Contents
Love in The Thin Air
7: Kawan Jalan Baru
(Juli)
Pil Joo
Antara tidur dan setengah sadar Pil Joo mendengar percakapan antara Fendi dan Reo. Mereka berdua tengah berdiskusi mengenai jalan turun nanti.
“Jadi kita harus turun Sembalun?” Fendi memastikan pada Reo guide mereka.
“Iya, Bang. Kalau turun lagi lewat Senaru, kita akan kesusahan melewati igir pelawangan Senaru. Terlalu curam, hampir vertikal. Bawa beban orang pasti berat. Apalagi katanya kaki Bang Pil Joo tak boleh banyak gerak.”
“Iya sih,” Fendi manggut-manggut sambil memandangi Pil Joo yang masih tergeletak di tandu. Tidak berdaya, mungkin sedang menahan rasa sakit. “Ya deh, kita balik lagi. Kamu bisa cari orang lagi buat menandu Pil Joo?”
“Kami sudah dapat orang, pemancing lokal.”
“Makasih, Reo.”
“Sama-sama Bang.” sahut Reo.
“Tapi kita sepertinya butuh orang untuk memantau luka Pil Joo.” Fendi teringat sesuatu ketika memandang ke arah kaki Pil Joo.
“Bagaimana dengan nona tadi yang merawat luka Bang Pil Joo?” tawar Reo.
“Tapi mereka bilang mau turun lewat Senaru.” balas Fendi.
“Kenapa tidak coba meminta mereka turun Sembalun?” usul Reo.
“Bisakah?” Fendi tampak berpikir lalu matanya memandang pada rombongan Sin Chan. “Benar, aku akan coba melobi mereka. Semoga mereka mau turun lewat Sembalun.”
***
(Juli)
Selepas rombongan Sin Chan berdoa, Fendi mendatangi mereka.
“Maaf, mengganggu.” ucap Fendi agak sungkan.
“Ada apa ya?” tanya Royan yang berhadapan dengan Fendi langsung.
“Sebenarnya kami butuh bantuan Sin Chan untuk memantau keadaan Pil Joo.” ungkap Fendi langsung ke inti.
Royan memandang Sin Chan yang justru melongo bingung. Apakah dia nanti harus pergi sendiri dengan rombongan mereka?
“Tapi kami turun Senaru, lho.” Rexa menyahuti dengan cepat.
“Tadinya kami juga mau turun Senaru. Tapi guide kami mengatakan akan berat setelah melewati Batu Ceper. Ada medan sempit yang terjal dan hampir tegak lurus. Untuk luka Pil Joo sangat tidak mungkin.”
“Sembalun memang lebih aman untuk jalur evakuasi.” kata Royan. “Tapi memang panjang, kalau lewat sana.” Royan memandang pada dua porter yang bertubuh liat. Ada empat orang lagi tampak bercakap dengan dua porter itu.
“Nah, karena luka Pil Joo cukup gawat. Tak bisakah kamu ikut turun dengan kami ke Sembalun?” pinta Fendi kali ini mengarah pada Sin Chan.
Jeda hening. Rombongan Sin Chan saling pandang.
“Itu tergantung Rexa?” balas Sin Chan setelah bingung mau menjawab apa.
“Rexa?” Fendi memandangi dua gadis yang berdiri di antara Sin Chan. Seolah mencari orang yang bernama Rexa.
“Aku mengijinkan.” Rexa unjuk suara. “Ambil dia sana!” Rexa mendorong tubuh Sin Chan hingga bergerak dua langkah hampir tersuruk ke Fendi malah.
“Rex, kok tega sih?” rengek Sin Chan menoleh pada Rexa.
“Eit, tapi enggak gratis. Wani piro_berani bayar berapa?” Rexa telah maju selangkah dan melingkarkan tangannya ke bahu Sin Chan.
Fendi sedikit terkejut dengan permintaan teman Sin Chan. Namun, dia langsung maklum, sekarang ini memang segala sesuatu bernilai rupiah.
“Baik, berapa pun akan kami bayar.” ucap Fendi.
Kini giliran Rexa yang jadi keder. Maksud hati ingin memundurkan niat Fendi eh, ini malah terjadi sebaliknya.
“Ehem,” Rexa berdehem sambil melirik Royan.
“Bisa beri kami waktu untuk mendiskusikan ini?” pinta Royan seakan sadar akan situasi dan kondisi yang terjadi.
“Baik, saya undur diri. Nanti kabari kami kalau Sin Chan bersedia dan mendapat ijin dari kalian. Atau akan lebih baik kalau rombongan kita bisa turun bareng.” selepas mengatakan itu, Fendi balik badan menuju rombongannya.
Sepeninggal Fendi, orang yang paling kontra, siapa lagi kalau bukan Rexa, terlihat tidak setuju dengan perubahan rencana yang tiba-tiba.
“Selama ini bukankah kalau kita mendaki selalu turun di tempat yang berbeda? Nggak asyik banget, menapaki jalan yang sama saat naik dan turun.”
“Tapi mereka membutuhkan Sin Chan, dan kita tidak mungkin menyerahkan dia begitu aja. Kita ini satu tim lho.” bantah Royan.
“Aku sih, nggak masalah turun bareng mereka. Silakan kalian tetap turun lewat Senaru seperti rencana semula.” ucap Sin Chan akhirnya. Rasa iba menyulut pengabaian terhadap ego yang sebenarnya memuncak. Dia sadar, belum tentu tahun depan atau beberapa tahun ke depan bisa naik Rinjani lagi. Tapi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab telah memuntahkan jiwa relawan Sin Chan.
“Tapi enggak dengan melepasmu sendirian kan, Chan.” Dania tidak rela membiarkan Sin Chan terciduk rombongan lain. “Aku akan menemanimu, deh.”
“Royan?” mata Rexa seketika mengintimidasi Royan.
“Masa kita akan berpencar?” tanggap Royan. “Mana solidaritas kita?”
“Hmph... “ dengus Rexa. “Lagi-lagi aku kalah.”
“Kita usahakan lain kali kemari lagi, Sayang.” Dania mencoba menenangkan Rexa.
“Beneran lho ya, kalian harus janji. Kita harus ciptakan kesempatan untuk itu lagi.”
“Siap!” tanggap Dania.
“Aku sih siap, kalau dibayari lagi.” jawab Sin Chan berbuah jitakan dari tangan Rexa. “Aow!”
“Eh, jangan Rex!” Royan refleks ingin melindungi kepala Sin Chan meski sedikit terlambat.
“Sayang amat sama anak buah.” goda Dania.
“Harus lah.” balas Royan. “Lagian kamu bisa kena undang-undang KDPT.”
“Apa tuh?” sembur Rexa.
“Kekerasan dalam pertemanan.” balas Royan nyengir lebar.
“Iya sono, laporin!” tantang Rexa.
Royan tertawa geli. Namun kemudian dia bisa menguasai diri. “Jadi kita sepakat turun Sembalun semua ya?”
Rexa mengangguk, Sin Chan dan Dania mengacungkan ibu jari mereka. Royan tersenyum puas karena mendapat satu keputusan bulat. Mereka semua harus rela meninggalkan Senaru kembali ke Sembalun. Bukankah inti dari pendakian gunung adalah menaklukkan diri sendiri. Mereka sedang pada tahap itu.
“Baiklah, aku akan konfirmasi ke sana.” tunjuk Royan pada rombongan Pil Joo.
Tak lama kemudian iring-iringan dua rombongan telah menyisir Danau Segara Anak menuju Pelawangan Sembalun kembali. Di mulai dari empat orang porter yang menandu Pil Joo, diikuti Reo, Sin Chan, Dania, Rexa, Fendi, dan terakhir Royan tepat di depan dua porter rombongan korban terluka.
Pukul sembilan dua rombongan mulai menaiki pelawangan Sembalun. Baru kali ini turun gunung malah mendaki lagi. Sungguh perjalanan yang berat bagi penandu. Pukul dua mereka tiba di Pelawangan Sembalun. Melakukan ishoma dengan salat jamak sekalian.
Mereka masak bersama-sama dengan menu mie instan yang praktis dan cepat matang. Sin Chan tak lupa mengecek luka Pil Joo, berharap goncangan saat merayapi jalur menanjak terjal barusan tidak membuat banyak pergeseran, meski erangan Pil Joo sempat mengisi kesunyian. Sin Chan meminta waktu untuk mengganti pembalut yang menempel di luka Pil Joo. Sudah terlalu banyak darah terserap di sana. Biar tidak lembab dan menumbuhkan banyak kuman Sin Chan pikir perlu menggantinya.
“Gimana lukanya?” tanya Fendi.
“Pendarahan tidak terlalu parah.” balas Sin Chan. “Tadinya saya khawatir Kak Pil Joo akan banyak kehilangan darah. Tapi sejauh ini, darah yang keluar tidak begitu banyak.” Sin Chan menunjukkan pembalut bekas yang semula menempel di luka Pil Joo.
“Ah, sana-sana buang!” Fendi merasa jijik melihat pembalut yang penuh dengan darah.
Sin Chan bengong sesaat mendapati ekspresi Fendi, dia lupa kalau pembalut itu identik dengan darah haid. “Oh maaf,” dengan tersenyum geli Sin Chan segera membungkusnya dengan plastik lalu menyelipkan di kantong samping carrier. Tempat pembuangan sampah sementara.
“Kamu tuh, Chan!” Dania mengutuk Sin Chan yang meringis ala si tengil Nohara Shinnosuke.
“Nah, ayo kita makan dulu.” tiba-tiba Royan memberi komando agar mereka segera makan dan berjalan kembali.
“Aku ambilkan makanmu dulu, Joo.” ucap Fendi segera beranjak.
“Yuk, kita makan Chan.” ajak Dania.
“Sebentar.” Sin Chan membereskan alat P3K sebelum menyusul Dania.
Saat melihat muka Pil Joo yang sebagian tertutup tangan, sesuatu yang bening terlihat mengalir dari sisi samping mata turun ke telinga. Apakah Pil Joo menangis?