“Diana memang sudah pulang dari tadi. Dan, aku yang memintanya untuk pulang duluan,” jawab Aimee. Berusaha sebisa mungkin untuk melupakan sesuatu yang mengganjal pikirannya dan menampilkan wajah ramah seperti biasa. 
“Begitukah?”
Aimee mengangguk. Ia memicingkan mata. Pandangan kosong sebelumnya berubah menjadi tatapan penuh selidik. “Aku jadi curiga. Sebenarnya, kau sedang bertanya tentangku atau sedang mencari tahu tentang Diana?” godanya.
“Apa? Maksudnya?” Aurich mengernyitkan dahi.
Aimee mencondongkan badan. “Selagi hanya kita berdua di sini, jujurlah padaku. Apa pendapatmu tentang temanku?”
Aurich memiringkan kepala, wajah serius terpasang di wajahnya. “Dia… teman sekaligus partner kerja yang baik. Kenapa?”
“Teman? Jadi kau hanya menganggapnya sebagai teman? Wah, berarti kasihan sekali Diana kalau dengar penolakan ini.” Aimee menghempaskan diri ke sandaran kursi dengan mimik yang terlihat putus asa.
“Penolakan? Aku tidak mengatakan itu.”
“Jadi, kau menerima Diana? Oh, cobalah berkata yang jelas sebagai lelaki.”
Aurich mengangkat bahu. Ekspresinya tampak tak acuh.
“Dengar.” Aimee kembali mencondongkan tubuh. “Kau pasti tahu Diana sudah lama menyukaimu, bukan?”
“Lalu?”
“Kau benar-benar tidak tertarik padanya? Kau harus tahu, selain memiliki wajah khas Indonesia yang sangat menarik, Diana juga bisa menjadi teman yang baik, gadis yang cerdas, dan berasal dari keluarga yang cukup kaya,” tutur Aimee. Dalam hati, ia berharap kalimatnya tidak seperti sedang mempromosikan produk pada calon konsumen.
“Aku tahu itu.”
“Lalu?” Kali ini Aimee melempar balik kalimat Aurich. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan lelaki di depannya ini.
“Begini, Aimee…” berganti Aurich yang mencondong tubuh dan merendahkan intonasi kalimatnya supaya terdengar privasi. “Aku tak yakin harus mengatakan ini padamu. Tapi, satu hal yang perlu kau tahu; siapa pun akan merasa lebih aman jika seseorang mencintaimu karena dirimu sendiri, tanpa menyerupai kau dengan orang lain.”
Alis Aimee beradu. “Maksudmu? Diana…”
“Kau tahu soal Mario Götze yang begitu digemarinya?”
Bibir Aimee membulat disusul dengan kepalanya yang mengangguk. Sekarang, ia mengerti maksudnya; Diana yang menjadi penggemar Mario Götze dan menyukai Aurich karena menurutnya mirip dengan pesepak bola itu. Sebuah kenyataan yang ternyata diketahui Aurich tanpa sepengetahuan Diana.
“Kau tahu ini rahasia, bukan? Kuharap bisa mempercayaimu,”  ujar Aurich seraya tersenyum simpul dan menatap tegas Aimee. 
“Siap, Herr Manfred!” balasnya sambil tertawa kecil. Menampakkan barisan gigi yang rata sehingga  mengungkap kecantikannya. “Omong-omong, bukankah Mario Götze itu tampan? Aku melihat di poster kamar Diana begitu. Kau seharusnya senang kalau dibilang mirip dia.”
Aurich ikut tertawa. “Terima kasih. Jangan bilang setelah ini, kau akan menyukai lelaki yang juga disukai temanmu.”
Tawa kecil tergerai di wajah cantik Aimee. “Bodoh! Mana mungkin aku begitu!” Lalu, tawa itu mereda berganti dengan senyum simpul. Sejujurnya, pikirannya tentang Geffrey dan Tami selama proses berlangsung itu masih mengganjal dan sulit dihindarkan. Tapi kali ini, ia berusaha meyakinkan diri bahwa yang dikhawatirkannya hanya omong kosong belaka. Semoga seperti itu…

Diana mempercepat langkah kaki sebelum malam membawa udara München makin mendingin. Ia merutuk dalam hati yang begitu pelupa untuk membeli Glühwein  sebagai persediaan di apartemen. Dinginnya cuaca yang nyaris menusuk tulang memang butuh minuman hangat seperti ini.
Ia memasang headphone di kepala seraya menekan tombol ponsel untuk menghubungi Aimee. Tadi, temannya itu bilang akan pergi sebentar ke daerah Marienplantz. Dan sekarang, ia yang sudah berdiri di salah satu tepi jalan Marienplantz dengan beberapa botol Glühwein di tangan, berharap bisa pulang bersama dengan gadis Prancis itu ke apartemen.
“Ah, itu dia!” serunya lebih pada diri sendiri, ketika pandangannya menemukan Aimee yang sedang duduk di alam kafe dengan posisi di dekat jendela. Diana melepas headphone dan mengalungkannya di leher sebelum berjalan mendekati kafe tersebut.
Pelan-pelan, kakinya berhenti ketika hampir sampai di depan kafe. Jajaran kaca jendela yang menengahi mereka bukanlah menjadi penghalang bagi mata Diana untuk menatap Aimee di sana. Temannya itu, tawa kecil yang kompak dengan seorang lelaki sebagai lawan bicaranya di sana, membuat ingatan Diana akan pendapat teman-teman Indonesianya tergali, sehingga ia berkesimpulan sendiri.
“Aimee Verall… si Prancis cantik yang centil.”
Kata Sarie waktu itu. Seperti bola pijar yang tiba-tiba menyala terang, ketika rasa penasarannya pada nama Matt yang disebutkan Sarie sebagai kekasihnya. Matt yang pernah ditemuinya di hari-hari awal mereka menempati apartemen adalah Matt kekasih Sarie yang direbut Aimee.
“Aimee Verall pernah berurusan denganku dan beberapa temanku. Ia sering berkencan dengan lelaki yang sebenarnya sudah dimiliki gadis lain. Dan dia adalah salah satu alasanku memutuskan hubungan dengan Matt,”
Aurich, lelaki yang biasa membuat jantungnya berdegup lebih cepat, kini perlahan mulai berubah. Perih…