Try new experience
with our app

INSTALL

Paragraf Terbuang 

Takdir di Pendakian

Alifa melangkah perlahan membukakan pintu ruang tamu yang diketuk sambil memegangi perut yang besar membulat. 


“Hei, masuk Zhi. Abang di dapur, langsung saja ke dalam.” Zhiya membalas senyum Alifa yang mempersilakan keduanya masuk.


"Wah, adiknya Kin udah hampir lahir, Mbak?" Zhiya mengusap perut Alifa.


"Masih sepuluh mingguan lagi, kok, Zhi. Mbak di kamar ya," balas Alifa lalu melangkah kembali ke kamarnya. 


Zhiya dan Aswin memasuki dapur. Keduanya duduk di meja makan sambal memperhatikan Zaki tengah sibuk merajang berbagai sayuran dengan lihai lalu menghaluskan bumbu dapur. Semuanya dimasukkan bertahap ke dalam panci berisi air mendidih. Setelah beberapa saat, dicicipinya sayur berkuah santan itu. 


Zhiya takjub, diperhatikannya setiap gerakan tubuh Zaki yang berpindah cepat melakukan pekerjaannya.


“Bentar ya, Zhi. Mbak Alifa sedang batuk, mungkin karena sedang hamil besar, perutnya sampai kram, jadi, gak bisa nemenin ngobrol.”


“Tak apa-apa, Bang. Kin mana?”


“Kin sedang main di rumah sebelah. Dia pasti senang kamu mampir kesini. Mau minum apa, Zhi?"


"Biar Zhi bikin sendiri, Bang. Kamu ngopi, Win?" 


“Heem.” Aswin menjawab singkat.


Zhiya mencari gelas dan mendidihkan air. Zaki menyodorkan toples kopi dan gula, memudahkan Zhiya membuat dua cangkir kopi.


“Zhi mengganggu, ya? Abang sedang sibuk begitu.” Zhiya melontar tanya.


“Tidak, Zhi. Biasanya abang lebih sibuk dari ini karena harus pulang pergi ke warung, kan!" 


“Terus warungnya tutup? Eh, Abang mau sekalian Zhi bikinin kopi?" 


"Gak usah, Abang udah ngopi tadi. Ada Mbok Yum sama Parjo yang jaga warung."


Sayur lodeh, ayam, dan tempe goreng dilengkapi sambal yang merah menggoda. Semuanya siap di meja makan. Zaki mengambil semangkuk sayur dan sepotong ayam goreng, tanpa nasi.

Dibawanya makanan itu ke kamar Alifa. 


Tak sadar Zhiya tersenyum, hatinya bergetar kagum akan perhatian Zaki pada istrinya. Ia bertanya-tanya sudah berapa tahun usia pernikahan mereka? Berapa lama perhatian dan romantisme seperti itu bisa bertahan setelah menikah, sedangkan pernikahan kedua orang tuanya hanya lebih sedikit dari sepuluh tahun saja. 


“Napa Zhi, kok ngelamun?" tegur Aswin. 


"Eh, lagi inget Kin, lagi ngapain sih dia di rumah sebelah." Zhi punya alasannya sendiri untuk tidak menceritakan masalahnya pada siapa pun. Padahal, seandainya ia bercerita, semua orang pasti membantu sekuat tenaga. 


“Kak Zhiya!”


Kinabalu yang baru saja memasuki rumah, menghambur memeluk Zhiya. Zhiya gemas menatap binar dari pasang mata Kinabalu, gadis cilik itu selalu penuh suka cita. 


“Kin dari mana?” 


Kinabalu belum sempat menjawab saat mendengar suara papanya.


"Win, tolong pesankan takol ke rumah sakit!"

Zaki tergesa ke dapur, menuang air hangat ke gelas dan kembali ke kamar Alifa. Suara Alifa yang terus terbatuk membuat pendengarnya iba. Apalagi, Alifa sedang hamil besar.


Aswin bergegas memesan taksi daring. Semua mendadak panik dan mendekat ke pintu kamar Alifa. Ketika taksi tiba, Zaki dan Aswin menggotong Alifa yang tak mampu berjalan karena sakit di bawah yang tak tertahan. Darah membasahi bagian belakang dan bawah gamis Alifa. Batuk terus- menerus memancing perutnya berkontraksi. 


Zhiya menemani Kinabalu di rumah, menanti dengan cemas kepulangan mereka. Ia mengalihkan perhatian Kinabalu dengan mengenang saat perjumpaan mereka di Merbabu. 


"Kin masih sering naik gunung sekarang?" tanya Zhiya memancing percakapan.


"Iya dong, liburan Kin pasti ke gunung sama Papa." Kinabalu mulai terpancing untuk bercerita.


"Masih suka bagi-bagi trashbag?" 


"Nggak sih, bagi sticker aja, biar temen Kin tambah banyak, terus ...."


Pancingan Zhiya agar Kinabalu terus berceloteh ternyata berhasil, sementara ia mengenang pendakian yang mempertemukannya dengan Kin.


Setahun yang lalu di sore yang cerah, pendaki Merbabu di akhir minggu memadati jalur pendakian Selo. Zhiya menikmati kabut lembut yang menempel di kulit, bersama Aswin, Irsa, dan Aldo. Ketiganya anak Mapala di kampus yang Zhiya kenal baik. 


Sabana Dua menyuguhkan hamparan padang edelweis bersanding cerah langit biru. Tanaman legendaris yang konon dijadikan buah tangan para pendaki pada pasangannya. Edelweis dijadikan simbol cinta sejati seperti daya hidup bunga abadi itu. Sayang, bunga itu kini sama langkanya dengan langgengnya sebuah hubungan cinta. Perceraian marak terjadi seperti kandasnya pernikahan ayah dan ibu Zhiya. Ah, Zhiya masih saja memikirnya kedua orangtuanya.


Saat Zhiya dan Irsa menata alat masak dan mengolah makanan kebangsaan yang ditambah potongan sawi hijau dan telur yang dicampur, Aswin baru saja selesai mendirikan tenda bersama Aldo.


Matahari semakin rendah, mereka terlena oleh lanskap yang menenangkan jiwa. 


Baru saja empat sekawan itu mengikis lapar dengan beberapa suap mie rebus hangat, tiba-tiba gemuruh dan angin kencang mengejutkan. Badai menghempas seluruh area Sabana Dua.

Pepohonan yang semula gagah, harus mengandalkan akarnya untuk bertahan, merelakan daun dan ranting-ranting lemah terbang menjauh. 


Tenda-tenda kosong turut melayang, sebelum sang pemilik bisa berlindung di dalamnya, termasuk tenda Zhiya. Para pendaki berhamburan menuju tenda-tenda yang masih berdiri. Tak perlu ragu, persahabatan di atas gunung sangatlah erat. Sesama pendaki tak akan sungkan bergandengan tangan, apalagi hanya sekedar berbagi tenda.


“Ayo berlindung!” Aswin menggandeng tangan Zhiya, bergegas menuju tenda terdekat sambil menahan hempasan angin membawa debu-debu singgah di pelupuk, mengganggu penglihatan.


Sore yang tertutup badai menjadi lebih gelap. Tanpa disadari Aswin, Aldo dan Irsa menempuh arah berbeda dan langsung mendapat tempat berteduh.


Dada Zhiya berdegup hebat, tangannya semakin erat menggenggam tangan Aswin. Mereka berjalan membungkuk, menjatuhkan beban tubuh di kaki, berharap tak turut terhempas badai. 

Salam dari Merbabu menjadi kejutan dahsyat yang menggoncang jiwa. Tiba-tiba bibir gemetarnya menyeru lirih tanda rasa takutnya memuncak, “Yaa Allah ....”


Sosok Ibu terbayang, Zhiya menguatkan hati untuk terus bergerak. Ia harus selamat dan bertemu Ibu.


“Kak, sini!” 


Lengkingan khas seorang bocah tertangkap pendengaran Aswin, ia menarik Zhiya agar berjalan lebih cepat dan masuk ke sebuah tenda yang langsung ditutup kembali.


“Terima kasih, Bang ...?” Aswin bertanya.


“Zaki.” 


Sejenak Zhiya terpaku pada sosok lelaki yang telah menolongnya. Rambut gondrong di bawah bahu, kulit sawo matang dan kharisma yang menjelaskan dirinya seorang pendaki atau pecinta alam. 


“Aswin," balas Aswin mengenalkan diri.


"Zhiya," susul Zhiya. 


“Halo, Kak!”


Dilihatnya gadis cilik berhijab yang tersenyum manis padanya, Kinabalu. Tak ada ketakutan di wajahnya membuat Zhiya heran.


“Ini putri saya, Kinabalu dan kakak pendampingnya, Noval.”


Terguncang badai, bentuk tenda tak sempurna, oleng bersama hantaman angin. Bila tak dihuni, sudah pasti tenda ini ikut terbang. Tiba-tiba lampu yang menggantung di tenda jatuh mengenai Zhiya.


“Aahh ...!” Zhiya melonjak dan refleks memeluk Aswin. Gelap. 


Aswin mematung karena Zhiya tiba-tiba memeluknya sangat erat. Ia bingung harus balas memeluk Zhiya agar tenang, atau lebih penting menenangkan jantungnya yang berdebar kencang agar tak terdengar gadis yang menempel pada tubuhnya.


Lampu emergency cadangan dinyalakan, Zhiya baru sadar ia tengah memeluk Aswin. Wajahnya memerah karena tertangkap basah seluruh penghuni tenda. 


Badai mulai reda, semuanya keluar dari tenda. Zaki dan Noval menyeru kawan di tenda sebelah untuk menyalakan api dan mulai memasak untuk makan malam. Aldo dan Irsa bergabung setelah mencari carier yang tercecer bersama Aswin dan Zhiya. Mereka mengelilingi api unggun yang menghangatkan jiwa dan raga sambil menikmati minuman hangat.


“Kin, kakak lihat tadi banyak yang minta berfoto, memang Kin artis ya?” tanya Zhiya yang penasaran pada sosok Kinabalu sejak sampai di Sabana Dua. 


“Hihihi ... bukan, Kak.” Kinabalu tertawa menggemaskan. 


Noval menceritakan betapa mengagumkannya seorang Kinabalu. Pendaki cilik yang tak ragu menebar kebaikan di puncak-puncak gunung tertinggi pulau Jawa, Bali dan Lombok. Di setiap pendakian, Kinabalu membagikan kantung sampah pada setiap pendaki, menitipkan pesan menjaga alam lewat satu langkah kecil. 


“Bawa turun sampahnya ya, Kak!” Kinabalu memberi contoh kalimat yang ia ucapkan ketika Zhiya menanyakan apa yang disampaikan Kinabalu saat membagikan kantung-kantung sampah itu. 


“Kin tidak malu?” Zhiya semakin penasaran.


“Pertama kali Kin malu, tapi Papa dan Kakak-kakak selalu bilang Kin tidak boleh malu bila melakukan kebaikan. Apa yang Kin lakukan bisa menjadi contoh bagi yang lain,” celoteh Kinabalu lugu.


“Hebat. Sepertinya Kin sudah terkenal di kalangan pendaki, kakak bangga kenal sama Kin. Tapi, sekolah Kin bagaimana? Mendaki gunung-gunung yang jauh ‘kan butuh waktu lama.”


“Bolos!” Serempak Noval dan Ali menjawab pertanyaan Zhiya.


“Ih, Kin izin sekolah, bukan bolos!” Kinabalu membela diri.


“Mana ada izin sekolah lebih dari sebulan, Kin.” Tim pendakian bergantian menggoda Kin yang mulai merengut.


“Sebulan lebih?” Irsa turut terperangah.


“Kin mendapat dukungan dari KONI dan pihak sekolah untuk melakukan pendakian. Karena pendakian Kin membawa misi dan manfaat bagi Kin, dan teman-teman seusia Kin, untuk beraktifitas positif. Kegiatannya juga dikampanyekan di media sosial.” 


Zaki menjelaskan, sekaligus mengembalikan wajah ceria Kinabalu karena mendapat pembelaan.


“Berarti latihan ketat sebelum mendaki?”


“Iya. Kin lari sepuluh keliling lapangan bola setiap hari, ditambah push up, sit up dan back up.”


“Wah ... kuat Kin?”


“Alhamdulillah, kuat Kak, hanya tiga puluh menit ‘kok.”


Zhiya, ternganga mendengar penjelasan ajaib Kinabalu. Ia terkejut melihat tetesan darah di tangan ketika hendak menyeruput minuman hangatnya.


“Kakak mimisan!” Kin berseru.


Zhiya mengangkat kepalanya menutup hidung, mencegah darah mengalir deras.


“Kepalanya ditundukkan jangan tengadah, Kak. Sambil dijepit hidungnya, nafas dari mulut dulu ....” 


“Memang kenapa?”


“Kalau tengadah, darah bisa mengalir ke saluran nafas atau tenggorokan, Kakak bisa sesak nafas, atau kalau tertelan, perut kakak bisa iritasi. Ini ...” 

Kinabalu mengulurkan selembar tisue dari tas pinggang yang selalu melekat di tubuhnya. Di dalamnya ada obat-obatan P3K serta permen.

Zhiya patuh pada arahan Kin. 


Malam melarut, udara kian menusuk. Zhiya dan Irsa tidur di dalam tenda Kinabalu karena tenda mereka terbang entah ke mana. 


Zaki dan Noval pindah ke tenda sebelah yang masih merupakan tim pendakian Kinabalu. Aswin dan Aldo menumpang di tenda tempat Aldo berlindung saat badai. 


“Kak, besok kita ke puncak sama-sama, ya!” Kinabalu berseru riang. Ia berbaring di antara Zhiya dan Irsa. 


Pagi harinya mereka meninggalkan tenda bersama-sama menuju puncak. Betapa kagumnya Zhiya pada Kinabalu karena selama pendakian ke puncak, ia tak merengek pada papa atau timnya. Sang papa mampu memunculkan rasa persaingan dalam diri Kinabalu sehingga ia bersemangat menuju puncak, tanpa paksaan. Interaksi mesra Kinabalu dan papanya tertoreh kuat di hati. Zhiya yakin, menjadi seorang Kinabalu pasti bahagia. Tanpa sadar Zhiya membandingkan kehidupannya dengan gadis cilik itu.


Sembilan pagi, mereka sudah di puncak Kenteng Songo. Satu keajaiban nyata di atap bumi, lelahmu hilang sekejap, tergantikan rasa takjub tak terpungkiri. Maha karya Ilahi terbentang di ujung pandangan. 


Di arah barat, Sindoro dan Sumbing seakan bergandengan kokoh memaku bumi. Bagian selatan dihiasi Merapi dengan kepulan asap yang terlihat cantik. Dari kejauhan masih bisa terlihat Lawu dengan puncaknya yang memanjang.


Zhiya merekam semua dengan kamera ponselnya. Ia beruntung, pagi itu cuaca cerah sehingga bisa menikmati semuanya. Ia berdiri penuh rasa syukur, tak menyangka akan menggapai puncak Merbabu, apalagi setelah disapa badai semalam. Hampir saja ia menyerah, seandainya tidak dipertemukan dengan Kinabalu yang kini semakin erat terikat layaknya keluarga.