Try new experience
with our app

INSTALL

TEMAN SEHARI 

6. IDYLLIC

“Jadi, bagaimana hari ini? Saya benar-benar berharap kamu puas dengan panduan kecil saya seharian ini.”

Kinan duduk di undakan pertama di amfiteater milik Selasar Sunaryo Art Space. Setelah selesai berkeliling melihat beberapa lukisan dan karya seni lainnya, Kinan mengajak Emil untuk duduk bersantai. Emil adalah klien yang dibawa Kinan hari ini. Mereka sudah berjalan terlalu lama dan terlalu jauh. Dari menyusuri bangunan pusat meditasi yang megah di kawasan Lembang, menyusuri lanskap kota-kota tua di daerah Braga dan Jalan Asia Afrika, makan siang di rumah makan khas Sunda, sampai singgah di galeri seni.

“Kamu teman yang menyenangkan, Kinan. Sebenarnya saya bisa saja pergi sendiri, tapi tentu tidak akan semenyenangkan jika pergi denganmu. Sayang sekali teman saya tidak bisa mengantar hari ini,” balas Emil dengan aksen Australia yang masih kental.

“Bukan masalah. Setelah ini kamu juga ada janji makan malam, kan? Sudah pesan taksi?”

Emil mengeluarkan ponselnya ketika ditanya. Dia lupa kalau harus segera berangkat sebelum terjebak kemacetan kota lebih lama lagi dan terlambat pada janji makan malam dengan temannya. Damar bilang, Emil tahu tentang Temansehari dari seseorang yang pernah menjadi klien mereka. Emil akan berada di Indonesia selama tiga minggu dan Bandung hanya menjadi salah satu dari banyak kota yang akan dikunjunginya.

“Terima kasih banyak untuk hari ini, Kinan,” ujar Emil. Laki-laki itu memeluk Kinan erat, membuat Kinan membulatkan mata dan berdeham pelan, tidak biasa menerima cara beramah-ramah seperti itu.

“Sama-sama. Jangan lupa cerita soal perjalananmu yang lain, ya. Saya tunggu!”

“Saya akan kirim foto-foto yang banyak untuk kamu, jangan khawatir. Kinan, sepertinya taksi saya sudah menunggu. Sampai jumpa!” Emil melambaikan tangan dan berjalan ke pintu keluar. Emil menolak tawaran Kinan mengantarnya sampai luar. Menurut Emil, dia tidak ingin merepotkan Kinan. Lagipula, Kinan masih ingin diam di tempat itu untuk beberapa waktu lagi.

Sebentar lagi, galeri seni akan tutup. Mungkin Kinan akan pindah ke Kopi Selasar, coffee shop yang berada di area Selasar Sunaryo Art Space. Kinan punya janji hari itu dan dalam hati dia berharap agar tidak perlu menunggu terlalu lama. Menjelang waktu tutup, galeri terlihat lebih sepi. Kinan tidak tahu apakah karena ini bukan musim liburan atau bagaimana, tapi hanya ada satu grup remaja di sisi lain amfiteater selain dirinya. Mereka membawa buku sketsa dan sibuk menggoreskan pensil ke buku masing-masing. Udara segar memenuhi paru-parunya ketika Kinan menghirup napas dalam. Tidak sesegar udara Bandung beberapa tahun lalu, tetapi Kinan tetap menikmati aroma rerumputan yang menguar.

Di tengah-tengah ruangan, tepat di meja yang berada di bawah pohon rindang, Kinan duduk seorang diri. Dia mengorek tas kanvasnya, mengeluarkan cermin dan beberapa peralatan untuk memulas kembali wajahnya yang mulai kumal. Kinan merasa hari itu sudah berjalan begitu panjang ketika melihat wajahnya yang mulai tidak bersemangat.

“Masih on point kok, Mbak.” Suara laki-laki yang tiba-tiba didengar Kinan membuatnya menggeser posisi saking terkejutnya. Cepat-cepat Kinan memasukkan lipgloss ke dalam tas dan menyelipkan rambut ke belakang telinga.

Kinan menatap laki-laki di depannya dengan penuh tanda tanya. Laki-laki tinggi dengan jaket cokelat, kaos putih, dan celana berwarna khaki yang berdiri di depannya itu adalah laki-laki yang pernah bertemu dengannya di Konstantia. Dari penampilannya, Kinan sudah bisa menebak kalau laki-laki di depannya adalah kliennya hari itu. Yang tidak Kinan sangka adalah laki-laki itu adalah orang yang sama yang ditemuinya di Konstantia tempo hari.

Sorry. Saya bikin kaget kamu ya? Nggak maksud begitu. Omong-omong, tadi kok cowoknya disuruh pergi gitu aja? Takut ketahuan ya kalau kamu mau ketemu saya?” Laki-laki itu duduk di samping Kinan tanpa aba-aba, membuat Kinan bergeser ke samping dengan cepat.

“Itu bukan cowok saya,” protes Kinan.

“Galak banget sih, Nan. Ya, kan saya perlu konfirmasi, soalnya tadi saya lihat kalian peluk-pelukan gitu.”

“Saya mau pelukan sama siapa, di mana, itu nggak ada urusannya sama kamu. Saya nggak kenal kamu, kenapa kamu harus ribet ngurus masalah saya?” Kinan meraih tasnya, bangkit dari tempat duduk dan berjalan meninggalkan meja. Untuk beberapa saat, Kinan sepertinya lupa kalau laki-laki itu adalah orang yang punya janji dengannya sore itu, kliennya. Dan klien adalah raja, batin Kinan.

Langkah Kinan terhenti ketika dia mengingat ucapan Damar saat dia ceramah panjang lebar soal kepentingan klien adalah hal utama di Temansehari. Namun, kalau Kinan berbalik begitu saja, itu sama saja mengalah dan membiarkan kliennya bertingkah menyebalkan seperti tadi. Ngapain juga gue nyamperin orang nggak jelas kayak gitu. Gengsi lah! Kinan memutuskan untuk tetap melangkah setelah bergumam dengan dirinya sendiri dalam hati.

“Kinan! Tunggu dulu, Nan!” Laki-laki itu bangkit, menahan pergelangan tangan Kinan dengan cepat, membuat Kinan mematung seketika. “Kamu ngambeknya cepat banget, sih? Oke, saya minta maaf karena sudah bilang yang nggak-nggak soal kamu, tapi sekarang urusan kita belum selesai. Saya klien yang janjian sama kamu hari ini, lho. Kamu nggak lupa, kan?”

Kinan tahu, dia hanya berpura-pura tidak tahu karena malas meladeni laki-laki di depannya itu. Danu menarik tangan Kinan untuk kembali duduk. Mau tak mau, Kinan mengikutinya perlahan. Memang tidak bisa Kinan pungkiri, perawakan Danu yang tinggi dan gagah membuatnya terlihat dewasa. Sekilas, Kinan seperti melihat Damar versi lebih matang. Entah mengapa rasanya kalau Damar sedikit lebih berisi, mungkin dia akan terlihat segagah Danu. Mungkin karena mata dan hidung Danu mirip dengan Damar.

Kinan menggeleng pelan sementara Danu melepaskan genggamannya. Kursi-kursi kayu berjajar saling hadap-hadapan, terpisah meja-meja kayu berukuran hampir sama besar. Danu tidak kembali ke tempat duduk awal Kinan, dan memilih kursi tanpa meja yang menghadap ke pemandangan bukit.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Danu pelan.

“Coffee Selasar Choco-mint Ice Cream,” sahut Kinan tanpa melihat menu. Wajar saja, Damar sering membawanya ke tempat itu, menemani anak itu mengerjakan tugas kuliah katanya. Biasanya Damar bilang dia akan sekaligus membantu Kinan mengerjakan tugas, tetapi akhirnya Damar akan sibuk sendiri dan mengabaikan Kinan.

“Kamu hapal menunya? Sering ke sini, ya?” Danu menutup buku menu dan memanggil pramusaji yang kebetulan lewat di dekat meja mereka.

“Kenapa banyak banget, sih, pertanyaan Mas? Ya kalau saya hapal, memangnya  ada masalah sama Mas?” Kinan tidak bisa menahan dirinya lagi ketika mendengar celetukan Danu. Dia melipat tangannya di depan dada sambil menatap lurus ke depan. Dari sekian banyak kunjungan yang pernah Kinan lakukan ke sana, hari itu adalah pertama kalinya suasana Kopi Selasar terasa amat sangat tidak menyenangkan.

Danu menggelengkan kepala pelan sebelum menatap Kinan lekat-lekat. Lama-lama, Kinan semakin merasa risih berada di dekat Danu. Laki-laki itu terus-terusan bersikap seolah-olah dia tahu segalanya perihal Kinan dan Kinan paling benci hal itu.

“Jadi sebenarnya apa yang bisa kami bantu?” tanya Kina sambil memberikan penekanan pada kata kami, berusaha mengingatkan bahwa dirinya datang sebagai perwakilan dari teman sehari. Selain itu, Kinan juga ingin mempercepat durasi pertemuan dengan memotong basa-basi dan segera masuk ke inti permasalahan.

“Seperti yang saya tulis di situs kalian. Tolong bantu saya bilang ke pacar saya, kalau hubungan kami nggak bisa dilanjutkan lagi.”

Sekarang, Kinan tahu mengapa Damar tidak pernah memberikan pekerjaan ini padanya. Belum bekerja saja rasanya Kinan sudah mau memaki laki-laki di sampingnya itu. Bagaimana bisa dengan tanpa perasaannya dia meminta orang lain mengatakan pada pacarnya sendiri untuk putus. Kinan tidak habis pikir, mengapa semakin banyak orang-orang tidak bertanggung jawab seperti orang di sampingnya itu. Orang yang selalu mengumbar kata putus saja sudah mendapatkan nilai minus secara otomatis di mata Kinan, sekarang dia harus berhadapan dengan orang yang bahkan meminta orang lain sebagai perpanjangan tangan untuk mengatakannya.

“Saya tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi sebaiknya kamu simpan pertanyaan itu dulu. Biar saya jelaskan kapan dan di mana kamu bisa bertemu dia.”

Kinan bungkam. Sebenarnya, Kinan lebih penasaran pada fakta bahwa Danu terasa seperti mengenal Kinan dengan sangat baik. Kinan tidak peduli dengan fakta kalau Danu ingin putus secara sepihak dan dengan pengecutnya menggunakan bantuan orang lain untuk melakukannya. Lamunan Kinan buyar ketika pesanannya datang. Aroma kopi dan mint menguar dan terhidu olehnya.

“Namanya Lula. Dia tinggal di Bandung juga, kosnya di daerah Ciumbuleuit sana, dekat Unpar” ujar Danu sembari menyesap kopi di genggamannya. Tatapannya kosong, tidak terlihat menyedihkan, tidak juga menyimpan kemarahan. Benar-benar kosong dan sulit Kinan terjemahkan.

“Kenapa kalian—maksudku, Mas—mau putus?”

“Ada orang pernah bilang, kalau kita dihadapkan pada dua pilihan, pilih yang datang kedua. Karena kalau kita memilih yang pertama, dari awal nggak akan ada yang kedua,” jawab Danu tenang.

“Brengsek! Masnya selingkuh?!” Kinan meletakkan gelasnya cepat dan berseru cukup keras. Matanya membulat, dadanya terasa panas seakan sedang berada di dekat tungku air mendidih. Kinan tidak pernah bisa membenarkan sekecil apa pun yang namanya perselingkuhan, dan kali ini, Kinan malah dihadapkan pada klien sejenis itu.

Alih-alih marah, Danu malah tertawa mendengar umpatan Kinan yang ditujukan padanya, membuat Kinan mengerutkan dahinya.

“Kinan, Kinan. Untung klien kamu itu saya. Kalau orang lain, kayaknya udah ngamuk duluan deh karena tiba-tiba kamu hakimi seperti itu.”

“Terus menurut Mas, Mas lebih baik dari klien-klien saya yang lain, gitu?”

“Jelas, dong. Buktinya saya membiarkan kamu mengumpat dan menuduh saya begitu saja seperti tadi.”

“Mas Danu, mohon maaf, tapi kata-kata anda memang menyatakan dengan jelas kalau anda selingkuh. Jadi saya rasa apa yang saya ucapkan memang benar.”

“Saya selingkuh atau nggak, saya rasa itu nggak ada hubungannya dengan kerja sama kita. Saya nggak perlu jelaskan semua sejarah dan latar belakang hubungan saya supaya kamu bisa melakukan pekerjaan kamu, kan? Kamu tinggal melakukan apa yang saya sudah sampaikan sebelumnya. Gimana, kamu bisa?”

Kinan menghela napas. Danu memang benar. Selingkuh atau tidak, itu memang bukan urusan Kinan sama sekali. Yang paling penting adalah Kinan menyelesaikan pekerjaannya. Lebih cepat lebih baik, karena rasanya Kinan sudah tidak sanggup bertemu dengan Danu lebih lama lagi.

Ponsel Kinan berdering ketika dirinya tengah berkontemplasi. Nama Damar terpampang di layar ponselnya. Damar hari ini sibuk menjadi pendamping kliennya dalam acara pernikahan. Kalau melihat bagaimana Damar menelepon, acaranya kemungkinan sudah selesai. Wajar saja, langit juga sudah mulai gelap, meskipun masih ada waktu sekitar tiga jam lagi sampai tempat itu tutup. Pagi tadi Damar memang berjanji menjemput Kinan setelah urusannya selesai.

Kinan permisi sejenak pada Danu untuk mengangkat panggilan Damar. “Udah selesai, Dam?” tanya Kinan pelan.

“Gue masih di Selasar. Lo mau jemput ke sini? Eh, sebentar lagi sampai? Tapi gue belum selesai.” Damar menutup teleponnya sebelum Kinan sempat mengatakan apa-apa. Selalu seperti itu.

Sorry, Mas. Jadi, saya harus bilang apa sama Mbak Lula itu?” tanya Kinan pada Danu setelah usai menerima telepon.

“Tadi yang telepon siapa? Pacar kamu?” Danu bukannya menjawab pertanyaan Kinan malah menanyakan hal di luar lingkup kerja sama mereka. Laki-laki itu membuat Kinan menghela napas. Sedikit lagi kesabaran Kinan menghadapi orang itu akan habis rasanya.

“Maaf, Pak Danu…”

“Kok jadi ‘Pak’, sih? Kayak tadi saja, dipanggil Mas. Saya memang belum setua itu kok. Kamu panggil nama juga masih cocok.”

“Oke, Mas Danu. Mas Danu lebih nyaman pakai alasan apa untuk Mbak Lula? Sibuk? Fokus kerja? Sudah tidak cocok?”

“Alasan yang menurut kamu paling masuk akal. Saya dan Lula sudah bersama selama lima, ah, hampir enam tahun.”

Brengsek!

Kinan mengepalkan tangannya. Membayangkan bagaimana menjadi Lula ketika ia mendengar penjelasan Danu satu per satu. Enam tahun bersama dan dengan mudahnya ia ingin menyuruh orang menyampaikan kata putus. Jelas saja makin lama manusia semakin tidak bisa dipercaya ketika mengumbar kata cinta, pikir Kinan.

“Kalau lo nggak bisa jaga Lula, harusnya dari dulu gue nggak perlu lepas dia buat lo. Brengsek!” Kinan tidak tahu dari mana datangnya Damar. Yang ia tahu, kini tinju Damar mendarat lebih dulu di pipi Danu. Astaga, masalah apa lagi ini?