Try new experience
with our app

INSTALL

Mencari Jejak Bapak 

Jejak #1: Maafkan Ibu, Juna

Citra Laksmi Amartya: 

Kang, jawab WA Ami, atuh
Kumaha ieu?[1]
Ami bingung, Kang

 

JUNA menatap pesan WA dari Ami itu dengan hampa, dan menutupnya tanpa membalas. Sama seperti yang dia lakukan terhadap pesan-pesan Ami lainnya yang tak putus dikirimkan sejak tiga hari lalu. Tepatnya, sejak Pak Aman mengusir Juna dan ibunya dari rumah mereka setelah menolak lamaran resmi dari keluarga Juna. Padahal harusnya lamaran itu hanya basa-basi saja, alias formalitas belaka, karena sebetulnya Juna dan Ami sudah lebih dulu mengurus surat-surat keperluan nikah sejak beberapa bulan lalu. Saat itu Pak Aman memang meminta Juna untuk segera menikahi Ami segera setelah lulus kuliah beberapa bulan lagi.

“Bapak ingin cepat punya cucu.”

Begitu alasannya saat itu. Gara-gara itu Juna dan Ami memutuskan untuk mencicil semua persyaratan nikah dan baru melakukan lamaran setelah semua persiapan selesai. Namun, siapa sangka semua persiapan mereka hancur berantakan hanya karena Pak Aman menuduh Juna sebagai anak haram.

“Bapak malu punya menantu anak haram! Apa kata tetangga saat mendengar nasabmu disebutkan dengan jelas saat akad nikah? Bisa-bisa tetangga akan menggosipkan pernikahan kalian dan keluarga kami ikut menanggung malu! Jadi, lebih baik kalian lupakan saja semua rencana pernikahan ini!”

Juna masih mengingat jelas alasan Pak Aman sewaktu menolak lamarannya beberapa hari lalu, dan itu salah satu yang membuat dia sakit hati sejadi-jadinya.

Anak haram.

Selama ini Juna sering diejek sebagai anak haramoleh teman-teman sekolahnya, terutama teman SD dan SMP-nya. Itu karena Juna tak tahu siapa ayahnya. Namun, setiap kali dia mengadu, Ibu selalu membantah dan mengatakan kalau Juna bukan anak haram. Juna punya ayah. Hanya saja beliau sudah meninggal sejak Juna masih kecil. Seluruh fotonya hanyut saat banjir dan tak ada benda kenangan lainnya. Selain itu Ibu tak pernah mau bercerita seperti apa sosok ayahnya dengan alasan “takut sedih lagi”. Paling banter yang bisa Ibu ceritakan hanya nama ayahnya: Pranayuda. Itu saja.

Juna sangat menyayangi Ibu. Terlebih karena selama ini mereka hanya hidup berdua dan saling memiliki satu sama lain. Itulah kenapa dia percaya saat Ibu mengatakan Juna bukan anak haram. Namun, kepercayaannya bertepuk sebelah tangan. Ternyata dia betul-betul anak haram. Anak yang lahir dari perbuatan zina. Kenyataan itu membuatnya sangat terpukul dan tak tahu harus memercayai siapa lagi. Sejak pulang dari rumah Ami, Juna memilih mengurung diri di kamar dan tidak mau bertemu siapa pun, termasuk Ibu. Dia bahkan mengabaikan ajakan makan dari Ibu, tidak membalas panggilannya, dan baru keluar untuk makan atau pun ke kamar mandi. Itu pun setelah dia memastikan kalau Ibu sudah masuk kamar. 

“HAAAH!”

Laki-laki itu mengempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengusap wajahnya. Dia pusing. Sudah tiga hari ini kepalanya terasa penuh dan dia bingung bagaimana harus melampiaskannya. Gara-gara itu pekerjaannya sebagai desainer grafis sedikit terganggu. Dia tak bisa menyelesaikan sebuah proyek yang tenggat waktunya kemarin. Untung kliennya itu teman baiknya sendiri dan memahami kesulitan Juna sehingga bersedia menunda tenggat waktu hingga besok.

BRAK!!!

PRANG!!!

Sebuah suara berdebam keras diiringi bunyi pecah membuat Juna terlompat dari posisi tidurnya. Selama beberapa waktu laki-laki itu bertanya-tanya, itu suara apa? Namun, kemudian dia ingat kalau saat ini hanya ada dirinya dan Ibu di rumah. Jangan-jangan....

Perasaan khawatir membuat Juna melupakan egonya. Laki-laki itu segera melompat berdiri dan bergegas menuju sumber suara yang dia perkirakan berasal dari dapur. Matanya langsung melotot saat melihat sosok wanita terbaring di lantai, sementara di dekatnya ada pecahan piring berserakan. Dengan panik, Juna pun melesat maju dan mengguncang tubuh wanita itu.

“BU? IBU? IBU KENAPA?”

 

*            *            *            *            *

 

BADAN Ibu panas....

Sambil memeras handuk kecil yang sudah direndam di baskom, Juna menempelkannya dengan hati-hati ke dahi Ibu yang agak panas. Seluruh kemarahan dan rasa sakit hati yang dia rasakan selama tiga hari ini sedikit memudar. Bagaimana pun, beliau adalah ibunya. Orang yang selama ini menjadi pusat dunianya; yang menjadi ibu sekaligus ayah baginya; dan menjadi tempat untuknya pulang setiap kali dia merasa sedih atau pun lelah. Walau masih belum bisa menerima kenyataan kalau selama ini Ibu telah membohonginya, tapi tetap saja Juna tak tega melihat Ibu seperti ini.

“Juna....” 

Panggilan lirih Ibu membuyarkan lamunan Juna. Laki-laki itu sedikit terkesiap dan gugup. Namun, kemudian dia segera pulih dan langsung memegang tangan ibunya.

“Juna di sini, Bu....”

Jawaban Juna itu rupanya membuat emosi Puja meluap. Ini pertama kalinya dia mendengar lagi suara Juna setelah anak satu-satunya itu mengabaikannya selama tiga hari ini. Kenyataan itu membuat Puja terharu dan selanjutnya tiba-tiba saja dia sudah menangis sesenggukan.

“Bu? Ibu kenapa?” Juna sedikit panik saat melihat Ibu menangis sambil memeluk tangannya. “Ada yang sakit, Bu?”

“Maafkan Ibu, Nak.... Maaf....”

Juna tak langsung menjawab. Sepertinya dia tahu kenapa Ibu meminta maaf padanya. Karenanya, Juna sengaja diam, menunggu sampai Ibu mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Benar saja, tak lama kemudian Ibu kembali bersuara.

“Sudah saatnya kamu tahu tentang asal usulmu, Nak,” kata Ibu sambil mengusap air matanya. “Ibu akan ceritakan semua. Ibu pasrah kalau setelah ini kamu benci Ibu. Yang pasti Ibu harus ceritakan semuanya, supaya Ibu tak punya utang penjelasan padamu.”

Ibu sengaja mengambil sedikit jeda sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Ibu memang tidak pernah menikah dengan ayahmu.” Suara Puja terbata-bata. “Pranayuda.... pria itu memang ayahmu. Tapi dia.... berengsek!”

Setelah itu Ibu kembali menangis, dan yang bisa Juna lakukan hanya menunggu hingga akhirnya Ibu kembali siap untuk melanjutkan ceritanya. Cerita tentang masa lalunya yang sama sekali tak pernah Juna duga sebelumnya. []


 

[1] Gimana dong?