Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) A Movie In Our Story 

Vierte Monat

Tami menghela napas, lalu membuka agenda. Malam ini, ia baru saja tiba di  Bayreuth dan langsung membaca rencana pertamanya. Oh, lupakan saja wajah Aimee tadi pagi yang membujuknya untuk pergi sendiri menemui Geffrey ke Bayreuth. Tidak akan berhasil. Karena, kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah pianis itu langsung menolak dan proyek film mereka akan berantakan. Jadi, ia harus nekat berkeputusan untuk pergi ke Bayreuth menggantikan Aimee. Setidaknya, keputusan itu bisa menambah rasa optimis untuk membawa pianis itu masuk ke dalam proyek mereka.

Ia membuka kunci pintu kamar hotelnya dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Lelah! Karena ia harus menghabiskan waktu beberapa jam di perjalanan. Ah, sebenarnya yang paling melelahkan adalah ia harus ketinggalan S-bahn. Jadi, ia perlu menunggu jadwal selanjutnya selama dua jam. Sangat membosankan!

Tapi, semua tak sia-sia ketika dilihatnya fisik gedung Opera Markgraf yang begitu megah, klasik dan artistik. Seperti membawanya pada cerita-cerita dongeng lawas yang sedang mendeskripsikan bentuk istana. Wajahnya sendiri tidak bisa menyembunyikan semburat kekaguman. Hebat! Pasti siapa pun artis yang pernah menggelar konser di sana adalah artis pilihan. Berarti Chauncy Geffrey…

Tepat pada saat itu, bel kamarnya berbunyi.

“Siapa yang datang malam-malam begini??” tukasnya kesal sambil mengacak-acak rambut. Kemudian bangkit dari kasur dan membuka pintu kamar.

“Guten Abend, benar ini kamar Tami Hiromasa?” tanya seorang lelaki berseragam petugas hotel dengan kertas kecil di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam plastik berukuran sedang berwarna putih.

Ja?

Entschuldigung, tadi Anda lupa mengambil pesanan Matjesherring di restoran bawah.” Lelaki itu memberikan plastik putih berisi makanan pada Tami.

Tami ternganga di tempatnya. Ya ampun, apa yang ia pikirkan sampai-sampai kelupaan mengambil makanannya? 

Sambil menyeringai, ia segera mengambil pesanannya dari si petugas. Ketika si petugas berlalu dari hadapannya, Tami kembali menggali ingatan terhadap apa yang dipikirkannya selama tiba di sini.

Stasiun... Opera Markgraf... Artis-artis opera… Chauncy Geffrey? 

·

Suara dengusan terdengar lagi dari Aimee. Kali ini disusul dengan bunyi decakan dan mimik muka yang masam. Suasana kantin universitas yang saat ini tergolong ramai karena memasuki jam makan siang, menambah rasa jengkel yang menggerogoti pikirannya. Aimee berdecak lagi. Seakan-akan tidak ingat bahwa apa yang ia lakukan itu terlalu sering selama satu jam terakhir.

“Masih sebal pada Tami?” Diana yang duduk di depan Aimee akhirnya membuka suara. Ia menyeruput sebotol green tea dingin sambil menunggu jawaban yang ditanya.

Aimee mendesah keras. “Bukan, aku hanya khawatir. Ini hari ketiganya di Bayreuth dan sampai sekarang belum ada kabar. Mau sampai berapa hari lagi kita menunggu keputusannya? Seandainya aku yang pergi ke sana, mungkin hasilnya akan…”

“Berbeda? Berhasil?” sergah Diana. “Jaminan apa yang bisa kau janjikan setelah kami mendengar semua ceritamu?” lanjutnya kembali menghujani tanya. “Sudahlah, kau tahu sendiri keputusan rapat proyek film ini kemarin. Selambat-lambatnya, kita harus menyelesaikan dalam waktu satu tahun terhitung dari pembentukan rencana awal.”

Sayangnya, kalimat Diana masih membuat wajah Aimee tertekuk. “Tapi, setidaknya aku bisa menemukan Geffrey lebih mudah. Aku mengenal dia sudah lama. Dengan begitu, Tami tidak perlu susah payah menggantikanku menjemput Geffrey.”

Diana mengibaskan tangan. “Sudah, serahkan saja pada Tami.” Ia menyeruput green tea-nya lagi, lalu menatap Aimee dengan kepala yang dimiringkan beserta kedua tangan terlipat di depan dada. “Aku jadi curiga, sebenarnya yang kau khawatirkan itu, Tami atau Chauncy Geffrey?”

Aimee terdiam. Barusan hampir saja ia menukas bahwa Chauncy Geffrey yang sebenarnya ia khawatirkan. Untung saja, ia bisa menahan diri. Untung…

“Jadi, sementara kabar tentang Geffrey masih belum datang, bukankah kesempatan ini bisa kau gunakan dengan berkencan dengan lelaki itu? Hm, siapa namanya? Aku lupa…” 

Aimee memicingkan mata. “Maksudmu Matt? Ah, kau masih ingat rupanya…”

“Matt?”

Aimee mengangguk. Ia merebut botol green tea di tangan Diana, dan meneguknya sekali. Kesekian detik kemudian ia kembali menghadap Diana, ketika sang objek masih terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. “Kenapa? Kau mengenalnya?”

Suara Aimee menyadarkan Diana di tempatnya. “Apa? Oh, tidak. Hanya kesannya… nama itu familier.”

“Familier? Tentu saja. Dia cukup populer di kampus mengingat ia aktif di banyak kegiatan.”

Diana menjengitkan alis. Sepertinya bukan itu. Ia yang lebih suka menghabiskan kegiatan di luar setelah kuliah dibanding di dalam kampus, memang tak begitu mengenal banyak mahasiswa. Namun, meskipun mereka belajar di tempat yang sama, ingatannya seperti memberi cuplikan bahwa nama Matt pernah disebut oleh temannya. Sehingga namanya begitu familier meskipun mereka belum pernah bertemu.

Tapi, di mana ia mendengar nama itu?

“Dia salah satu dari banyaknya lelaki aneh yang kutemui. Mendekatiku dengan iming-iming ingin berbagi cerita, padahal saat itu dia sedang mengencani gadis lain. Lalu, lambat laun ia mulai menyatakan cinta padaku tanpa diketahui gadisnya,” tutur Aimee tenang sambil memilin ujung rambut keriting pirangnya. Tawa kecil terpasang di wajahnya. “Lucu sekali. Apa setiap lelaki begitu kalau tertarik pada perempuan, ya?”

Diana masih diam dalam duduknya. Ingatannya masih tergali. Bodoh sekali, mengapa ia begitu pelupa. Tapi sekilas, cerita ini sama dengan cerita…

Aimee membuka suara lagi, “Nah, menurutmu, memangnya cinta bisa…”

“Sebentar!” Diana menyela kalimat tanya Aimee yang belum terselesaikan. Tadi, matanya sempat menangkap sosok yang begitu dikenal sedang berjalan membeli sesuatu di kantin. Lalu ketika sosok itu hendak keluar, mata Diana yang masih mengekorinya tak ingin kehilangan arah. Mau pergi ke mana orang itu? “Kau tetap di sini, ya. Aku mau pergi sebentar.”

Aimee yang juga mengikuti penglihatan Diana, melengos sebal. Jelas saja ia akan tahu bahwa Diana akan membuntuti Aurich begitu ia menemukannya. Tidak sopan. Bahkan Diana yang mendadak pergi itu tidak membiarkan Aimee menyelesaikan kalimatnya tadi.

Nah, menurutmu, memangnya cinta bisa begitu tiba-tiba?

·

Lelaki itu masih tetap membaca tulisan pada helaian kertas dalam map putih di hadapannya. Dalam duduknya, ia tak banyak bergerak. Berkutat dalam posisinya dengan mimik serius. Seperti ingin mencerna baik-baik makna dari tulisan di dalamnya, tanpa meninggalkan sehuruf pun.

Kemudian sepasang mata hijaunya beralih pada objek yang berbeda. Sebuah kartu nama berwarna putih yang terletak di sebelah map. Tangan kirinya meraih, mendekatkan kartu itu pada wajahnya demi memperjelas bacaan.

“Namamu Tami Hiromasa?”

Gadis di depan yang namanya disebut itu mengangguk formal. Tidak meninggalkan senyum manis di raut wajah sebagaimana gadis-gadis lain yang berhadapan dengannya. Gadis itu tetap duduk tegap, dengan air muka yang terlihat menunggu.

“Asal?” tanyanya lagi.

“Tokyo, Jepang,” jawab gadis itu.

Lelaki itu mengangkat alis dan mengangguk, namun, sepasang matanya masih menatap pada kartu nama tanpa dialihkan. 

Di tempatnya, Tami Hiromasa sedang berusaha memendam rasa bosan yang hampir meluap, kalau ia sendiri tidak ingat bahwa yang duduk di hadapannya saat ini adalah Chauncy Geffrey, lelaki yang keberadaannya menjadi objek incaran. Bayangkan, waktu sudah berjalan sekitar dua jam, namun lelaki itu masih berkutat di tempat duduknya. Beberapa saat digunakan dengan membaca contoh skenario film yang ia berikan dengan tekun, namun, pada saat yang lain lelaki itu justru seakan mengabaikannya, dengan mengangkat telepon di depannya dan berbicara hal-hal yang terlihat kurang penting pada orang di seberang.

Begitu terus selama dua jam, sejak Tami memutuskan diri untuk menemui Chauncy Geffrey secara langsung di salah satu studio berlantai tujuh yang merupakan tempat latihannya, setelah mendapatkan konfirmasi dari sang manajer. Dan sampai saat ini, Tami masih belum mendapatkan keputusannya.

“Drama musikal, ya? Dari sedikit membaca skenario ini, sekilas ceritanya cukup bagus.” Lelaki itu akhirnya melontarkan komentar setelah sekian lama.

Tami mengerutkan dahi. Sekilas? Dengan menekan rasa sabar, ia memilih menunggu kelanjutan bicara lelaki itu. 

Namun kenyataannya, tak ada lagi patah kata yang keluar. Tami kembali menurut pada Geffrey yang masih bungkam. Dari balik kacamata, ia menyipitkan sepasang matanya. Menatap jeli lelaki di depan, seperti tatapan lelaki itu pada skenario di hadapannya. Ia hanya ingin mencari tahu apa yang disukai Aimee pada sosok menyebalkan, yang begitu didambakan temannya ini.

Sepasang bola mata berwarna hijau menghiasi wajahnya yang kuning langsat, dinaungi oleh sepasang alis tebal berwarna hitam kemerahan sesuai dengan warna rambutnya yang dipotong mohawk. Rahangnya yang lebar terlihat padu dengan sorot mata yang tajam. Hidung mancungnya juga…

“Tami Hiromasa.” Lelaki itu bersuara lagi. Pelan. Namun sempat membuat Tami terperanjat di tempatnya. “Aku memergokimu. Kenapa kau memperhatikanku seperti itu?”

Telak!

Tami bergeming seraya menyiapkan kata-kata untuk membalas. Tepat pada saat itu, Ruff, manajer Geffrey yang ia temui tadi, menghampiri. “Waktunya pemotretan. Jangan sampai kita terlambat,” ucapnya pada Geffrey.

Geffrey mengangguk dan menoleh pada Tami dengan wajah yang penuh tanda tanya. “Skenario ini biar aku yang pegang. Sekarang jadwalku padat. Kita bertemu lagi nanti.”

Tami mendelik, tubuhnya menghadang Geffrey yang hendak beranjak meninggalkannya. Ia sudah menunggu dua jam, dan Geffrey bisa seenak itu meninggalkannya? “Lalu kapan aku menerima keputusannya?” tanyanya berusaha tidak meninggikan intonasi.

Geffrey mengerling pada Tami Hiromasa. Lalu tersenyum dengan sudut kiri bibir yang terangkat sebagai jawaban.

Tami tercengang sambil melihat Geffrey yang ingin berlalu darinya. Kemudian, ia membereskan peralatannya cepat-cepat dan berusaha mengejar lelaki itu yang ingin masuk lift. Sayang, langkahnya harus berhenti ketika pintu lift itu tertutup dan siap membawa lelaki itu ke lantai dasar.

Sial! rutuknya kesal.

·

Astaga, degup jantungnya kembali jumpalitan!

Diana berusaha keras untuk tidak terlihat gugup ketika langkahnya mendekati Aurich yang sedari tadi ia ikuti. Sebisa mungkin ia mencari akal agar lelaki itu tak mengetahui bahwa ia mengekorinya. Aurich yang berjalan dari kantin, kini mendaratkan langkahnya saat tiba di perpustakaan kampus. Lelaki itu duduk di salah satu kursi, yang di hadapannya sebuah meja dengan tumpukan buku dan kertas di permukaan. Lalu mulai meleburkan dirinya bersama benda-benda tersebut tanpa menghiraukan orang sekitar.

Diana tersenyum kecil. Pipinya bersemu ketika bertemu lagi dengan lelaki yang terakhir dilihatnya saat rapat awal proyek film. Ia mengambil langkah menuju rak yang berseberangan dengan meja yang ditempati Aurich. Posisi mereka kali ini berhadapan dengan rak buku tinggi yang menengahi. Diana memilih berdiri di sana, bersembunyi di balik buku-buku yang tegap di hadapannya, demi bisa memperhatikan lelaki yang baginya serupa dengan Mario Götze dengan jelas.

Yap! Posisinya tepat. Gerak-gerik Aurich bisa diperhatikannya sampai puas. Anggap saja sebagai balasan mereka tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama. Dan, mau tak mau lelaki itu harus mengembalikan mimpi indah tidur Diana untuk beberapa waktu ke depan.

“Dia tampan sekali,” gumamnya pelan dengan senyum yang mengembang. Tangannya mengambil salah satu buku di depan secara asal, lalu menunduk berpura-pura membaca supaya tidak terkesan mencurigakan.

Kepalanya kembali terangkat. Ke mana lelaki itu? Kenapa ia tidak ada di tempatnya?

“Kau, mahasiswa bimbingan Phillip Braun! Itu buku apa?”

Suara pelan menghampiri, Diana menoleh. Ia terlonjak dan sedikit menjerit di tempat begitu mendapati Aurich di depannya. Buku yang dipegangnya terlempar tanpa sengaja dan melompat, mengenai tubuh Aurich, sehingga membuat lelaki itu sedikit terkejut. Tentu saja, tingkah laku mereka yang hanya berbilang detik itu memusatkan perhatian pada pengunjung perpustakaan.

Aurich mengambil buku yang terjatuh di hadapannya. “7 Zwerge – der Wald ist Nischt Genug?” ejanya membaca judul buku tersebut. Kepalanya dimiringkan, kemudian membuka beberapa halaman awal buku itu dan membacanya sebagian. “Sepertinya, buku ini mengadaptasi seri film 7 Zwerge. Kau suka filmnya?”

Diana mengerjapkan mata. Benarkah lelaki ini sedang berbicara padanya? Karena… sepanjang ingatannya, ini adalah pertama kali Aurich sedekat ini padanya di luar rapat ataupun kumpul-kumpul formal. Ini pasti sebuah keajaiban! 

Diana yang masih gugup di tempatnya, menjawab seadanya tanpa mengalihkan mata pada lelaki itu. “Tidak, itu karena kebetulan aku mengagumi salah satu aktor di sana,” ucapnya berbohong. Bahkan, ia sendiri tidak tahu siapa saja aktor yang membintangi film tersebut.

“Oh ya? Siapa? Oliver Porche?”

“Bukan! –eh, maksudku, aku lupa nama aslinya.” Diana menggaruk kepalanya yang tak gatal. Astaga, ini memalukan. Ia yang takut semakin tak bisa menahan diri, rasanya ia ingin cepat-cepat berlalu dari sini sebelum Aurich kembali bertanya. “Itu tadi sebenarnya aku ingin mencari buku-buku cerita dan berbagai referensi untuk menulis skenario. Tapi sepertinya, aku mengambil buku yang salah.”

Aurich menangguk. “Ah ya, aku hampir lupa kalau kau juga bagian dari penulis skenario film baru ini. Jadi, apa yang bisa kubantu?”

Membantu? Benarkah?

“Kebetulan aku juga sedang mengerjakan bagianku. Sepertinya, salah seorang temanmu juga ada yang satu bagian denganku. Asal Jepang,” lanjut Aurich sambil mengingat-ingat.

“Tami Hiromasa?”

“Ah ya, benar. Saat rapat kemarin, ia memutuskan untuk menemui Chauncy Geffrey langsung di Bayreuth. Kurasa, kalian teman satu apartemen, bukan? Ada kelanjutan kabarnya?”

Diana mengangkat bahu. “Hari ini belum ada kabar,” jawabnya tanpa mengalihkan mata menatap mata lelaki di depannya.

“Begitukah?” Aurich meletakkan buku yang ada di tangannya berdiri sejajar di dalam barisan rak. Lalu menjejalkan tangan ke saku celananya. “Berhubung kau baru terlibat dalam pembuatan film besar, jadi, biarkan aku membantumu dalam tugas skenariomu hari ini.”

“Membantuku??” ulang Diana dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

“Iya. Kenapa?”

Diana berbalik badan. Memeriksa wajah dan mengendalikan perasaannya sebentar. Ia hanya ingin cepat-cepat berlalu dari lelaki itu sekarang. Karena berada di dekat lelaki itu lama-lama bisa membuat daftar memalukannya lebih panjang. Mungkin mereka bisa bertemu lagi lain kali dalam kondisi Diana yang tak seperti ini. Ya, lain kali… tapi, kalau lain kali itu tidak ada?

“Baiklah, di mana?”

Aurich menyeringai. Kemudian, membawa Diana duduk di salah satu bangku di sana, sementara ia sendiri duduk di hadapan gadis berambut hitam kelam yang terurai itu dengan tenang. 

Di tempatnya, Diana tak lagi peduli pada waktu yang melarutkannya pada percakapan panjang bernada pelan dan menyenangkan bersama Aurich. Ia harus mengabaikan degup jantung yang jumpalitan ketika mendapati Aurich berusaha menahan tawa karena diskusi penuh canda, mengingat suasana perpustakaan yang tenggelam pada keseriusan pengunjung pada bacaannya.

Sepertinya, pikiran sehat kali ini harus diabaikan. Ini kesempatan emas. Lupakan juga soal daftar memalukan itu… untuk hari ini!

·

Pintu kamar Diana diketuk lagi. Ini ketiga kalinya.

“Aneh,” tukas Aimee yang berdiri di depan pintunya. Kedua alisnya mengerut dengan tangan yang terlipat di depan dada, sebelum kembali mengetuk pintu. “Apa yang dilakukan anak ini semalaman? Sesiang ini belum juga bangun,” gerutunya sambil melihat sekilas jam dinding yang terpajang di ruang tamu.

Jam sepuluh lewat empat belas menit. Aimee mendengus. Lalu melangkahkan kakinya ke depan kulkas di dapur dan mengambil sebotol susu dari dalam.

Tepat pada saat itu, pintu kamar Diana terbuka. Ia keluar dari kamarnya dengan wajah yang menguap tak bersisa.

Aimee berdecak, “tidur jam berapa kau semalam? Ini sudah tiga hari berturut-turut semenjak pertemuanmu dengan Aurich yang lalu di perpustakaan, kau selalu bangun jam segini.”

“Sekitar jam empat pagi. Kau tahu, inspirasiku untuk merevisi skenario lebih mengalir di malam hari,” jawab Diana sambil membuka paksa kedua matanya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Sulit sekali menahan kantuk. “Kau mau ke mana?” tanyanya begitu melihat Aimee duduk di kursi ruang makan dengan berpakaian rapi.

“Ke kampus. Masih ada yang perlu kukerjakan,” jawab Aimee setelah meneguk botol susu sekali lagi sebelum berdiri. Ia mengambil tas di sampingnya dan berjalan menuju pintu. “Oh ya.” Aimee berbalik badan dan berkacak pinggang dan menyipitkan mata. “Kalau besok kau kesulitan tidur malam lagi, akan kulaporkan Aurich supaya kau disalahkan.”

“Eh, jangan!” Diana mengejar Aimee. “Kau tahu sendiri, aku sulit sekali bertemu dengannya. Jadi kumohon, biarkan inspirasiku mengalir tiap malam begitu mengingat-ingat wajahnya. Ya? Kumohon…” Ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah sebagai isyarat memohon pada Aimee. 

Aimee melengos. Tepat pada saat itu ponselnya berbunyi dan nama yang tertera di layar membuatnya terperangah. “Tami?” ucapnya tanpa basa-basi.

Diana ikut terkejut di tempatnya. Lalu, ia segera mencuri dengar percakapan mereka dengan mendekatkan telinganya pada ponsel yang melekat di telinga Aimee.

Lima menit setelah itu hening. Aimee membiarkan penelepon mengalirkan kalimatnya. Ia hanya memberi ruang untuk mendengarkan, tanpa banyak berbicara, sampai komunikasi itu berhenti.

“Apa yang dikatakannya? Sudah ada kabar??” Diana yang gagal menangkap ucapan Tami di ponsel, langsung menghujani Aimee dengan pertanyaannya.

“Akhir bulan ini proses reading script bisa dimulai. Sehingga, bulan depan para pemain bisa latihan koreografi untuk beberapa adegan dan setelah itu kita bisa mulai syuting.” Aimee menunduk. Perasaannya bercampur aduk. Lalu, ia tersenyum tipis. “Geffrey akan datang ke München bersamanya.”

¸